Taman Renungan Bung Karno, Ende (Pulang ke Flores, Part 5)

Pancasila!!

Satu… Ketuhanan yang Maha Esa…

Dua… Kemanusiaan yang adil dan beradab…

Tiga… Persatuan Indonesia…

Empat… Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan…

Lima… Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia…

Tentunya kita hafal dengan lima sila Pancasila yang saya sebutkan di atas. Kita masih ingat pada masa sekolah dulu, ke lima dasar negara kita ini nggak pernah absen digaungkan setiap upacara bendera. Sesuai prosedur tata laksana upacara, kita diwajibkan untuk menyerukan ulang satu demi satu sila yang diucapkan oleh pembaca Pancasila.

Di sekolah, tepatnya pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ataupun pelajaran Sejarah, kita juga mempelajari bagaimana sejarah terbentuknya Pancasila, bagaimana Pancasila dirumuskan oleh kesepakatan beberapa tokoh seperti Ir. Soekarno, Muhammad Yamin, dan tokoh-tokoh dari Indonesia Timur (Sam Ratulangi, Latu Harhary dll), dan bagaimana Pancasila sempat mengalami beberapa kali revisi atas isinya. Namun jarang yang tahu bagaimana embrio Pancasila itu lahir, termasuk saya pada awalnya, sebelum saya mengunjungi sebuah taman bernama Taman Renungan Bung Karno di kota Ende.

Yap, setelah hampir dua jam saya duduk manis di dalam bus yang meluncur ke Ende, dan beberapa menit kepanasan di dalam angkot, akhirnya saya menjejakkan kaki di sebuah taman. Tidak ada yang terlalu istimewa dari taman ini, karena taman ini tampak seperti taman kota pada umumnya. Namun apabila seseorang mengetahui sebuah momen kecil yang sempat terjadi disini, maka mereka pasti mengerti betapa taman ini sarat akan nilai sejarah yang luar biasa.

Pada tahun 1934-1938, Bung Karno sempat diasingkan ke Ende oleh pemerintahan Hindia-Belanda karena dianggap terlalu provokatif dan berpotensi memicu aktivitas politik yang  membahayakan keberadaan pemerintahan Hindia-Belanda. Dikisahkan, bung Karno suka sekali berjalan-jalan sore ke sebuah lapangan yang bernama Perse. Di sini bung Karno banyak menghabiskan waktunya untuk merenung di bawah sebuah pohon Sukun yang rindang. Suatu ketika, saat bung Karno melakukan rutinitas perenungannya, entah ada angin apa yang membuatnya memperhatikan lebih lanjut akar lima cabang dari pohon Sukun tersebut. Dan dari hasil perenungannya inilah, lahirlah sebuah ide perumusan 5 sila pancasila yang nantinya dijadikan bahan pidato dan dirumuskan bersama-sama dengan tokoh lainnya menjadi Pancasila yang kita kenal sekarang.

Di taman ini, saya sempat duduk di bawah pohon Sukun yang dimaksud (ditandai dengan pagar semen bercat merah muda dan putih yang terletak di belakang patung bung Karno). Selain mengambil foto, saya juga berharap, mendadak ada sebuah ide brilian yang sama “epic”nya dengan Pancasila timbul di kepala saya–sayangnya yang muncul di kepala saya adalah, saya lapar…)

Tidak jauh dari taman, terlihat sepotong pemandangan dermaga. Saya dan Biru pun berinisiatif kesana nanti untuk menikmati sunset. Namun pekerjaan pertama yang harus kami lakukan adalah mencari penginapan. Kami melangkah keluar dari taman untuk terlebih dahulu mengisi bahan bakar perjalanan, alias makan siang.

Kami memasuki sebuah warung tenda sederhana yang menjual gado-gado dan pecel. Penjualnya ternyata adalah orang yang berasal dari tanah Jawa yang tumbuh besar di Bajawa–wajar apabila walaupun wajahnya sarat akan guratan khas wajah Jawa, namun logatnya sudah kental khas logat Flores. Kami memesan dua piring pecel seharga IDR 8.000,- (dengan porsi lumayan mengenyangkan).

Saya, Wempy dan si mbak penjual pecel

Seraya menunggu si mbak-mbak selesai meracik pecel, kami berkenalan dengan seorang pemuda asli Ende yang bernama Wempy. Kami mengobrol panjang, mulai dari menunggu pecel selesai dibuat, pecel kami makan, sampai pecel habis dan piring pecel kembali bersih sehabis dicuci si mbak. Melalui pembicaraan tersebut, kami cukup terkesima melihat ambisi Wempy untuk gigih berjuang melanjutkan kuliahnya di pulau Jawa. Menurut saya pribadi, dalam diri Wempy mengalir darah seorang petualang sejati juga, karena ia begitu antusias mendengarkan pengalaman ngetrip kami. Salah satu tujuannya melanjutkan kuliah di Jawa pun karena terdorong hasratnya untuk menjelajah pulau-pulau di luar Flores.

Melalui Wempy pula, kami memperoleh info penginapan yang murah di dekat taman. Setelah membayar pecel yang kami makan, saya beserta Biru mengikuti Wempy yang berbaik hati bermaksud mengantar kami ke penginapan tersebut. Sepanjang jalan menuju penginapan, terdapat dua spot menarik yang saya temui dan saya abadikan dalam kamera saya, yakni titik 0 km kota Ende dan sebuah gereja dengan patung Yesus Kristus yang sangat besar.

Saya dan Wempy di tugu 0 km

Salah satu gereja yang kami lewati

Keasyikan mengobrol, tak terasa kami sampai di depan penginapan.  Wempy berpamitan langsung karena harus mengurusi sesuatu di kampusnya. Saya dan Biru menuju meja resepsionis dan cek in sebentar. Setelah mendapatkan kunci kamar seharga IDR 60.000,- untuk berdua, kami bergegas ke kamar kami untuk beristirahat dan bersih-bersih sejenak.

Tepat sekitar pukul 17.00 WITA, kami beranjak keluar, menuju dermaga yang kami lihat tadi di taman. Berjalan kaki tidak sampai 20 menit, tibalah kami di muka dermaga. Sore itu dermaga lumayan ramai, bukan oleh penumpang, tetapi oleh orang-orang yang sekedar menongkrong di atas sepeda motor, ataupun duduk di tepian dermaga untuk memancing.

Mentari senja memerahkan langit dan mempercantik warna mega-mega perak keemaskan. Saya dan Biru tertegun sejenak menikmati keindahan yang terpampang di hadapan kami…

Saya bisa membayangkan, walaupun bung Karno sempat diasingkan disini, saya yakin, beliau pasti sangat betah dan tidak terlalu merasa tersiksa sepanjang masa pengasingannya tersebut. Bagaimana tidak, apabila sore tiba, setelah duduk-duduk di lapangan mencari ilham atau sekedar bersantai, ia bisa mampir sebentar di dermaga menikmati hamparan pasir di pantai sambil berdecak mengagumi pemandangan di depan matanya.

Leave a comment