Oktober lalu, ketika sedang berkunjung sebentar ke Semarang, saya menyempatkan diri untuk mampir ke sebuah bangunan yang memang sudah lama sekali masuk dalam list travel agenda saya, Lawang Sewu, atau dalam bahasa Indonesia artinya seribu pintu (dinamakan demikian oleh masyarakat setempat karena banyaknya jumlah jendela yang menyerupai pintu di tiap gedung). Menurut yang saya baca, bangunan yang selesai dibangun tahun 1907 ini pada mulanya dijadikan sebagai kantor pusat perusahaan swasta kereta api. Hingga akhirnya pada jaman pendudukan Jepang, fungsinya sempat beralih menjadi penjara tempat penyiksaan tahanan yang memberontak pada otoritas.
Hanya perlu berjalan kaki sekitar 10 menit dari mal Paragon (penasaran pengen ngeliat mal terbesar di Semarang itu)Â untuk mencapai Lawang Sewu yang letaknya tepat di seberang Tugu Pemuda. Sesampainya di gerbang, salah seorang wanita yang ternyata adalah guide lokal menanyakan apakan saya ingin berkunjung masuk ke dalam. Begitu saya menganggukan kepala, ia meminta saya untuk mengikutinya ke dalam untuk membayar tiket masuk beserta dengan jasa guidenya.
Lawang Sewu memiliki dua buah gedung. Yang pertama adalah gedung yang saya temui di balik gerbang masuk tadi, dan yang kedua adalah gedung yang saya akan masuki sebentar lagi. Saat itu gedung pertama sedang direnovasi sehingga tertutup untuk umum (saya agak kecewa ketika mengetahui hal tersebut karena saya ingin melihat tangga melingkar dan mozaik kaca di gedung utama yang cukup terkenal itu).
Kemudian kami beranjak langsung ke gedung kedua. Penampakan gedung kedua berbeda jauh dengan gedung pertama yang full renovated dengan polesan cat serta pelitur yang membuatnya tampak seperti bangunan yang baru dibangun. Gedung kedua masih dibiarkan berdiri apa adanya karena sama sekali belum tersentuh oleh perbaikan apapun. Cat-cat yang terkelupas, beberapa plafon yang jebol serta karat yang menguning kecoklatan dapat saya temui disana.
Namun bagi saya pribadi, saya lebih menyukai suasana natural gedung kedua ini karena atmosfir sejarah terasa lebih kuat tersirat.
Sebelum memasuki gedung kedua, guide menjelaskan sebentar pada saya mengenai sejarah pembangunan Lawang Sewu hingga pengalihan fungsinya yang semula merupakan pusat kantor swasta perusahaan kereta api pada jaman Hindia Belanda menjadi tempat penahanan dan penyiksaan sejumlah pemberontak pada masa pendudukan jepang. Cetak biru desain arsitekturnya dirancang di Belanda.
Dengan mempertimbangkan iklim Semarang yang cukup panas bagi para kumpeni dulu, diciptakanlah konsep “more air circulation” dengan cara memperbesar ukuran ruangan di loteng atas (untuk meminimalisir panas matahari dari atap), memperbanyak jumlah jendela (agar sirkulasi udara cukup) serta membangun ruangan-ruangan bawah tanah yang berfungsi sebagai gorong-gorong air (untuk menjaga suhu di dalam bangunan tetap sejuk). Untuk itulah, begitu berada didalam, saya sama sekali tidak merasa kegerahan.
Kami berkeliling di dalam gedung kedua seraya sekali-sekali mengambil foto.
Toilet jaman dulu. Diimpor loh langsung dari Belanda
Gedung pertama, dilihat dari gedung kedua
Pintu penghubung antar ruangan. Kalo dilihat, mirip gerbong kereta, ya?
Lorong-lorong di gedung kedua
Ruangan di Loteng, Ruangan ini berubah-ubah fungsi. Dari yang mulanya hanya sebagai ventilasi di jaman Belanda, Ruang pengawas pada jaman Jepang, hingga ruang pertunjukan dan pertemuan sekitar tahun 1970an
Setelah seisi ruangan saya kitari, saya melanjutkan dengan paket tur yang paling saya tunggu-tunggu sedari awal, yakni tur bawah tanah. Sebelum menuju ke ruang bawah tanah, saya membayar tiket lagi yang terpisah dari paket tur sebelumnya. Petugas meminta saya untuk mengganti sendal saya dengan boot yang telah disediakan dan menitipkan tas selama tur berlangsung.
Lorong ruang bawah tanah
Bak-bak penampung air yang sempat dijadikan penjara jongkok
Penjara berdiri yang biasa dimuati 4-5 orang
Lokasi pemenggalan tahanan
Lubang dimana biasanya tahanan yang telah dieksekusi, mayatnya diangkut ke atas dan dibuang ke parit-parit pinggir gedung
Jujur saja, saya agak merinding selama berada di ruang bawah tanah. Bukan karena saya melihat penampakan atau apa, namun hal ini disebabkan oleh imajinasi saya yang melayang, membayangkan bagaimana dulu kekejaman Jepang menyiksa para tahanan. Melalui penjara jongkok yang dahulu diteralis, saya bisa merasakan bagaimana tiap penjara jongkok diisi oleh sekitar 2-3 orang yang tidak bisa menjulurkan kaki ataupun duduk istirahat karena tempat itu digenangi oleh air.
Tur bawah tanah akhirnya selesai dan saya kembali ke atas untuk mengambil tas serta sendal saya di penitipan. Saya diantar oleh guide ke depan seraya bercerita sedikit tentang dinamainya penjara bawah tanah. Ternyata pada jaman pembangunan dan beberapa tahun setelah itu, tanah di sekitar gedung pertama dan kedua tidak setinggi sekarang. Dulu, ruang bawah tanah yang tadi saya kunjungi hanyalah lantai dasar pada umumnya sebuah bangunan. Namun saya lupa cerita selanjutnya hingga akhirnya ditimbun lagi tanah hingga tinggi dan lantai dasar berubah menjadi ruang bawah tanah.
Lawang sewu selain terkenal dengan desain arsitekturnya yang indah dan megah, juga terkenal karena wisata malamnya yang cukup membuat kita merinding. Keadaan dalam gedung yang serba gelap tidak diberikan oleh penerangan sama sekali untuk menciptakan sedikit suasana horor. Sempat kawasan ini dijadikan lokasi syuting dunia lain dan adu nyali. Beberapa orang yang mengikuti adu nyali mengaku melihat penampakan-penampakan yang bervariasi, mulai dari perempuan sampai penampakan anak kecil.
Saya sih bersyukur pada saat itu nggak diberikan penglihatan apa-apa (dan memang juga saya nggak pengen ngeliat hehe). Namun demikian, suasana di ruang bawah tanah tadi tetap membayang-bayang setiap malam selama beberapa hari. And I hate this, when I intentionally create such stupid imagination which makes me feel spooky.