Mendadak Ngartis di Nagorno-Karabakh!

Nagorno-Karabakh?? Apaan tuh? Itu dimana? Kok gue baru denger?

Jadi begini, pemirsa. Once upon a time, ketika saya masih berstatus mahasiswa jurusan Kajian Wilayah Eropa, saya sempat mempelajari konflik antara dua negara di bumi Kaukasia (Azerbaijan dan Armenia). Tersebutlah sebuah teritori milik Azerbaijan bernama Nagorno-Karabakh. Secara geografis, Nagorno-Karabakh terletak di selatan pengunungan Kaukasus, sekitar 270km di barat kota Baku, ibukota Azerbaijan. “Negara” ini merupakan negara landlocked yang dikelilingi oleh deretan pengunungan tinggi dengan luas sekitar 4400 km persegi. Karena konflik yang berkepanjangan antara Azerbaijan dan Armenia, Nagorno-Karabakh akhirnya memutuskan untuk memerdekakan diri melalui sebuah referendum.

Namun sayangnya kemerdekaan ini nggak diakui oleh dunia–hanya ada segelintir negara (termasuk Armenia dan Australia) yang mengakui kedaulatan “negara” ini. Bagaimana kisah konflik antara Azerbaijan dan Armenia ini dan mengapa “negara” ini kemudian memutuskan untuk menentukan nasibnya sendiri menjadi sebuah negara berdaulat bisa kamu google sendiri yah–I don’t have capacity to deal with this (isu sensitif juga soalnya, hihi).

Saat mempelajari lebih lanjut latar belakang sejarah “negara” yang namanya ear-catchy banget ini, ditambah lagi dengan iseng saya membrowsing sejumlah informasi tentangnya, saya langsung jatuh cinta saat itu juga. Nggak hanya takzim akan kecantikan bentang alamnya yang dikelilingi oeh pegunungan Ararat, perhatian saya spontan juga tertuju pada landmark ikoniknya, monumen unik Tatik-Papik yang membuat saya berandai-andai lebih jauh, what is like traveling to this “country” yah?

 

Monument Tatik-Papik, ikon Nagorno-Karabakh

Singkat cerita, Setelah sekitar lima-enam jam menaiki Marshrutka (angkutan umumnya Kaukasus) dan muntah-muntah berkali kali saat melintasi kelokan-kelokan maha dashyat pegunungan Ararat, tibalah saya di kota Stepanakert, ibukota dari Nagorno-Karabakh yang kini dikenal dengan nama Artsakh. Saya sengaja minta tolong pada pak sopir untuk diturunkan di kantor Kementerian Luar Negeri untuk mengurus Visa masuk. Yes, kalau biasanya kita harus apply visa dulu sebelum masuk ke sebuah negara, di “negara” ini kita masuk dulu ke negaranya baru mengurus visanya.

Adapun pengurusan visanya gampang banget. Nggak perlu bikin appointment segala, saya bisa go show ke kantornya kapan saja (jam operasional dari 08 AM- 4 PM kalau nggak salah). Begitu masuk ke dalam kantornya, saya diminta oleh sekuriti untuk mengisi selembar formulir aplikasi. Sore itu kebetulan hanya saya sendirian yang melakukan proses aplikasi visa, sehingga nggak sampai lima menit saya mengisi formulir, saya langsung diijinkan melanjutkan verifikasi dokumen di ruangan konsulat.

Gedung Kementerian Luar Negeri Artsakh

Seorang pemuda bernama Henry–kayaknya seumuran saya gitu–menyambut saya di dalam kantor dan menyilakan saya duduk di mejanya. Mas Henry mengambil paspor dan formulir yang telah saya isi, lalu menginput datanya ke dalam komputernya.  Sambil menunggu ia selesai memproses visa saya, kamipun mengobrol santai. Dari beliau saya mengetahui bahwa ternyata di tahun ini, saya adalah orang kedua dari Indonesia yang berkunjung ke Artsakh. Wow, kinda surprised, karena menurut saya nggak semua orang mengetahui keberadaan “negara” ini. Dan kalaupun mengetahui, nggak semua orang “berani” mengambil resiko mengunjungi ke negara ini.

“Berapa hari kamu akan tinggal Artsakh dan rencananya akan kemana saja?” tanyanya.

“Rencananya saya cuma akan tinggal tiga hari. Saya hanya akan berada di Stepanakert dan berkunjung ke Shoushi.”

Yup, saya dan para aplikan lainnya diwajibkan untuk memberikan itinerari selengkapnya, akan berkunjung kemana saja selama di Artsakh dan kapan keluar dari Artsakh. Nggak boleh ada satu kotapun yang nggak didaftarkan karena nantinya surat ijin berkunjung yang disertakan bersama visa bakalan dicek sewaktu-waktu oleh petugas yang seliweran di setiap area. Kalau tiba-tiba kamu berkunjung ke kota/ daerah yang namanya nggak tercantum di surat itu, you’re gonna be in trouble!”

“Jadi, visanya mau ditempel di paspor atau diberikan terpisah saja?” kata Pak Henry.

“Humm….”

Ada sedikit dilema yang saya rasakan saat itu. Menempelkan stiker visa Artsakh berarti saya mengakui bahwa saya telah dengan “lancang” dan “bandel”nya melanggar batas kedaulatan Azerbaijan. Bisa dikatakan, pintu masuk resmi ke Artsakh hanya ada di batas wilayah Azerbaijan–dan pintu masuk itu telah ditutup semenjak Artsakh memerdekakan diri. Dengan memasuki Artsakh via Armenia–yang bukan merupakan border resmi–tentunya saya dianggap nggak mematuhi peraturan keimigrasian Azerbaijan yang memang lebih diakui oleh dunia. Sanksi paling tangible yang sudah pasti saya terima adalah saya bakal di-banned dari Azerbaijan. Saya nggak bisa lagi berkunjung ke negara tersebut. Sanksi yang lain? Entahlah, saya cuma bisa berdoa semoga nggak ada drama-drama lainnya selain itu, hihi.

Tapiiiiii, gue udah jauh-jauh “cari mati” masuk ke Artsakh kayak begini, masa visanya dikasih terpisah dalam lembaran kertas lainnya sih? Paspor gue nggak ketjeh dong 😀

Attach it on my passport please.” saya tersenyum pada Pak Henry. Jadi demikianlah, visa Artsakhpun menempel manis di paspor saya–dan mulai detik ini, gue resmi ditendang oleh pemerintah Azerbaijan.

Visa Nagorno-Karabakh alias Artsakh

Visa Fee

Proses aplikasi visa selesai begitu stikernya ditempelkan. Saya dan Pak Henry saling berjabat tangan. Saya keluar dari gedung kementerian dan membuka aplikasi offline map di ponsel saya untuk mencari tahu dimana letak hostel yang saya akan inapi malam ini berada. Menurut info yang saya peroleh dari ibu pemilik hostelnya sih, lokasinya nggak terlalu jauh dari kantor Kementerian Luar Negeri.

Sembari meraba-raba pada persimpangan ke berapa saya harus berbelok kemana, saya mengamati kota Stepanakert lekat-lekat. Jujur saja, bayangan yang ada di kepala saya sebelumnya, Nagorno Karabakh bakalan berupa kota tua dengan ambians abad pertengahan dengan bangunan-bangunan batu kelabu berjajar yang membangkitkan nuansa nostalgia ala-ala kota tua Eropa. Ternyata saya salah besar. Stepanakert adalah sebuah kota modern yang tata kotanya luar biasa rapi, bersih dan teratur. Pertokoan berbaris rapi di pinggiran jalan utama beraspal mulus yang kerap dilalui oleh mobil-mobil yang berlalu lalang.

Warganya juga nggak kalah modis dan terlihat begitu ng-eropa dengan padu padanan coat musim dingin yang desainnya kekinian, boots-boots kulit yang nggak kalah ketjeh. Garis wajah Armenia yang tegas dan khas, sorot mata bulatnya yang begitu tajam dan rambut hitam yang demikian legam menjadi warisan akulturasi Eropa dan Asia yang sempurna–Yup, FYI, 90% lebih penduduk Artsakh merupakan etnis Armenia.

Dalam perjalanan mencari penginapan, saya mendadak menyadari bahwa saya sedang menjadi pusat perhatian. Orang-orang yang sedang berjalan beriringan asyik mengobrol sembari memandangi saya lekat-lekat. Ada juga yang diam-diam mengambil foto saya dari kejauhan.  Duhh, apa yang salah ya dari penampilan gue?

Ketika melewati sebuah gedung tinggi, saya mendengar kasak-kusuk dari lantai atas. Begitu saya dongakkan kepala, saya mendapati dua-tiga anak kecil yang sesekali mengeluarkan separuh tubuhnya di jendela, lalu masuk lagi dan keluar lagi seperti sedang memanggil yang lainnya di dalam sana.

Benar saja, nggak lama dari itu, deret jendela lainnya yang tadinya tertutup langsung dibuka oleh serombongan anak-anak lainnya. Heboh dan kegirangan, mereka berdadah-dadah serta berhalo-halo pada saya. Karena syok dan bingung harus bagaimana, saya hanya bisa membalas lambaian tangan mereka sambil tersenyum canggung.

Dan karena kehebohan di atas sana, orang-orang yang ada di sekitar saya ikut-ikutan heboh. Semuanya menatap saya penuh dengan rasa penasaran dan berbisik-bisik antara satu dan yang lain. Yang lebih bikin syok lagi, ada seorang pemuda yang tahu-tahu turun dari mobil yang baru saja berhenti di pinggir jalan nggak jauh dari tempat saya berdiri.

Hi how are you?” Ia menegur saya dengan ramah.

“Err… hi too, I’m fine, thanks…” saya mengernyit. Siapa orang ini?

Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Photo?”

Huh?? Ok…”

Begitu saja, setelah ber-wefie beberapa kali, ia mengucapkan “thank you” dan kembali ke mobil yang sejurus kemudian melaju meninggalkan saya yang terbengong bingung. Buset, si mas-mas tadi niat banget memberhentikan mobilnya cuma buat wefie? Sejenak saya teringat akan situasi seperti ini di tanah air tercinta.  Gue berasa jadi bule yang lagi terdampar di antara warga lokal.

Seperti layaknya seleb ketjeh yang berusaha menghindar dari kerumunan fans dan paparazi, saya percepat langkah saya dan segera berbelok ke salah satu persimpangan yang lebih sepi. Saya terus berjalan tertunduk saat berpapasan dengan orang yang lain lagi. Sumpah, jadi pusat perhatian kayak begini lucu-lucu risih rasanya, hihi.

Astaga, belum sampai satu jam saya berada di Artsakh, saya sudah bikin heboh satu kota. I still have 2 more days disini dan saya nggak bisa membayangkan apa yang bakalan terjadi beberapa hari ke depan nantinya.

Contributing to Claudia Kaunang’s 101 Travel Tips and Stories Indonesia (2)

Melalui sebuah kontes menulis yang diadakan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama bersama dengan travel author ketjeh Claudia Kaunang, saya memperoleh berkesempatan untuk berpartisipasi dalam proyek buku antologi perjalanan terbaru Mbak Claudia–kebetulan saat itu saya memutuskan untuk mereview kota Solo. Senang banget dooong yes, bisa berada dalam satu buku dengan salah satu penulis perjalanan yang inspiratif–siapa sih yang nggak kenal sama Mbak CK dan buku-buku trip hematnya yang sudah segambreng menghiasi toko-toko buku di Indonesia?

Mengusung konsep seperti yang sebelumnya pernah dituangkan dalam buku 101 Travel Tips and Stories, kali ini Mbak CK turut mengundang beberapa penulis amatir–termasuk guweh–untuk menulis tentang tips-tips ketjeh seputar perjalanan ke suatu kota di Nusantara. Adapun elemen-elemen yang dipaparkan dalam  buku ini meliputi how to eat cheap, travel wisely, shop smarter, top things to do, where to stay dan nggak lupa sekelumit catatan perjalanan para penulis saat berkunjung ke kota tersebut.

Nah kenapa saya memilih untuk menulis tentang kota Solo? Jawabannya simple aja, karena saya sempat meng-under-estimate kota ini pada kunjungan kali pertama saya beberapa tahun lalu. Solo itu ibarat gadis ayu nan pemalu yang nggak mau show off di depan saudari-saudarinya. Nggak bisa dipungkiri dong, masih banyak orang yang pasti lebih tertarik untuk berkunjung dan menghabiskan waktu lebih lama di Yogyakarta dan hanya numpang lewat atau sekedar melakukan trip pulang hari ke Solo. Solo seems to be overshadowed, padahal banyak hal super menarik yang bisa ditelusuri, baik dari sisi historisnya, maupun dari sisi sosial budayanya. Sama halnya dengan Yogyakarta, citarasa kuliner Solo pun nggak kalah lezat untuk diburu loh.

Selain Solo, ada banyak lagi kota-kota di Indonesia yang diulas dalam buku yang terbit dalam dua edisi ini. Kebetulan tulisan saya kebagian nongol di buku edisi kedua bersama dengan kota Medan, Belitung, Padang, Malang, Magelang, Buton, Bawean, Samarinda, Palembang, Kendari, Singkawang dan Lombok. Seru-seru, kan pilihan kota-kotanya? Makanya buruan samperin toko buku terdekat di kotamu dan bawa buku ini ke kasir. Be ready to explore the wonder of Indonesia!!

Ada Drama di Bandara (Shit Happens, Part Two)

Bagi banyak orang, bandara mungkin hanya dijadikan tempat pertemuan dan perpisahan dimana kenangan yang berkutat biasanya nggak jauh-jauh dari lambaian tangan dan punggung yang beranjak pergi atau pelukan yang hangat menyambut dan tawa rindu yang lepas menggelak.  Selain itu banyak orang juga yang merasa nggak ada kisah istimewa yang terjadi di bandara karena bandara hanya pijakan singkat sambil lalu sebelum beranjak ke tujuan berikutnya.

Namun lain halnya dengan saya, bandara justru punya sejuta drama yang senantiasa mengakar di dalam ingatan. Lebih dari sekedar tempat mengucap selamat datang dan sampai ketemu lagi,  bandara merekam beragam kisah dan perasaan. Bandara menjadi setting tempat yang nggak kalah penting dibanding obyek wisata proper lainnya dalam petualangan yang saya lakukan.

Pengin tahu drama-drama apa aja yang sempat menjadi bumbu “pemanis” perjalanan saya?

Salah Bandara

Alkisah, saya adalah seorang traveler slordehh. Begitu cerobohnya saya, saya sering kepedean mempercayakan intuisi saya yang terkadang masih perlu dicek dan ricek keabsahannya. Begitulah, pada suatu ketika di sebuah kota bernama Bangkok, saya memesan shuttle bus bandara melalui travel agent. Karena terbiasa menggunakan maskapai Air Asia yang beroperasi di bandara Don Mueang, tanpa melakukan pengecekan tiket terlebih dahulu, saya langsung memesan shuttle bus ke Don Mueang Airport.

Singkat cerita, esok paginya, saya sudah berada di dalam minibus. Dengan santai saya melirik jarum jam tangan saya dan bergumam pelan “Duh mo ngapain dulu, ya. Masih dua jam lagi sebelum boarding”. Saya pun merencanakan untuk sarapan di salah satu kafe, lalu membeli sejumlah oleh-oleh di mini market sebelahnya, lalu baru cek paspor ke loket imigrasi.

Setibanya di bandara Don Mueang, saya baru merasakan firasat nggak enak. Entah kenapa, saya mendadak ragu. Eh beneran terbang dari Don Mueang apa Swarnabumi ya? Pesawat yang gue pakai Air Asia kan? Eh Air Asia apa bukan ya dulu mesennya? Duh kenapa baru sekarang kepikiran gini sih. Segera saya ambil dari tas, carikan kertas berisi reservasi tiket saya. Saya buka dengan peuh deg-degan, berharap saya memang sudah berada di bandara yang tepat.

Dan benar pemirsa, saya salah bandara!! Pesawat yang akan saya gunakan adalah Jetstars, dan Jetstars berangkat dari bandara Swarnabumi! Tergesa-gesa saya langsung keluar bandara, menyetop taksi sambil mengawasi detik demi detik yang berlalu. Waktu yang saya miliki tinggal satu setengah jam untuk segera tiba di Swarnabumi bro! Untunglah, meski sempat ketar-ketir karena terjebak macet, saya tiba di Swarnabumi dan masih diterima check in. Nggak kebayang apabila saya harus ketinggalan pesawat dan membeli tiket baru, padahal uang yang saya miliki sudah menipis walsekarat.

Saya mungkin “selamat” di Bangkok. Namun pengalaman salah masuk bandarapun terulang kembali beberapa tahun kemudian, meski kali ini bukan murni kesalahan saya. Jadi suatu sore di Rabat, Maroko, saya berencana ke bandara untuk melanjutkan perjalanan saya ke kota Roma, Italia. Berbekal info dari masyarakat setempat, sayapun terdampar di stasiun kereta menuju bandara. Pantang melakukan kesalahan yang sama seperti yang pernah saya lakukan dulu, sayapun mengecek segala sesuatu, mulai dari tiket kereta, sampai berkali-kali memastikan ke petugas kalau saya sedang menunggu kereta yang tepat di peron yang tepat.

Keretapun tiba. Dengan penuh keyakinan, sayapun menuju gerbong dan tempat duduk sesuai yang tertera pada tiket. Seketika kereta berangkat, dan dengan penuh rasa syukur saya ucapkan terima kasih pada Maroko yang telah memberikan pengalaman perjalanan yang luar biasa. Perjalanan kereta memakan waktu sekitar satu jam, namun yang ada dalam benak saya saat itu hanyalah, “Bandaranya jauh banget ya? Naik kereta aja satu jam. Gimana naik bus?”

Singkat cerita lagi, saya sampai di bandara. Saya keluarkan kertas bookingan penerbangan saya dan menuju layar pemberitahuan penerbangan untuk mencari tahu pesawat yang saya tumpangi ada di terminal berapa. Saya cek dengan teliti satu persatu daftar penerbangannya di salah satu terminal dan saya nggak menemukan jadwal keberangkatan saya. Masih berusaha stay positive,  saya berjalan menuju layar yang lain lagi di ruangan lain.

Masih nggak ada! Saya bahkan nggak menemukan keberadaan konter maskapai yang akan saya gunakan. Nah loh kok bisa, sih? Kian gusar, saya segera menuju meja informasi dan bertanya pada petugas disana. Dengan seksama mereka mengecek kertas reservasi saya sebelum kemudian salah satunya mengernyit dan melempar tatapan heran.

“Loh, bapak ngapain kemari? ujarnya.

“Loh, kok nanyanya gitu?” Saya ikutan bingung.

“Penerbangan bapak kan dari Rabat, ngapain kemari?”

“Loh, ini dimana emangnya?”

“Ini Casablanca, Pak?”

JDENGGGGG! Otak saya ngeblank. Saya berusaha mencerna ucapan simbak. Casablanca? kenapa saya bisa sampai di Casablanca? Saya tadi kan beli tiket keretanya dari kota Rabat, kenapa saya malah dikasih tiket menuju bandara Casablanca? Ibaratnya elo beli tiket bus damri dari stasiun Gambir dengan tujuan Bandara ya logikanya elo bakal naik bus either ke Bandara Soekarno-Hatta atau ke Halim Perdanakusuma, bukannya tiba-tiba naik bus ke Hussein Sastranegara yang jelas-jelas ada di kota yang berbeda.

Saya tahu, mengomel habis-habisan ke si mbak nggak akan berguna karena ini bukan kesalahan mereka. Oleh karena itu saya coba menenangkan diri dan menanyakan apa alternatif tercepat untuk tiba di Rabat dan mengejar penerbangan saya. Si mbak hanya bisa memasang muka menyesal. Katanya, perjalanan dari Casablanca ke Rabat memakan waktu paling cepat satu jam dengan menggunakan taksi. Saya hanya punya waktu satu jam sebelum boarding, yang berarti mustahil bagi saya untuk mengejar penerbangan karena saya belum check in sama sekali.

Solusi satu-satunya hanyalah beli tiket baru!

Kaki saya melemas, perlahan saya tinggalkan meja informasi, duduk dengan wajah kusut masai penuh depresi membayangkan berapa harga tiket yang harus saya bayar untuk penerbangan berikutnya. Bayangin betapa nyeseknya, elo punya waktu satu jam sebelum terbang, tapi elo bahkan nggak bisa terbang karena elo berada di bandara yang salah berkilo-kilo meter jauhnya.

Tiket termurah untuk angkat kaki dari daratan Afrika Utara ini baru ada dua hari ke depan. Sedangkan tiket-tiket lainnya bertahan di atas angka dua jutaan. Saya nggak punya pilihan selain eksten tinggal di Maroko. Dengan segenap rasa kesal tercurah, sayapun kembali ke kota Rabat, mencari losmen yang paling murah dan menghabiskan extra time yang harus saya terima.

Ps. Sampai saat ini saya masih bingung kenapa petugas kereta tersebut meng-issued tiket kereta dengan tujuan bandara Casablanca.

Salah Jadwal Terbang

Pagi itu, bandara domestik Tulamarine Melbourne sarat akan hiruk-pikuk manusia. Nggak cuma para penumpang dan pengantar, petugas darat bandara dan awak pesawatpun hilir mudik memadati ruangan. Itu seharusnya menjadi pagi terakhir saya di Melbourne sebelum bertolak ke Tasmania, pulau terbesar kedua di Australia. Ya, “seharusnya!”, sebelum akhirnya kecerobohan saya kembali berbuat ulah.

Karena kepagian, saya harus menunggu sekitar empat jam sebelum jadwal keberangkatan. Dengan tenang, saya duduk di lantai sambil mengisi daya baterai ponsel dan mengecek sosial media untuk membunuh waktu. Menunggu sambil menahan kantuk selama empat jam menjadi waktu lumayan lama, terlebih lagi setelah malam sebelumnya saya nggak beristirahat dengan nyenyak karena takut telat ke bandara dan ketinggalan pesawat.

Perlahan tapi pasti, akhirnya waktu menunjukkan tinggal dua jam lagi sebelum boarding. Saya bangkit berdiri setelah mencabut charger ponsel dan menuju antrian menuju loket maskapai yang saya akan tumpangi. Santai, saya ambil kertas reservasi dan saya siapkan paspor saya untuk pengecekan dokumen.

Antrian demikian panjang, sayapun iseng membaca-baca ulang isi kertas reservasi penerbangan saya. Dan saat itulah tenggorokan saya mendadak tercekat. Keringat dingin mengalir di pelipis seiring dengan gemetar tangan saya saat meraih ponsel untuk memastikan sesuatu. Sejurus kemudian mata saya tertuju pada tanggal hari itu.

Astaga! gue baru berangkat besok! gue salah tanggal!

Andai saya adalah warga Melbourne, saya bisa dengan mudah kembali ke kota dan kembali ke bandara esok harinya. Sayangnya saya adalah turis, dan saat itu uang yang miliki nggak mengakomodir plan B untuk tinggal semalam lagi di Melbourne (Berdasarkan pengalaman saya beberapa hari sebelumnya, sangat sulit untuk go show dan memperoleh kamar dorm termurah. Biasanya mereka hanya akan menawarkan kamar-kamar privat yang harganya suangatt muwahalll–kamar dorm aja seorang 30 Dolar bung, apa kabar kamar privat?). Belum lagi perjalanan Bandara-pusat kota memakan waktu sekitar satu jam lebih, dengan tiket bus yang nggak kalah bikin gondok (18 dolar sekali jalan Bro!).

Dengan berat hati saya akhirnya putuskan untuk stay di bandara sampai esok hari. Saya habiskan 24 jam yang saya miliki dengan berbagai kegiatan nggak jelas, mulai dari tidur, online, tidur, keliling-keliling cuci mata, tidur, keliling lagi, makan, online, tidur dan seterusnya. Beberapa teman menyarankan agar saya kembali ke kota aja dan menginap di tempat mereka. Tapi membayangkan saya harus balik lagi ke pusat kota dan bangun pagi lagi besok untuk berangkat ke bandara, saya langsung mual. Ok, mendingan di bandara aja sampai besok…

Diusir Tengah Malam Buta

Bandara adalah my other home sweet home. Dalam setiap perjalanan saya, hampir bisa dipastikan nggak pernah ada satu kalipun saya nggak menyempatkan diri untuk menginap disana–entah di bandara dalam negeri ataupun di bandara negara lain. Selalu ada satu malam saya luangkan untuk menghabiskan malam panjang terlelap setengah hati di atas deret bangku panjang ruang tunggu kedatangan, ataupun di atas lantai di pojok lorong tertentu. Biasanya hal ini saya lakukan setiap kali saya memiliki jadwal penerbangan pagi. Selain untuk menghemat pengeluaran penginapan ataupun taksi, tentunya saya bakalan terhindar dari keterlambatan sampai di bandara atau bahkan ketinggalan pesawat.

Demikianlah, di bandara salah satu pulau paling ngeheits di dunia bernama Ibiza, saya tiba sekitar jam delapan malam. Saya bermaksud untuk menginap disana karena saya harus terbang ke Madrid keesokan harinya jam tujuh pagi. Saat itu bandara masih riuh oleh manusia-manusia yang akan berangkat dan yang baru saja tiba. Sejenak, saya berkeliling cuci mata melihat-lihat beberapa toko yang menjual souvenir khas Ibiza. Saya beli beberapa helai kaus dan magnet kulkas yang sedang diobral di salah satu toko.

Usai berbelanja, saya berburu tempat tidur yang aman dan nyaman, bebas dari keramaian. Saya memutuskan menjadikan deretan bangku panjang di salah satu ruang tunggu kedatangan sebagai “kamar mungil” saya malam itu. Saya atur ransel menjadi bantal kepala dan syal sebagai selimut. Mata terpejam dan dalam hitungan menit sayapun terlelap.

Lagi enak-enaknya tidur, saya merasa ada orang yang mengguncang-guncang tubuh saya. Dengan masih mengantuk, saya memaksakan diri membuka mata. Ada apa sih?!

“Que tal–Ada apa ini?” Seorang satpam berkumis dan berbadan tegap melotot di hadapan saya.

Dengan sempoyongan, saya mengambil paspor dan boarding pass dari tas, sambil berusaha menjelaskan dalam bahasa Inggris. “Saya ada jadwal penerbangan besok pagi. Saya mau menginap semalam saja disini.”

Satpam itu memperhatikan tiket yang saya sodorkan. Masih dengan ekspresi galak, dia meninggikan suara. “Kamu nggak bisa menginap disini. Bandara sudah tutup. Kamu datang lagi saja besok pagi!”

Maksud loe???

“Saya harus tidur dimana? Kota kan, jauh banget dari sini. Jam segini sudah nggak ada bus,” sahut saya dengan suara nggak kalah kencang.

“Kamu bisa pergi ke kedai kopi di luar sana. Tunggu disana sampai pagi!”

Saya mengernyit kesal. Mendengar kata kafe, saya membayangkan akan tidur dalam posisi duduk, berbantal tangan yang dilipat di meja. Saya lagi pengin rebahan. Tidur dalam posisi wajar, bukan sambil duduk!

“Nggak bisa tidur sebentar disini? Sudah jam setengah satu dini hari juga. Sebentar lagi kan pagi, Pak?” bujuk saya.

Si bapak menggeleng datar. “Tidak bisa!”

Dengan perasaan kesal dan mengantuk, saya kemasi barang-barang dan mengikuti satpan itu keluar. Saya menunjuk halte bus yang masih terletak di area bandara sambil memohon untuk terakhir kalinya.”Bagaimana kalau disana?”

“Tidak boleh tidur di area bandara!” Si bapak nggak kalah kekeuh.

Bak tereliminasi dari kontes nyanyi di TV, saya melangkah gontai meninggalkan pelataran bandara. Dengan terkantuk-kantuk, saya seret kaki ini sambil menggerutu sebal. Satpam sialan! Niat hati pengin berhemat biaya penginapan, malah apes diusir keluar tengah malam buta. Saya terus berjalan sambil celingak-celinguk mencari spot yang memungkinkan untuk tidur. Tapi setelah berjalan jauh lebih dari satu kilometer, saya makin jarang menemukan bangunan. Semua hanyalah lahan gelap dan sunyi. Kota terasa begitu jauh, cahaya lampu keramaian juga sama sekali tidak terlihat. Benar-benar seperti terdampar di antah-berantah.

“Ibiza! elo jahat banget sih sama gue!” umpat saya untuk kesekian kalinya… (tobe continued)

Mau tahu kelanjutan kisahnya? Yuk temukan di buku HOLA SPANYOL yang sudah beredar di toko-toko buku terdekat di kotamu  #ujung-ujungnya jualan, hihi :p

Holla Sepanyol_C_R (1)

Traveling Buat Apa?

I travel to find a better ME

Ada sejumlah alasan yang membuat seseorang mendadak filsufpacker. Entah karena kenangan masa lalunya yang begitu mengecewakan, entah karena kehampaan yang ia tengah rasakan, entah karena baru saja menyaksikan kejadian yang membuatnya tercengang, entah juga karena ia mengidolakan sosok seseorang yang menginspirasi kehidupannya. Yang begini biasanya memaknai segala hal demikian khusuk dan sarat nilai filosofis. Hari-hari yang ia lalui sepanjang perjalanan membuatnya mengimani bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Detail-detail yang ia jumpai, pahit-manis yang ia rasakan, ragam wajah dan karakter yang ia baru kenal menempa pribadinya sehingga ia mengamini bahwa ia telah “lahir baru”. Orang-orang semacam ini biasanya memang mengalami transformasi diri. Kita akan menemukan dirinya yang berbeda dibandingkan dulu sebelum melakukan banyak perjalanan.

I travel just because I want to

Nggak pakai ribet, nggak pakai drama, nggak mau pusing dengan segala tetek bengek bernama filosofi hidup dan alasan menye-menye lainnya. Yang ia pikirkan adalah, I need a short escape, gue butuh liburan, gue mau menenangkan pikiran, gue mau having fun, gue mau entertain my self. Dia nggak butuh benturan masalah hidup pelik yang membuatnya melarikan diri dan mencari makna hidup hakiki. Dia nggak butuh perenungan malam dan pagi bersama secangkir kopi. Dia nggak perlu menjadi peka terhadap sekeliling karena dia sedang nggak butuh pelajaran hidup. Kalau kamu bertanya padanya, ngapain ngetrip, dia bakal jawab, ya lagi pengen aja. titik.

I travel to race

Nggak sedikit orang-orang yang punya pandangan demikian. Berlomba-lomba mengkoleksi jumlah negara, mencatat daftar been there done that, dan menjadi seorang pejalan yang lebih wah dibanding yang lainnya.  Semakin banyak jumlah negara yang dikunjungi dibanding teman-teman lainnya, maka semakin merekah dan berbunga-bunga perasaan mereka. Ada semangat kobaran persaingan ingin berusaha menandingi yang lainnya. Ada perasaan ingin lebih dulu pernah kemana, lebih dulu melakukan dan memperoleh apa, lebih dulu menjadi yang terbagaimana. Well this is natural, bukankah manusia diciptakan dengan ego ingin lebih unggul? Nggak ada yang salah dengan perasaan ini. Dalam lingkup kerja aja orang-orang bisa bersaing ingin lebih baik dari yang lain, demikian pula dalam dunia traveling 😀

img_3074

I travel to explore

I am a true adventure. I love nature. I love culture and art. I love to meet locals and mingle with them. I love to find something I never knew before, I’m not afraid of stranded in the middle of nowhere. I dare to challenge my self fulfilling my curiosity. Gue traveling karena gue pengen memperkaya khasanah pengetahuan dan pengalaman hidup. Begitulah kira-kira yang ada di kepala para petualang sejati ini. Fokus mereka hanya satu, bagaimana obyek wisata dan segala kekayaannya mampu menciptakan sensasi perjalanan yang luar biasa tak terlupakan. Mereka berani mengambil resiko menyusuri sudut terdalam dan titik terjauh demi memuaskan hasrat bertualangnya.

I travel because err that’s my job

Kata orang, pekerjaan mobile yang mengharuskan orang berpindah dari satu tempat ke tempat lain adalah salah satu dream job yang banyak orang idamkan. Udah jalan-jalan gratis, masih dibayar pula! Siapa yang nggak mau? Ada banyak pekerjaan yang mewajibkan orang-orang untuk mengunjungi kota anu atau negara anu. Ada yang bekerja sebagai pemandu wisata, ada yang bekerja sebagai jurnalis dan reviewer, ada yang sekedar perjalanan singkat kantor, dan masih banyak lagi lainnya. Namun bagi saya pribadi dan pastinya bagi sebagian besar orang, apapun jenis pekerjaannya, terkadang jalan-kalan untuk kerja itu tentunya nggak se-wild and fun apabila kita murni jalan-jalan untuk plesiran.  Ada sederet batasan ruang waktu, kondisi dan norma tertentu yang mengekang. Maybe you make a report on the terrace of Maldive floating resort. That might look fancy… but again, lo lagi kerja bro, bukannya lagi leyeh-leyeh santai doing nothing 😀

I travel because you do too

Seseorang juga bisa menjadi alasan utama mengapa seseorang memutuskan untuk menjadi seorang pejalan. Bisa jadi orang itu adalah orang yang ia sayangi sehingga ia hanya ingin tetap bersama kemanapun dimanapun. Bisa jadi orang itu adalah orang yang ia kagumi sehingga ia merasa terinspirasi oleh perjalanan-perjalanan yang orang itu lakukan. Bisa jadi orang itu adalah orang yang ia benci dan ingin ia sejauh mungkin hindari. Bisa jadi orang itu adalah orang yang berada nun jauh disana dan ia ingin hampiri.

img_5534

 

Aplikasi Online Visa Selandia Baru

Kabar gembira untuk kita semua, apply Visa New Zealand di Indonesia sekarang sudah bisa dilakukan secara Online–dengan catatan, paspor masih harus disetor ke VFS New Zealand di Jakarta. Tapi jangan sedih, aplikan nggak perlu datang langsung untuk menyetor paspor kok, cukup menggunakan pos atau jasa antar jemput dokumen yang disediakan oleh VFS New Zealand ajah 🙂

And the other good news is, IT’S WAY CHEAPER than usual paper application loh.

Aplikasi manual, visa fee IDR 1.800.000,- dengan VFS fee IDR 240.000,-

Aplikasi Online, visa fee 165 NZD alias 1600.000,-an Rupiah dengan VFS fee IDR 180.000,-

Prosedur Aplikasi:

1. Buat akun baru melalui website ini . Jangan lupa memverifikasi akun dengan mengklik link yang dikirimkan melalui email yang telah didaftarkan

2. Kembali login ke web di atas untuk mengisi kelengkapan data pada formulir online.

3. Setelah mengisi data formulir, upload sejumlah dokumen yang diminta pada halaman supporting document. Perhatikan spesifikasi foto yang diminta.

4. Lakukan pembayaran dengan kartu kredit pada halaman pembayaran. Setelah melakukan pembayaran jangan lupa print halaman pembayaran sebelum beralih ke halaman berikutnya.

5. Bawa paspor, bukti pembayaran Online Application, dan lembar berisi data kontak (nomor telepon, email, dan alamat pengiriman kembali dokumen sehingga Pusat Aplikasi Visa (VAC) dapat menghubungi bila diperlukan) ke VFS New Zealand tanpa perlu terlebih dulu membuat temu janji di:

NEW ZEALAND VISA APPLICATION CENTRE
Kuningan City Mall 2nd Floor No. L2-19
Jl Prof. Dr. Satrio Kav. 18
Setiabudi, Kuningan, Jakarta

Jangan lupa melakukan pembayaran logistic fee di VFS New Zealand pada saat pengajuan.

6. Apabila hendak menggunakan jasa antar jemput dokumen, terlebih dahulu transfer VFS Fee berikut ongkos antar jemput dokumen yang bisa dilihat disini

7. Kirim bukti transferan, nomor referensi aplikasi visa yang tertera pada bukti pembayaran VISA, berikut data berupa nomor telepon, email, dan alamat penjemputan/.pengiriman kembali dokumen melalui email ke info.nzid@vfshelpline.com. Setelah memperoleh respon dokumen siap dijemput melalui balasan email yang sama, siapkan kelengkapan dokumen–dalam waktu sekitar 2-3hari petugas akan menjemput dokumen.

8. Setelah permohonan visa diterima di VFS, lakukan pengupdatean proses aplikasi melalui http://www.vfsglobal.com/newzealand/indonesia/track_application.html . Proses aplikasi berlangsung kurang lebih 5 sampai 15 hari kerja (bisa lebih cepat bisa lebih lambat, tergantung embassynya lagi busy atau nggak).

9. ponsel harus selalu stand by karena you never know Embassy akan menelpon untuk memverifikasi sesuatu (seperti yang saya alami, saya sempat ditelpon untuk interview sekilas).

10. Apabila proses aplikasi visa selesai dan visa digranted, paspor siap diambil kembali di VFS atau dikirim kembali ke alamat pemohon jika menggunakan fasilitas antar jemput dokumen. Visa tidak akan ditempel ke paspor karena sifatnya E-visa. E-visa akan dikirim melalui email pemohon dan terlampir dalam bentuk dokumen hardcopy yang dilampirkan di paspor.

Puji Tuhan saya dikasih kesempatan untuk memperoleh Multiple entry Visa dua (2) tahun dengan duration of stay tiga (3) bulan for each arrival. Yapp, bukan akumulasi 3 bulan, tapi dibolehin tinggal selama 3 bulan untuk setiap kali kedatangan, hihi–Kalo ada rejeki setaun tiga kali bulak balik ke NZ bisa tinggal sampe 9 bulan cuyy  (sayang tiket dan living costnya mahal )

Semoga bermanfaat and may the force be with you

Aplikasi Visa Brazil

Visa Brazil adalah salah satu visa yang aplikasinya ngeri-ngeri sedapp buat saya, meski sebenarnya persyaratan yang harus dilengkapi nggak lebih rumit ketimbang visa Schengen, Australia ataupun visa lain pada umumnya. Membaca sejumlah blog dan postingan beberapa teman awalnya sempat membuat kewaspadaan saya sedikit ditingkatkan. Gimana nggak, menurut gosip-gosip yang saya dengar, aplikan harus menyiapkan dana yang cukup besar, kalau bisa di atas 50juta bahkan sampai 100jutaan #yoloo duit darimana akang 😭😭 Belum lagi kadang suka diminta dokumen yang biasanya nggak diminta di checklist.

Untungnya dengan segala persiapan memadai, saya mencoba mengajukan aplikasi ke Menara Mulia dengan membawa semua dokumen yang tercantum di checklist maupun dokumen penunjang yang walau nggak diminta tapi akan lebih baik disertakan untuk memfasilitasi proses pengajuan visa. Saya nggak akan hanya memposting tata alir pengajuan berikut dokumen apa saja yang harus disertakan. Saya juga akan menambahkan tips-tips yang meski belum pernah dibahas tapi sekiranya mungkin bisa membantu (berdasarkan pengalaman saya mengajukan kemarin)

In short, proses pengajuan visa kurang lebih begini:

1. Mengisi form online dari web carta.itamaraty.gov.br/en-us/visa_application_form.xml dan mencetak bukti validasi pengisian form yang akan muncul saat pengisian form selesai dilakukan.

2. Menyiapkan semua dokumen yang diminta disini

3. Datang langsung tanpa perlu membuat temu janji ke Kedutaan Brazil di

Menara Mulia lt. 16. JL. Gatot Subroto kav. 9-11 Jakarta. Jam aplikasi visa dari 9AM hingga 12PM.

Pembayaran visa fee sebesar 80 USD dilakukan di bank BCA lt. 1 di gedung yang sama setelah memperoleh slip pembayaran saat seluruh berkas dianggap lengkap.

4. Mengambil paspor bila proses aplikasi sudah selesai (Senin-Kamis dari 1.30PM hingga 3PM. Jumat kayaknya jam pengambilan lebih pendek cmiimw)

Sedikit tambahan untuk diperhatikan:

1. Usahakan datang sendiri. Seperti poin yang saya sampaikan di atas, kadang kedutaan suka meminta dokumen tambahan yang nggak tertera di checklist. Dengan datang sendiri mengajukan aplikasi, seenggaknya kita bisa membuat surat pernyataan tertulis langsung di tempat dan ditandatangani langsung (dari beberapa aplikan sebelum saya dan termasuk saya, mereka diminta nulis di selembar kertas berupa pernyataan seperti saya siapa pekerjaan apa bermaksud mengajukan aplikasi visa untuk tujuan apa dengan dana siapa bla bla dll dkk). Jadi misalkan aplikasi diajukan oleh pihak ketiga, tentunya akan buang waktu lebih krn pihak perwakilan hrs pulang dan meminta aplikan membuat suratnya lagi.

Dengan datang sendiripun kita jadi bisa lebih detail menjelaskan tujuan perjalanan kita, berapa hari, mau kemana aja. Kalau pengalaman saya kemarin, bapak officer di loketnya nanyanya detail banget baik ke saya maupun aplikan sebelumnya. Dokumen diorak-arik bulak-balik dan ditanyain lembar demi lembar🙈

2. Karena dana saya di tabungan minim, saya menambahkan dengan tabungan kakak saya (dengan melampirkan id dan surat sponsor dari beliau). Pihak kedutaan nerima dokumen keuangan sponsor selama hubungan kita dengan sponsor jelas dan ada bukti hubungan dengan sponsor tersebut (kartu keluarga atau surat pegawai atau apa aja deh). Perlu diketahui juga, dalam surat sponsor pemilihan kalimatnya harus detail dan jelas, aplikan siapa, sponsor siapa (bukti apa aja yg bs membuktikan kalau dia bisa sponsorin), hubungan keduanya apa, sponsornya akan dalam bentuk apa. Agen yang mengajukan sebelum sebelum saya harus pulang krn diminta menyediakan surat super detail itu ke aplikannya.

3. Perihal fotopun ternyata cukup ribet. Aplikan sebelum saya harus pulang karena pencahayaan di foto nggak merata material dan spiritual karena kelopak matanya katanya nggak kena cukup cahaya sehingga agak blur atau kurang jelas gt. Ini beneran something serious loh, karena officer sampai memperhatikan detail fotonya (gara-gara ini saya jadi waswas merhatiin foto saya sendiri).

4. Bawa dokumen selengkap-lengkapnya. Transportasi dari Indonesia sampai Indonesia lagi biasanya diminta lengkap. Penginapan cukup mencantumkan selama di Brazil. Dan dokumen lain, kalo perlu yang kira-kira dibutuhkan tapi nggak diminta di checklist ya dibawa aja.

5. Pastikan menghitung waktu durasi validitas visa dengan rencana perjalanan.Visa turis berlaku 90 hari sesudah visa diisu. Jadi jangan sampai kecepetan mengajukan aplikasi ke Brazil sehingga visa expired sebelum kita berangkat.

Semoga bermanfaat.

Foto dari: http://www.photos4travel.com/travel-guides/rio-de-janeiro

 

 

WHV di Australia itu Kudu… (Balada WHV di Australia part 3)

Korupsi Umur!

Jangan pernah ngaku tua, karena kita sebagai ras Asia dikaruniai oleh muka yang lumayan awet muda ketimbang para bule (Kalo muke lo boros, errr… derita lo itu mah :p). Kadang bule suka bertanya pada saya, “Are you a student? Are you here with Student visa?” Yaaa, bukan salah gue dong ya, kalo saya iyain dan mereka percaya 😀 Sebagai WHV-ers berbudi pekerti luhur, umur saya yang berada di ambang batas ini suka merasa tuwir ketika melihat partner kerja saya kebanyakan berumur 20-25 (bahkan ada yang masih belasan tahun).

Yaaa, saya akuin memang agak telat bagi saya untuk mengikuti program WHV. Bagi orang-orang di Australia kebanyakan, umur-umur saya harusnya udah buka usaha sendiri atau–at least–udah punya posisi ok di kerjaan, bukannya lagi nyuci piring atau sikat-sikat WC. Maka dari itu saya selalu mengaku “I’m 23 y/o” setiap kali ditanya umur karena pernah sekali saya jujur menjawab dan respon salah satu co-worker saya adalah “Seriously, you’re xx y/o and you still do the dishwashing?”

—–Anyway, dua bos saya umurnya 27 tahun, bete nggak sih?—–

Nilai positif:  Seenggaknya sih lebih baik telat WHV daripada nggak nyobain sama sekali hihi. Siapa sih yang nggak mau kerja babu tapi gajinya setara manajer di tanah air. Umur is just a number lah ya :p

Manggil Bos dengan Namanya Langsung

Saya merasa sangat bangga menjadi orang Asia yang terkenal dengan etika santun dan penuh respek. Dari kecil saya sudah diajarkan untuk menghormati orang tua atau orang yang lebih tinggi posisi/ jabatan/ pekerjaannya dengan cara memanggilnya “Pak atau Bu”. Nahhh, begitu mengecap dunia kerja bersama orang asing, saya baru paham kalo saya nggak perlu ber-Pak-Bu-Sir-Ma’m-Mister-Misis ria setiap kali berinteraksi dengan orang,  terlepas berapapun umurnya atau gimanapun jabatannya.

Panggil aja namanya, nggak usah takut dipecat. Mau bos elo seumuran sama Eyang Buyut elo, mau bos elo kedudukannya setara dengan top 10 CEO. It’s common, biasa banget! Nggak perlu merasa terlalu kecil atau merasa rendah. Yang saya suka ketika berinteraksi dengan orang-orang ini adalah, mereka menjunjung kesetaraan alias equality banget. Kamu bisa memanggil namanya langsung, atau kalo misalnya udah akrab banget kayak saya dan si pak bos, kamu bisa saling manggil sweetheart atau honey, hihi.

Belajar Ngomong Jorok!

Nah this is the best part ever! Saya kebetulan dianugerahi dengan kerjaan seru, bos-bos dan co-workers yang nggak kalah ketjeh. Setiap kali bekerja, nggak pernah nggak, kita selalu berbalas umpatan seperti Fish you, Ashhowl,  Fork you, Syitt, Ford you, MotherFooker, Flood you, Dighead dan F word lainnya.

Jangan kaget dan jangan heran. It’s just something normal here. Yang nggak normal adalah kalo kamu merasa tersinggung. Yaaa, buat kebanyakan orang-orang disini, ungkapan-ungkapan di atas adalah ungkapan sayang yang menandakan bahwa you’re part of the family. Mereka perhatian dan sayang sama kamu dengan caranya sendiri. Jadi sekasar apapun mereka memanggil kamu, woles aja, don’t take it personally. I mean, welcome to Australia 😀

Punctual dan Penuh Tanggung Jawab

Ok, saatnya ngobrol serius. Bekerja di negara orang ritmenya beda banget sama bekerja di negara sendiri. Harus saya akui, saya suka kangen sama atmosfir kerja di kantor lama atau bahkan ketika membantu usaha keluarga. Kerjaan nyantai, bisa sembunyi-sembunyi chatting atau cek sosial media, dan bisa ngobrol haha-hihi sambil leha-leha cantik saat kerjaan nggak banyak.

But here, duh boro-boro leha-leha cantik. Kerjaan numpuk segambreng dan bakalan terus menumpuk kalo nggak segera diselesaikan. Saya hampir nggak punya waktu untuk menyenggol ponsel. Setiap kerjaan memaksa saya untuk fokus, tangan dan kaki terus aja aktif mengerjakan sesuatu tanpa berhenti. Yaeyalahh, elo dibayar perjam disini, tentunya setiap menit yang dihargai sedemikian dolar oleh bos elo ya bakalan dibebani dengan segambreng kerjaan yang berimbang.

Capek sih, tapi the good point is saya jadi lebih menghargai waktu. Kinerja kerja saya jadi sedemikian efektif dan efisien. Dan berat saya turun banyak tanpa perlu diet hihi. “Time is money” is for real here.


Baca juga kisah WHV saya disini:

Kerja di Australia Itu…

Siapa Suruh Datang Australia

Apply Work and Holiday di Australia

Transit in Milan, Whacha Gonna do??

Rush trip alias trip kejar tayang  jarang saya lakukan kalo nggak benar-benar kepepet. Biasanya sih, saya selalu meluangkan beberapa hari untuk menikmati ambians sebuah kota seutuhnya. Dan biasanya pula di sebuah negara, saya bisa mengunjungi lebih dari satu kota. Oleh karena itu, dalam satu kali trip, saya bisa menghabiskan waktu hampir semingguan hanya untuk mengeksplor satu negara.

Namun trip beberapa pekan lalu menjadi sebuah pengecualian. Saya dan keluarga yang berencana menyisir sekitar empat negara terpaksa harus “stripping” ceria ala sinetron, berpindah satu negara ke negara lain dalam waktu yang demikian singkat. Maklum, usaha keluarga nggak bisa ditinggal lama-lama, jadilah kami terpaksa berpacu dengan waktu.

Setelah tiga hari menyatu dengan alam cantik Swiss, kami melanjutkan perjalanan ke Roma via Milan. Rempong yee, kenapa nggak langsung terbang ke Roma aja dari Swiss, daripada transit-transit segala, buang banyak waktu di jalan. Well, pengennya sih gitu. Tapi berhubung tiket pesawat direct Zurich-Roma lumayan mahal mampus, dan setelah saya membandingkan dengan jalur darat dengan rute Spiez (salah satu kota di Swiss dekat dengan perhentian akhir kami) -Milan-Roma, ternyata selisih harga tiketnya lumayan besar perorang (belum lagi bila dikalikan dengan jumlah anggota keluarga yang berangkat).

Nah, singkat cerita, sekarang kami sudah terdampar di stasiun kereta Milan Central. Kami punya waktu luang sekitar enam jam sebelum nantinya beranjak ke bandara dan terbang ke Roma. Jeleknya saya kalo punya waktu luang yang nanggung selama itu, saya malas membuat itinerari singkat jauh-jauh hari. Seperti yang terjadi saat saya 10 jam transit di Frankfurt tahun lalu, saya sama sekali nggak mempersiapkan rencana apa-apa untuk ngulik-ngulik info seputar obyek wisata setempat.

Daaaan, beginilah trip ala kadar saya selama enam jam di Milan yang saya andalkan hanya peta kota dan googling singkat sehari sebelumnya.

Duomo Cathedral

Bangunan berlanggam Gotik ini tentu didaulat menjadi primadona Italia dan Milan pada khususnya. Terletak di jantung kota Milan, katedral terbesar kedua di Italia ini dapat menampung hingga 40.000 orang. Konstruksi Duomo dimulai pada tahun 1386 dan selesai dibangun dalam waktu sekitar tiga abad. Worth a wait sih, secara fasadnya aja udah mind-blowing banget sophisticated-nya, ya, kan?

IMG_5036

Galery Vittorio Emmanuelle II

Siapa yang nggak takjub melihat langit-langit pusat perbelanjaan tertua di dunia ini. Menyandang nama raja pertama Italia, Victor Emmanuel II, bangunan kuno ini juga akrab dengan sebutan nama “Ruang Rekreasi” atau “Il Salotto di Milano”. Ya,  Galeri ini bertaburan toko-toko barang branded dan fancy restaurant bakalan membuat kamu merinding terpukau. Sstt… jangan sampai kalap belanja ya, Buuu.

IMG_4937

Via Dante

Resapi lalu lalang trem dan ingar-bingar lautan manusia yang memadati jalanan di kawasan bangunan kuno yang disulap menjadi area pertokoan dan kafe-kafe cantik. Membentang dari alun-alun Duomo hingga kastil Sforzesco, kamu  bisa duduk-duduk di salah satu restorannya sambil menghirup secangkir Capuccino atau menyantap Spagetti Frutti di Mare favoritmu!

IMG_5002

Kastil Sforza

Atau dalam bahasa Italianya Sforzesco Castillo adalah kastil yang dibangun pada abad ke 15. Kastil ini dibangun di atas sebuah benteng pertahanan sudah berdiri sejak abad ke 14. Kini kastil beralih fungsi menjadi hub sekumpulan museum, seperti useum peradaban bangsa Mesir, museum alat musik, hingga museum koleksi benda seni.

IMG_5018

IMG_5026Gereja San Gottardo

Gereja yang dibangun pada tahun 1330 ini memiliki atap oktagonal dan menara yang sangat cantik.

IMG_4953

Tips Ngegembel di Eropa bareng Keluarga

Ngetrip bareng keluarga terkadang membutuhkan kinerja ekstra. Drama-drama yang kita hadapi ketika ngetrip bersama keluarga biasanya lebih lebay ketimbang saat sedang ngetrip sendiri. Beberapa pekan lalu saya bersama keluarga berkesempatan untuk plesir cantik ke sejumlah negara di Eropa. Dan seperti trip-trip keluarga sebelumnya dimana kami memang nggak pernah membook paket tur dari travel agent, kali itupun kami mengandalkan itinerari yang saya buat untuk berkeliling kota.

Serunya trip kali, keluarga saya belajar banyak hal baru yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Ini kali pertama mereka menginap di dorm bersama 3 turis asing. Pertama kalinya juga bagi mereka terlantar di antah berantah, entah guling-gulingan di rerumputan taman menanti keberangkatan bus, entah terkapar di bandara berjam-jam menanti penerbangan. Mereka juga saya paksa untuk naik bis malam berjam-jam lamanya untuk pindah dari satu negara ke negara lain. Intinya, trip kali ini level capeknya sedikit dieskalasi.

Meski banyak hal yang membuat saya agak stres karena ternyata trip bersama keluarga ke Eropa lebih bikin degdegserr ketimbang ke negara-negara Asia pada umumnya, so far saya cukup berbangga karena Fameurope-trip ala gembel kali ini sakseuss lancar jaya. Nah berikut ini saya pengen sedikit berbagi beberapa tips ngegembel di Eropa bersama keluarga ala saya ^_^ semoga bermanfaat yah.

Ingatkan Untuk:

1. Less Rice, more Sandwich

Yaaa sebenarnya harus dimaklumi sih, budaya pangan orang Indonesia nggak bisa terlepas dari nasi. Mau makan sebanyak apapun, kalau belum ketemu nasi ya perut nggak akan terisi dengan paripurna. Oleh karena itu sedari awal berangkat udah dihimbau kalo pagi-pagi biasanya bule nggak pernah makan berat, siang dan malam pun bule Eropa cenderung makan roti, mash potato, pasta ataupun apalah-apalah. Jadi, unless kamu bawa beras sendiri dari rumah atau beli di restoran Asia yang terlokalisir di beberapa spot tertentu.

2. Selalu jaga barang bawaan

Beritahu keluargamu bahwa di beberapa kota, obyek wisata turistik atau stasiun bawah tanah dan tentunya kereta/ bus yang ramai adalah sasaran empuk para pencopet. Untuk itu pastikan tas selalu disampirkan ke depan, letakkan uang di tempat terpisah (jangan disatukan, amit-amit kalo kecopetan kan masih banyak cadangan). Jangan sembarangan meletakkan ponsel, kamera atau barang berharga di tempat terbuka (seperti di meja atau di kursi di tempat umum).

3. Alert terhadap segala bentuk peraturan

Semakin maju sebuah negara, maka semakin buanyaaak peraturan yang diberlakukan, baik tertulis maupun nggak. Contohnya aja nggak boleh nyeberang sembarangan, nggak boleh buang sampah sembarangan, selalu berdiri di sisi eskalator yang ditentukan, dan segala tetek bengek aturan lainnya.  Jadi berhubung biasanya kita yang lebih alert sama hal-hal tersebut, ada baiknya kita sampaikan juga saat sedang berpergian.

4. Kalo nggak beli, mending nggak usah mampir atau nanya harga atau ngelirik dagangan orang.

Sebenarnya nggak masalah sih lirak-lirik cuci mata dagangan lapak pinggir jalan. Tapi terkadang di beberapa tempat pedagangnya terlampau sangat agresif. Meski cuma iseng nanya “how much?” dan nggak beli, mereka bisa mencecar kamu untuk menentukan good price. Bagi mereka, gimana caranya, transaksi harus terjadi. Dan parahnya, ada sejumlah pedagang yang bisa berubah sangat galak dan kasar begitu mengetahui kita nggak jadi beli.

5. Beradaptasi dengan Culture Shock

Banyak hal-hal baru yang tentunya membuat keluargamu mengalami culture shock. Mulai dari makanan serba roti, bebersih pakai tisu seusai buang air besar, sampai “gaya berpacaran bebas” ala kissing-kissing para bule. Make them understand, this is Europe, get over it. Kasih mereka pengertian bahwa ngetrip di Eropa bukan cuma sekedar menikmati pemandangan menarik atau makanan enak, tapi juga mencoba memahami perbedaan yang ada tanpa harus menjudge ina ini anu.

6. Jangan Berisik!

Ada tempat-tempat tertentu dimana sebaiknya kita nggak terlalu keras mengobrol, atau sebaiknya nggak bersuara. Contohnya di sejumlah kereta ataupun ruangan-ruangan publik, di museum, galeri  dan pastinya di ruang tidur dormitory (kalo misalnya ngajak keluarga nginep di Dorm yah)

Perhatikan Baik-Baik:

1. Mood Keluarga

Coba agak sedikit peka untuk memahami kapan mereka sedang jenuh, kapan mereka sedang lelah, kapan mereka sedang antusias dan kapan mereka sedang ingin berlama-lama di suatu tempat. Jangan memaksakan itinerari yang kita buat untuk dijabani semuanya. Terkadang ada saat dimana mereka malah pengen menikmati hal-hal yang menurut kita nggak menarik. Ada saat dimana mereka nggak kepengen masuk ke obyek wisata yang kita tunjuk. Kenali benar apa yang menjadi preferensi mereka ^_^

IMG_5532

2. Kelengkapan Anggota Keluarga

Kadang ada beberapa anggota keluarga yang tiba-tiba nyangkut di butik baju, toko oleh-oleh, atau malahan di keramaian karena kepincut bule #ihiyy. Oleh karena itu, Beberapa menit sekali selalu pastikan bahwa grup member selalu lengkap paripurna.

3. Immigration Moment

Dibanding saat sedang solo traveling, loket imigrasi bakalan kelihatan lebih spooky saat berpergian bersama keluarga. Karena meski kebanyakan petugas membiarkan seluruh anggota keluarga bergerombol di depan loket, ada juga sebagian yang mengharuskan antrian satu-persatu. Bayangin dong, gimana seandainya ada satu-dua anggota keluarga yang nggak lolos imigrasi karena bingung ngejawab pertanyaan dari petugas imigrasi? Bubarlah itu agenda liburan bareng, secara nggak mungkin kita tinggalin member yang nyangkut? Nah, oleh karena itu sebaiknya biarkan para anggota keluarga terlebih dahulu mengantri paling depan di barisan dan menghadap petugas. Pastikan mereka semua lolos sebelum paspormu diperiksa petugas. Jadi kalo ada apa-apa kan kamu bisa maju ke depan untuk membantu menjawab.

Semoga bermanfaat yah 😀

IMG_5477

Papal Audiensi bareng Paus Fransiskus di Vatikan

Lapangan Basilika Santo Petrus Vatikan kian padat akan para pengunjung baik yang beragama Katholik maupun bukan, padahal acara baru akan dimulai satu jam lagi. Usai pemeriksaan tas dan jaket, saya bersama teman saya John melintasi gerbang detektor logam nggak jauh dari Pintu Perunggu (Bronze door). Pun kami berbaur dalam kerumunan, mencari spot strategis yang kira-kira memungkinkan untuk dilewati kendaraan Papa Francis, Pimpinan tertinggi umat Katholik.

Kursi-kursi yang tersedia hampir penuh terisi. Ratusan orang yang nggak kebagian tempat duduk–termasuk kami–harus puas berdiri di balik pagar pembatas. Ya, mestinya kami berangkat lebih pagi untuk memperoleh spot duduk yang ok, dekat dengan mimbar Papa Francis.

IMG_4411

Papal Audiensi adalah sebuah acara berkala (Umumnya dilangsungkan setiap hari Rabu. Jadwal bisa dilihat disini) yang digelar oleh pihak Tahta Suci Vatikan, dimana Sri Paus berinteraksi langsung dengan para pengunjung. Sri Paus akan bertegur sapa dengan para audiens. Jika beruntung, kendaraan sang Paus akan berhenti dan beliau akan turun untuk berbincang-bincang sekilas dengan para audiens yang berdiri di balik pagar pembatas.

Biasanya pengunjung dapat langsung hadir pada hari H ke alun-alun basilika dan berdiri bersama yang lainnya di balik pagar pembatas tanpa perlu mendaftarkan diri. Namun apabila pengunjung hendak duduk di salah satu bangku yang tersedia, pengunjuk terlebih dahulu mengambil tiket yang disediakan oleh para petugas yang berjaga di dekat pintu Perunggu (Bronze door) sehari sebelumnya mulai dari pukul 15.00 hingga 19.00. Tiket disediakan gratis (Untuk peserta lebih dari 10 orang diharuskan untuk membuat reservasi)

Tak lama terdengar suara riuh. John mendekatkan diri berbisik pada saya. “Papa Francisnya udah datang”.

“Eh mana?” Saya celingak-celinguk mencari keberadaan kendaraan Papa Francis. Sekian detik pertama saya nggak berhasil menemukan sumber sorak-sorai tersebut, hingga John kemudian berbisik lagi sambil menunjuk ke suatu arah, “Tuh di ujung sana.”

“Nggak keliataaaan.” Saya sampai menjinjit mencari tahu.

“Itu loh, yang pake topi putih. Tuh ada di monitor raksasa.”

Benar aja, di monitor raksasa nampak wajah Papa Francis diliputi oleh sumringah senyum lebar. Tangannya melambai-lambai seraya sesekali membentuk tanda salib dengan jemarinya pada beberapa anak kecil yang digendong oleh orang tuanya. Mata sejumlah orang dewasa juga terlihat berkaca-kaca, nggak sanggup menahan haru saat berada di dekat sang Paus.

“Duh kita salah nongkrong deh”, saya bergumam. “Harusnya kita masuk dari pintu sebelah sana.”

Setelah sekian menit bertegur sapa, papa Francis kembali menaiki kendaraannya. Kendaraan tersebut bergegas melintas ke satu dua titik lainnya. Sayang banget, mungkin bukan rejeki saya untuk bersalam-salaman apalagi ber-selfie dengan sang Paus. Kendaraan yang papa tumpangi nggak kunjung melewati  jalur tempat saya berdiri. Yahh, saya cuma bisa puas memelototi layar raksasa seraya mendengar teriakan-teriakan pengunjung di sisi lain 😦

Kendaraan tersebut tak lama kemudian berhenti di depan mimbar utama. Papa Francis, dituntun oleh salah seorang berjalan perlahan menaiki anak tangga. Di sebuah kursi cantik beratapkan tenda, papa Francis akhirnya duduk, meski masih melambaikan tangannya sesekali. Acara audiensipun resmi dimulai.

Demikian syahdu dan khusuknya audiensi berlangsung. Meski saya nggak paham dengan apa yang disampaikan papa Francis, namun senyumnya menyiratkan ketulusan yang kaya makna dan meneduhkan. Nggak heran kalo media menyebutnya “The Smiling Pope”, karena sedari muncul hingga akhir acara, nggak henti-hentinya senyum tersebut ia bagikan pada khalayak ramai.

IMG_4270

Sore sehari sebelumnya, kursi-kursi dipersiapkan untuk keesokan harinya

Audiensi berdurasi kurang lebih selama satu jam. Yang saya tangkap sih, acara sepertinya dibuka dengan pembacaan ucapan permohonan berkat oleh sejumlah perwakilan negara dalam bahasa yang berbeda-beda (kalo nggak salah bahasa Jerman, Belanda, Arab, Perancis, Spanyol, Mandarin dan Inggris). Lalu acara dilanjutkan dengan kotbah singkat papa Francis, dan ditutup oleh doa bersama yang dipimpin langsung juga oleh beliau.

Papa Francis adalah orang penting pertama di dunia yang akhirnya bisa saya jumpai secara langsung–nggak langsung-langsung banget sih, berhubung masih kepisah jarak juauuuhhh banget sama beliau, hihi. Walaupun saya sendiri bukan beragama Katholik, namun ada kebanggaan tersendiri bisa berkesempatan untuk bertatap muka dengan salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia.

Buat kamu-kamu yang kebetulan berkeinginan untuk mengunjungi Tahta Suci Vatikan, pastikan untuk nggak melewatkan kesempatan berharga ini, yah 😀 Sayang banget kan, udah jauh-jauh sampai sini tapi malah nggak ketemu sama beliau 🙂

VATICAN CITY, VATICAN - SEPTEMBER 18:  Pope Francis attends his weekly General Audience in St. Peter's Square on September 18, 2013 in Vatican City, Vatican. Pontiff  called on Catholics together with other Christians to continue to pray for peace in the most trouble parts of the world.  (Photo by Franco Origlia/Getty Images)

 

Foto di ambil dari sumber