Mendadak Ngartis di Nagorno-Karabakh!

Nagorno-Karabakh?? Apaan tuh? Itu dimana? Kok gue baru denger?

Jadi begini, pemirsa. Once upon a time, ketika saya masih berstatus mahasiswa jurusan Kajian Wilayah Eropa, saya sempat mempelajari konflik antara dua negara di bumi Kaukasia (Azerbaijan dan Armenia). Tersebutlah sebuah teritori milik Azerbaijan bernama Nagorno-Karabakh. Secara geografis, Nagorno-Karabakh terletak di selatan pengunungan Kaukasus, sekitar 270km di barat kota Baku, ibukota Azerbaijan. “Negara” ini merupakan negara landlocked yang dikelilingi oleh deretan pengunungan tinggi dengan luas sekitar 4400 km persegi. Karena konflik yang berkepanjangan antara Azerbaijan dan Armenia, Nagorno-Karabakh akhirnya memutuskan untuk memerdekakan diri melalui sebuah referendum.

Namun sayangnya kemerdekaan ini nggak diakui oleh dunia–hanya ada segelintir negara (termasuk Armenia dan Australia) yang mengakui kedaulatan “negara” ini. Bagaimana kisah konflik antara Azerbaijan dan Armenia ini dan mengapa “negara” ini kemudian memutuskan untuk menentukan nasibnya sendiri menjadi sebuah negara berdaulat bisa kamu google sendiri yah–I don’t have capacity to deal with this (isu sensitif juga soalnya, hihi).

Saat mempelajari lebih lanjut latar belakang sejarah “negara” yang namanya ear-catchy banget ini, ditambah lagi dengan iseng saya membrowsing sejumlah informasi tentangnya, saya langsung jatuh cinta saat itu juga. Nggak hanya takzim akan kecantikan bentang alamnya yang dikelilingi oeh pegunungan Ararat, perhatian saya spontan juga tertuju pada landmark ikoniknya, monumen unik Tatik-Papik yang membuat saya berandai-andai lebih jauh, what is like traveling to this “country” yah?

 

Monument Tatik-Papik, ikon Nagorno-Karabakh

Singkat cerita, Setelah sekitar lima-enam jam menaiki Marshrutka (angkutan umumnya Kaukasus) dan muntah-muntah berkali kali saat melintasi kelokan-kelokan maha dashyat pegunungan Ararat, tibalah saya di kota Stepanakert, ibukota dari Nagorno-Karabakh yang kini dikenal dengan nama Artsakh. Saya sengaja minta tolong pada pak sopir untuk diturunkan di kantor Kementerian Luar Negeri untuk mengurus Visa masuk. Yes, kalau biasanya kita harus apply visa dulu sebelum masuk ke sebuah negara, di “negara” ini kita masuk dulu ke negaranya baru mengurus visanya.

Adapun pengurusan visanya gampang banget. Nggak perlu bikin appointment segala, saya bisa go show ke kantornya kapan saja (jam operasional dari 08 AM- 4 PM kalau nggak salah). Begitu masuk ke dalam kantornya, saya diminta oleh sekuriti untuk mengisi selembar formulir aplikasi. Sore itu kebetulan hanya saya sendirian yang melakukan proses aplikasi visa, sehingga nggak sampai lima menit saya mengisi formulir, saya langsung diijinkan melanjutkan verifikasi dokumen di ruangan konsulat.

Gedung Kementerian Luar Negeri Artsakh

Seorang pemuda bernama Henry–kayaknya seumuran saya gitu–menyambut saya di dalam kantor dan menyilakan saya duduk di mejanya. Mas Henry mengambil paspor dan formulir yang telah saya isi, lalu menginput datanya ke dalam komputernya.  Sambil menunggu ia selesai memproses visa saya, kamipun mengobrol santai. Dari beliau saya mengetahui bahwa ternyata di tahun ini, saya adalah orang kedua dari Indonesia yang berkunjung ke Artsakh. Wow, kinda surprised, karena menurut saya nggak semua orang mengetahui keberadaan “negara” ini. Dan kalaupun mengetahui, nggak semua orang “berani” mengambil resiko mengunjungi ke negara ini.

“Berapa hari kamu akan tinggal Artsakh dan rencananya akan kemana saja?” tanyanya.

“Rencananya saya cuma akan tinggal tiga hari. Saya hanya akan berada di Stepanakert dan berkunjung ke Shoushi.”

Yup, saya dan para aplikan lainnya diwajibkan untuk memberikan itinerari selengkapnya, akan berkunjung kemana saja selama di Artsakh dan kapan keluar dari Artsakh. Nggak boleh ada satu kotapun yang nggak didaftarkan karena nantinya surat ijin berkunjung yang disertakan bersama visa bakalan dicek sewaktu-waktu oleh petugas yang seliweran di setiap area. Kalau tiba-tiba kamu berkunjung ke kota/ daerah yang namanya nggak tercantum di surat itu, you’re gonna be in trouble!”

“Jadi, visanya mau ditempel di paspor atau diberikan terpisah saja?” kata Pak Henry.

“Humm….”

Ada sedikit dilema yang saya rasakan saat itu. Menempelkan stiker visa Artsakh berarti saya mengakui bahwa saya telah dengan “lancang” dan “bandel”nya melanggar batas kedaulatan Azerbaijan. Bisa dikatakan, pintu masuk resmi ke Artsakh hanya ada di batas wilayah Azerbaijan–dan pintu masuk itu telah ditutup semenjak Artsakh memerdekakan diri. Dengan memasuki Artsakh via Armenia–yang bukan merupakan border resmi–tentunya saya dianggap nggak mematuhi peraturan keimigrasian Azerbaijan yang memang lebih diakui oleh dunia. Sanksi paling tangible yang sudah pasti saya terima adalah saya bakal di-banned dari Azerbaijan. Saya nggak bisa lagi berkunjung ke negara tersebut. Sanksi yang lain? Entahlah, saya cuma bisa berdoa semoga nggak ada drama-drama lainnya selain itu, hihi.

Tapiiiiii, gue udah jauh-jauh “cari mati” masuk ke Artsakh kayak begini, masa visanya dikasih terpisah dalam lembaran kertas lainnya sih? Paspor gue nggak ketjeh dong 😀

Attach it on my passport please.” saya tersenyum pada Pak Henry. Jadi demikianlah, visa Artsakhpun menempel manis di paspor saya–dan mulai detik ini, gue resmi ditendang oleh pemerintah Azerbaijan.

Visa Nagorno-Karabakh alias Artsakh

Visa Fee

Proses aplikasi visa selesai begitu stikernya ditempelkan. Saya dan Pak Henry saling berjabat tangan. Saya keluar dari gedung kementerian dan membuka aplikasi offline map di ponsel saya untuk mencari tahu dimana letak hostel yang saya akan inapi malam ini berada. Menurut info yang saya peroleh dari ibu pemilik hostelnya sih, lokasinya nggak terlalu jauh dari kantor Kementerian Luar Negeri.

Sembari meraba-raba pada persimpangan ke berapa saya harus berbelok kemana, saya mengamati kota Stepanakert lekat-lekat. Jujur saja, bayangan yang ada di kepala saya sebelumnya, Nagorno Karabakh bakalan berupa kota tua dengan ambians abad pertengahan dengan bangunan-bangunan batu kelabu berjajar yang membangkitkan nuansa nostalgia ala-ala kota tua Eropa. Ternyata saya salah besar. Stepanakert adalah sebuah kota modern yang tata kotanya luar biasa rapi, bersih dan teratur. Pertokoan berbaris rapi di pinggiran jalan utama beraspal mulus yang kerap dilalui oleh mobil-mobil yang berlalu lalang.

Warganya juga nggak kalah modis dan terlihat begitu ng-eropa dengan padu padanan coat musim dingin yang desainnya kekinian, boots-boots kulit yang nggak kalah ketjeh. Garis wajah Armenia yang tegas dan khas, sorot mata bulatnya yang begitu tajam dan rambut hitam yang demikian legam menjadi warisan akulturasi Eropa dan Asia yang sempurna–Yup, FYI, 90% lebih penduduk Artsakh merupakan etnis Armenia.

Dalam perjalanan mencari penginapan, saya mendadak menyadari bahwa saya sedang menjadi pusat perhatian. Orang-orang yang sedang berjalan beriringan asyik mengobrol sembari memandangi saya lekat-lekat. Ada juga yang diam-diam mengambil foto saya dari kejauhan.  Duhh, apa yang salah ya dari penampilan gue?

Ketika melewati sebuah gedung tinggi, saya mendengar kasak-kusuk dari lantai atas. Begitu saya dongakkan kepala, saya mendapati dua-tiga anak kecil yang sesekali mengeluarkan separuh tubuhnya di jendela, lalu masuk lagi dan keluar lagi seperti sedang memanggil yang lainnya di dalam sana.

Benar saja, nggak lama dari itu, deret jendela lainnya yang tadinya tertutup langsung dibuka oleh serombongan anak-anak lainnya. Heboh dan kegirangan, mereka berdadah-dadah serta berhalo-halo pada saya. Karena syok dan bingung harus bagaimana, saya hanya bisa membalas lambaian tangan mereka sambil tersenyum canggung.

Dan karena kehebohan di atas sana, orang-orang yang ada di sekitar saya ikut-ikutan heboh. Semuanya menatap saya penuh dengan rasa penasaran dan berbisik-bisik antara satu dan yang lain. Yang lebih bikin syok lagi, ada seorang pemuda yang tahu-tahu turun dari mobil yang baru saja berhenti di pinggir jalan nggak jauh dari tempat saya berdiri.

Hi how are you?” Ia menegur saya dengan ramah.

“Err… hi too, I’m fine, thanks…” saya mengernyit. Siapa orang ini?

Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Photo?”

Huh?? Ok…”

Begitu saja, setelah ber-wefie beberapa kali, ia mengucapkan “thank you” dan kembali ke mobil yang sejurus kemudian melaju meninggalkan saya yang terbengong bingung. Buset, si mas-mas tadi niat banget memberhentikan mobilnya cuma buat wefie? Sejenak saya teringat akan situasi seperti ini di tanah air tercinta.  Gue berasa jadi bule yang lagi terdampar di antara warga lokal.

Seperti layaknya seleb ketjeh yang berusaha menghindar dari kerumunan fans dan paparazi, saya percepat langkah saya dan segera berbelok ke salah satu persimpangan yang lebih sepi. Saya terus berjalan tertunduk saat berpapasan dengan orang yang lain lagi. Sumpah, jadi pusat perhatian kayak begini lucu-lucu risih rasanya, hihi.

Astaga, belum sampai satu jam saya berada di Artsakh, saya sudah bikin heboh satu kota. I still have 2 more days disini dan saya nggak bisa membayangkan apa yang bakalan terjadi beberapa hari ke depan nantinya.

Traveling Buat Apa?

I travel to find a better ME

Ada sejumlah alasan yang membuat seseorang mendadak filsufpacker. Entah karena kenangan masa lalunya yang begitu mengecewakan, entah karena kehampaan yang ia tengah rasakan, entah karena baru saja menyaksikan kejadian yang membuatnya tercengang, entah juga karena ia mengidolakan sosok seseorang yang menginspirasi kehidupannya. Yang begini biasanya memaknai segala hal demikian khusuk dan sarat nilai filosofis. Hari-hari yang ia lalui sepanjang perjalanan membuatnya mengimani bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Detail-detail yang ia jumpai, pahit-manis yang ia rasakan, ragam wajah dan karakter yang ia baru kenal menempa pribadinya sehingga ia mengamini bahwa ia telah “lahir baru”. Orang-orang semacam ini biasanya memang mengalami transformasi diri. Kita akan menemukan dirinya yang berbeda dibandingkan dulu sebelum melakukan banyak perjalanan.

I travel just because I want to

Nggak pakai ribet, nggak pakai drama, nggak mau pusing dengan segala tetek bengek bernama filosofi hidup dan alasan menye-menye lainnya. Yang ia pikirkan adalah, I need a short escape, gue butuh liburan, gue mau menenangkan pikiran, gue mau having fun, gue mau entertain my self. Dia nggak butuh benturan masalah hidup pelik yang membuatnya melarikan diri dan mencari makna hidup hakiki. Dia nggak butuh perenungan malam dan pagi bersama secangkir kopi. Dia nggak perlu menjadi peka terhadap sekeliling karena dia sedang nggak butuh pelajaran hidup. Kalau kamu bertanya padanya, ngapain ngetrip, dia bakal jawab, ya lagi pengen aja. titik.

I travel to race

Nggak sedikit orang-orang yang punya pandangan demikian. Berlomba-lomba mengkoleksi jumlah negara, mencatat daftar been there done that, dan menjadi seorang pejalan yang lebih wah dibanding yang lainnya.  Semakin banyak jumlah negara yang dikunjungi dibanding teman-teman lainnya, maka semakin merekah dan berbunga-bunga perasaan mereka. Ada semangat kobaran persaingan ingin berusaha menandingi yang lainnya. Ada perasaan ingin lebih dulu pernah kemana, lebih dulu melakukan dan memperoleh apa, lebih dulu menjadi yang terbagaimana. Well this is natural, bukankah manusia diciptakan dengan ego ingin lebih unggul? Nggak ada yang salah dengan perasaan ini. Dalam lingkup kerja aja orang-orang bisa bersaing ingin lebih baik dari yang lain, demikian pula dalam dunia traveling 😀

img_3074

I travel to explore

I am a true adventure. I love nature. I love culture and art. I love to meet locals and mingle with them. I love to find something I never knew before, I’m not afraid of stranded in the middle of nowhere. I dare to challenge my self fulfilling my curiosity. Gue traveling karena gue pengen memperkaya khasanah pengetahuan dan pengalaman hidup. Begitulah kira-kira yang ada di kepala para petualang sejati ini. Fokus mereka hanya satu, bagaimana obyek wisata dan segala kekayaannya mampu menciptakan sensasi perjalanan yang luar biasa tak terlupakan. Mereka berani mengambil resiko menyusuri sudut terdalam dan titik terjauh demi memuaskan hasrat bertualangnya.

I travel because err that’s my job

Kata orang, pekerjaan mobile yang mengharuskan orang berpindah dari satu tempat ke tempat lain adalah salah satu dream job yang banyak orang idamkan. Udah jalan-jalan gratis, masih dibayar pula! Siapa yang nggak mau? Ada banyak pekerjaan yang mewajibkan orang-orang untuk mengunjungi kota anu atau negara anu. Ada yang bekerja sebagai pemandu wisata, ada yang bekerja sebagai jurnalis dan reviewer, ada yang sekedar perjalanan singkat kantor, dan masih banyak lagi lainnya. Namun bagi saya pribadi dan pastinya bagi sebagian besar orang, apapun jenis pekerjaannya, terkadang jalan-kalan untuk kerja itu tentunya nggak se-wild and fun apabila kita murni jalan-jalan untuk plesiran.  Ada sederet batasan ruang waktu, kondisi dan norma tertentu yang mengekang. Maybe you make a report on the terrace of Maldive floating resort. That might look fancy… but again, lo lagi kerja bro, bukannya lagi leyeh-leyeh santai doing nothing 😀

I travel because you do too

Seseorang juga bisa menjadi alasan utama mengapa seseorang memutuskan untuk menjadi seorang pejalan. Bisa jadi orang itu adalah orang yang ia sayangi sehingga ia hanya ingin tetap bersama kemanapun dimanapun. Bisa jadi orang itu adalah orang yang ia kagumi sehingga ia merasa terinspirasi oleh perjalanan-perjalanan yang orang itu lakukan. Bisa jadi orang itu adalah orang yang ia benci dan ingin ia sejauh mungkin hindari. Bisa jadi orang itu adalah orang yang berada nun jauh disana dan ia ingin hampiri.

img_5534

 

To Do List in Rome

Buongiorno a tutti!

Selamat pagi Roma yang begitu cerah meriah di musim panas. Terik mentari menyambut saya dan keluarga yang siap mengeksplor kota sarat akan peninggalan peradaban terbesar di dunia ini. Berhubung sebelumnya saya sudah pernah mengunjungi kota ini setahun sebelumnya, saya cukup merasa percaya diri untuk mengajak mereka jalan-jalan berkeliling. Ya, luas kota Roma masih bisa ditakhlukan dengan langkah-langkah kaki, meski beragam moda transportasi seperti metro dan bus siap mengangkut siapa saja dengan nyamannya.

Rome wasn’t built in one day!

Konon kabarnya Roma memperoleh namanya dari salah satu nama pendirinya, Romulus yang diceritakan membunuh saudaranya, Remus, seteah sama-sama berinisiatif membangun kota tersebut. Sejarah mencatat bagaimana Kekaisaran Romawi kuno sempat mendominasi Eropa Barat hingga Laut Tengah di bawah kepemimpinan Julius Caesar. Didirikan sejak tahun 753 SM, Roma sempat menjadi kota terbesar di dunia pada tahun 100 SM- hingga 400 M.  Jejak peninggalannyapun tersebar, tidak hanya pada bangunan-bangunan  dan artefak, tetapi juga pada nilai-nilai dan sistem budayanya–masih inget dong dengan istilah Pax Romana yang mendunia itu?

Pasang surut kedigdayaan bangsa yang pernah berkuasa sekitar 500 tahun ini dimulai dari pergantian bentuk pemerintahannya yang semula Monarki, beralih ke republik dan lalu menjadi kekaisaran. Roma mengalami sekian pergantian tampuk kekuasaan dari satu pemimpin ke pemimpin lainnya lainnya, seiring dengan ambisi besar mengekspansi sejumlah wilayah di sekitarnya dan mengelolanya dalam satu kepemimpinan tunggal. Hingga kemudian terbagi dua di timur dan barat, pada akhirnya kekaisaranpun terpaksa runtuh tidak hanya karena desakan serangan dari musuh-musuhnya, namun juga oleh karena ketidak-mampuan para penerus untuk mempertahankan keutuhan wilayahnya.

Dan demikianlah, kejayaan bangsa ini hanya tinggal kenangan. Didaulat menjadi ibukota negara Italia, kini Roma dihuni oleh lebih dari dua juta delapan ratus penduduk, dengan luas wilayah 1285 km persegi. Kaya akan bangunan bersejarah yang begitu artistik, Roma tentu menjadi destinasi wisata favorit di Italia pada khususnya dan di Eropa pada umumnya.

Nah tanpa banyak cincong lagi, yuk kita simak obyek wisata apa aja yang bisa dikunjungi di kota ini:

Colloseum

Konsisten menjadi salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia, ampiteater raksasa ini merupakan arena pertarungan antar gladiator, tahanan hingga binatang buas pada masanya. Colloseum dibangun kurang lebih selama 10 tahun, terhitung dari tahun 70 hingga 80 M. Mampu menampung sekitar 50.000 orang dengan 80 buah pintu masuk, Colloseum dibangun setinggi 48 meter. Stadion ini berbentuk oval, dengan dasar lantai berlapis pasir untuk menutupi jejak darah pertarungan.

Ada baiknya kita nggak cuma berfoto di depan maha karya ini. Dengan mengunjungi bagian dalamnya, kita bisa meresapi atmosfir Romawi kuno melalui bilik-bilik batu yang menjadi saksi kejayaan bangsa tersebut. Bayangkan melalui podium-podium berundak, bagaimana ketegangan dan pertarungan saling bantai terjadi di dalam bangunan seluas 2.5 h.a ini.


img_4141

Forum Roma

Kompleks alun-alun pusat pemerintahan kota Roma kuno ini terletak tidak jauh dari Colloseum. Disinilah pada jaman dahulu segala aktifitas bermuara, baik yang sifatnya administratif seperti pertemuan para senat, pidato kenegaraan, proses peradilan hingga kegiatan komersil. Disini kita dapat menemukan sejumlah reruntuhan bangunan penting seperti kuil-kuil pemujaan dewa-dewi, basilika-basilika, mahkamah peradilan, alun-alun utama dan beberapa arch.

img_4124

Fontana de Trevi

Kolam air mancur yang namanya sudah mendunia ini merupakan kolam air mancur bergaya Barok tertinggi di kota Roma. Berhiaskan patung besar sang Oceanus yang mengendarai kerang raksasa, kolam ini adalah salah satu waduk penyuplai ketersediaan air di kota pada jaman Romawi kuno.

Hal menarik yang selalu dilakukan para turis adalah melempar koin ke kolam dengan tangan kanan melalui bahu kiri dipercaya bahwa permohonan yang diucapkan akan terkabul. Kepercayaan ini merunut pada tradisi Romawi kuno dimana dulu warga melemparkan koin ke kolam yang dipercaya sebagai persembahan pada dewa air agar perjalanan mereka dilindungi dan mereka kembali ke Roma dengan selamat  Oleh sebab itu, kita bisa melihat ratusan atau mungkin ribuan koin berserakan di dasar kolam.

img_4215

Pantheon

Duduk-duduk di salah satu restoran yang menghadap langsung ke Pantheon sambil menikmati sepiring pasta atau sekadar menyesap secangkir Capuccino adalah salah satu kegiatan favorit saya. Nama Pantheon diambil bahasa Yunani Pantheion yang berarti Rumah para Dewa. Bangunan ini didirikan pada masa kekaisaran Agustus tahun 27 SM-42 M dan beralih fungsi menjadi gereja pada tahun 7 M hingga saat ini. Selain itu, Pantheon juga dijadikan tempat pemakaman para raja dan orang-orang terkenal. Tercatat dua raja Italia, yakni Vittorio Emmanuelle II, Umberto I beserta istrinya Margherita dan Pelukis Raphael dikuburkan dalam bangunan ini.

Pantheon memiliki struktur bangunan yang khas, yakni pilar-pilar yang terpancang di serambi depan berikut kubah raksasa yang mendominasi. Tidak lupa berdiri kokoh dan tegak mengangkasa sebuah obeliks di pusat Piazza de la Rotonda, alun-alun yang berada tepat di depan Pantheon.

img_5097

Castel Sant’ Angelo

Pernah menjadi bangunan tertinggi di Roma, Kastil yang turut dijadikan lokasi syuting Angel and Demon ini awalnya didirikan sebagai Mausoleum bagi kaisar Hadrian dan keluarganya. Bangunan yang berada di tepi sungai Tiber ini ini kemudian beralih fungsi, mulai dari kediaman para Papal Vatikan, penjara, benteng pertahanan dan akhirnya kini menjadi sebuah museum. Tidak hanya berhiaskan patung malaikan Mikael sang pemanah, kastil ini juga dipercantik oleh sebuah jembatan di hadapannya yang membentang di atas sungai Tiber. Sejumlah patung-patung malaikat yang berderet menghiasi sisi-sisi jembatan tentunya semakin membuat foto-foto kamu instagrammable banget 😀

img_5076

Piazza Navona

Alias alun-alun Navona. Penampakannya yang instagrammable banget membuat siapa saja betah berlama-lama baik sekedar duduk-duduk menikmati pemandangan ataupun mencari angle foto terbaik. Alun-alun yang dibangun pada tahun 1 Masehi ini mulanya diperuntukan bagi perhelatan sejumlah pertandingan. Namun seiring waktu, beralih fungsi menjadi lokasi pertunjukan teater maupun berbagai perayaan.

Terdapat tiga buah kolam, dimana Fontana Dei Quattro Fiumi atau Kolam Empat Sungai menjadi primadona. Fontana Dei Quattro Fiumi tidak hanya berhiaskan sebuah obeliks yang menjulang tinggi ke angkasa, namun juga empat patung dewa sungai yang merepresentasikan sungai-sungai di empat benua di dunia (Gangga di Asia, Danube di Eropa, Nil di Afrika dan Rio de la Plata di Amerika) . Jika kamu pernah menonton Angel and Demon, kolam ini sempat dijadikan salah satu setting tempat dimana salah satu kardinal berusaha dibunuh.

img_5083

Euforia Paris sang Tuan Rumah UEFA 2016

Bulan Juli awal 2016 lalu, saya beserta keluarga beserta keluarga berkesempatan mengunjungi Paris, ibukota Perancis yang dikenal dengan gelar the city of light. Mendarat di bandara Paris Beauvais, kami menghabiskan waktu kurang lebih dua jam dalam perjalanan ke pusat kota tempat kami akan menginap. Kala itu musim panas, mentari bersinar demikian benderang, padahal jam tangan saya sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

Saya merasa sangat beruntung karena mereservasi penginapan tidak jauh dari beberapa obyek wisata wajib kunjung. Salah satunya adalah Moulin Rogue, si Kincir Merah yang terletak hanya beberapa blok dari Metro stasiun saya barusan diturunkan. Tempat ini semakin mendunia setelah sempat dijadikan judul film yang menyabet berbagai penghargaan bertaraf internasional seperti Academy Award dan Golden Globe pada tahun 2002 silam.

20160707_224744

Moulin Rogue malam itu demikian hingar-bingar tidak hanya oleh para turis mancanegara, tetapi juga oleh La Parisien alias warga lokal. Karena kelaparan, kami tidak langsung menuju penginapan. Kami menemukan sebuah restoran Asia di pinggir jalan di salah satu lorong persimpangan dan langsung memesan makanan tak lama setelah seorang pelayan menyodorkan kartu menu.

Seraya menunggu pesanan tiba, mata saya tertuju pada TV yang menayangkan pertandingan semi final UEFA antara Perancis melawan Jerman. Saat itu saya langsung tersadar, astaga, gue kan lagi ada di negara tuan rumah UEFA! Pantesan aja sepanjang perjalanan saya melihat kafe-kafe dan restoran secara khusuk menayangkan pertandingan bola tersebut.

Saya sendiri bisa dibilang bukan penyuka sepak bola. Saya nggak punya pemain apalagi klub bola favorit. Namun demikian, ada sensasi berbeda yang dapat saya rasakan saat itu. Yaiya of course lah ya, siapa yang nggak excited bisa kebetulan mengunjungi sebuah negara saat sebuah ajang bergengsi sedang berlangsung–walau elo sendiri nggak begitu paham, ajang bergengsi apaan sih ini, hihi.

img_5462

Nggak hanya sejumlah tempat yang mendekorasi diri dengan rupa-rupa atribut sepak bola seperti bendera warna-warni peserta UEFA yang menggelayut dari sudut ke sudut. Para fans dari berbagai negarapun turut bersolek dengan kostum pemain kesayangannya serta cat-cat  di wajah. Mereka sungguh-sungguh menyemarakkan pesta tahunan bola se-Eropa tersebut. Bahkan tadi saya sempat melihat Menara Eiffel yang diganduli dengan bola sepak raksasa di antara tiang-tiang perkasanya.

“GOOOOOOOOOOOLLLLL!!!”

Nggak sampai sepuluh menit saya duduk, tiba-tiba terdengar teriakan histeris dari berbagai penjuru. Peluit panjang berbunyi nyaring dari layar TV, pertanda pertandingan telah usai dan dimenangkan oleh sang tuan rumah. Nampak di luar restoran, orang-orang berlarian berlompatan memekik kegirangan. Ledakan-ledakan petasan tak kalah meriah bersahut-sahutan dari kejauhan.

Penasaran, saya meminta ijin untuk berbaur dengan keriuhan yang tampaknya hendak bermuara ke suatu titik. Benar saja, setelah mengikuti orang-orang yang sedang buru-buru menuju sebuah lokasi, saya menemukan lautan manusia yang memadati jalan raya tidak jauh dari Moulin Rogue. Sebuah bus besar atapnya sudah ditunggangi oleh sekawanan massa yang begitu hebohnya berteriak-teriak, diiringi oleh yel-yel dan nyanyian penuh kemenangan dalam bahasa Perancis. Senyum-senyum lebar tertoreh pada setiap wajah. Pelukan-pelukan hangat diestafetkan dari satu ke lain orang. botol-botol bir beradu bersulang. Tinjuan-tinjuan mengepal di udara. Harmoni kemenangan dan kebanggaan yang luar biasa meluap terekspresikan sejadinya.

Perancis officially maju ke babak final! Ya, walau akhirnya kalah melawan Portugis nantinya…

20160707_225606 20160707_225713 20160707_225853

Aplikasi Online Visa Selandia Baru

Kabar gembira untuk kita semua, apply Visa New Zealand di Indonesia sekarang sudah bisa dilakukan secara Online–dengan catatan, paspor masih harus disetor ke VFS New Zealand di Jakarta. Tapi jangan sedih, aplikan nggak perlu datang langsung untuk menyetor paspor kok, cukup menggunakan pos atau jasa antar jemput dokumen yang disediakan oleh VFS New Zealand ajah 🙂

And the other good news is, IT’S WAY CHEAPER than usual paper application loh.

Aplikasi manual, visa fee IDR 1.800.000,- dengan VFS fee IDR 240.000,-

Aplikasi Online, visa fee 165 NZD alias 1600.000,-an Rupiah dengan VFS fee IDR 180.000,-

Prosedur Aplikasi:

1. Buat akun baru melalui website ini . Jangan lupa memverifikasi akun dengan mengklik link yang dikirimkan melalui email yang telah didaftarkan

2. Kembali login ke web di atas untuk mengisi kelengkapan data pada formulir online.

3. Setelah mengisi data formulir, upload sejumlah dokumen yang diminta pada halaman supporting document. Perhatikan spesifikasi foto yang diminta.

4. Lakukan pembayaran dengan kartu kredit pada halaman pembayaran. Setelah melakukan pembayaran jangan lupa print halaman pembayaran sebelum beralih ke halaman berikutnya.

5. Bawa paspor, bukti pembayaran Online Application, dan lembar berisi data kontak (nomor telepon, email, dan alamat pengiriman kembali dokumen sehingga Pusat Aplikasi Visa (VAC) dapat menghubungi bila diperlukan) ke VFS New Zealand tanpa perlu terlebih dulu membuat temu janji di:

NEW ZEALAND VISA APPLICATION CENTRE
Kuningan City Mall 2nd Floor No. L2-19
Jl Prof. Dr. Satrio Kav. 18
Setiabudi, Kuningan, Jakarta

Jangan lupa melakukan pembayaran logistic fee di VFS New Zealand pada saat pengajuan.

6. Apabila hendak menggunakan jasa antar jemput dokumen, terlebih dahulu transfer VFS Fee berikut ongkos antar jemput dokumen yang bisa dilihat disini

7. Kirim bukti transferan, nomor referensi aplikasi visa yang tertera pada bukti pembayaran VISA, berikut data berupa nomor telepon, email, dan alamat penjemputan/.pengiriman kembali dokumen melalui email ke info.nzid@vfshelpline.com. Setelah memperoleh respon dokumen siap dijemput melalui balasan email yang sama, siapkan kelengkapan dokumen–dalam waktu sekitar 2-3hari petugas akan menjemput dokumen.

8. Setelah permohonan visa diterima di VFS, lakukan pengupdatean proses aplikasi melalui http://www.vfsglobal.com/newzealand/indonesia/track_application.html . Proses aplikasi berlangsung kurang lebih 5 sampai 15 hari kerja (bisa lebih cepat bisa lebih lambat, tergantung embassynya lagi busy atau nggak).

9. ponsel harus selalu stand by karena you never know Embassy akan menelpon untuk memverifikasi sesuatu (seperti yang saya alami, saya sempat ditelpon untuk interview sekilas).

10. Apabila proses aplikasi visa selesai dan visa digranted, paspor siap diambil kembali di VFS atau dikirim kembali ke alamat pemohon jika menggunakan fasilitas antar jemput dokumen. Visa tidak akan ditempel ke paspor karena sifatnya E-visa. E-visa akan dikirim melalui email pemohon dan terlampir dalam bentuk dokumen hardcopy yang dilampirkan di paspor.

Puji Tuhan saya dikasih kesempatan untuk memperoleh Multiple entry Visa dua (2) tahun dengan duration of stay tiga (3) bulan for each arrival. Yapp, bukan akumulasi 3 bulan, tapi dibolehin tinggal selama 3 bulan untuk setiap kali kedatangan, hihi–Kalo ada rejeki setaun tiga kali bulak balik ke NZ bisa tinggal sampe 9 bulan cuyy  (sayang tiket dan living costnya mahal )

Semoga bermanfaat and may the force be with you

Aplikasi Visa Brazil

Visa Brazil adalah salah satu visa yang aplikasinya ngeri-ngeri sedapp buat saya, meski sebenarnya persyaratan yang harus dilengkapi nggak lebih rumit ketimbang visa Schengen, Australia ataupun visa lain pada umumnya. Membaca sejumlah blog dan postingan beberapa teman awalnya sempat membuat kewaspadaan saya sedikit ditingkatkan. Gimana nggak, menurut gosip-gosip yang saya dengar, aplikan harus menyiapkan dana yang cukup besar, kalau bisa di atas 50juta bahkan sampai 100jutaan #yoloo duit darimana akang 😭😭 Belum lagi kadang suka diminta dokumen yang biasanya nggak diminta di checklist.

Untungnya dengan segala persiapan memadai, saya mencoba mengajukan aplikasi ke Menara Mulia dengan membawa semua dokumen yang tercantum di checklist maupun dokumen penunjang yang walau nggak diminta tapi akan lebih baik disertakan untuk memfasilitasi proses pengajuan visa. Saya nggak akan hanya memposting tata alir pengajuan berikut dokumen apa saja yang harus disertakan. Saya juga akan menambahkan tips-tips yang meski belum pernah dibahas tapi sekiranya mungkin bisa membantu (berdasarkan pengalaman saya mengajukan kemarin)

In short, proses pengajuan visa kurang lebih begini:

1. Mengisi form online dari web carta.itamaraty.gov.br/en-us/visa_application_form.xml dan mencetak bukti validasi pengisian form yang akan muncul saat pengisian form selesai dilakukan.

2. Menyiapkan semua dokumen yang diminta disini

3. Datang langsung tanpa perlu membuat temu janji ke Kedutaan Brazil di

Menara Mulia lt. 16. JL. Gatot Subroto kav. 9-11 Jakarta. Jam aplikasi visa dari 9AM hingga 12PM.

Pembayaran visa fee sebesar 80 USD dilakukan di bank BCA lt. 1 di gedung yang sama setelah memperoleh slip pembayaran saat seluruh berkas dianggap lengkap.

4. Mengambil paspor bila proses aplikasi sudah selesai (Senin-Kamis dari 1.30PM hingga 3PM. Jumat kayaknya jam pengambilan lebih pendek cmiimw)

Sedikit tambahan untuk diperhatikan:

1. Usahakan datang sendiri. Seperti poin yang saya sampaikan di atas, kadang kedutaan suka meminta dokumen tambahan yang nggak tertera di checklist. Dengan datang sendiri mengajukan aplikasi, seenggaknya kita bisa membuat surat pernyataan tertulis langsung di tempat dan ditandatangani langsung (dari beberapa aplikan sebelum saya dan termasuk saya, mereka diminta nulis di selembar kertas berupa pernyataan seperti saya siapa pekerjaan apa bermaksud mengajukan aplikasi visa untuk tujuan apa dengan dana siapa bla bla dll dkk). Jadi misalkan aplikasi diajukan oleh pihak ketiga, tentunya akan buang waktu lebih krn pihak perwakilan hrs pulang dan meminta aplikan membuat suratnya lagi.

Dengan datang sendiripun kita jadi bisa lebih detail menjelaskan tujuan perjalanan kita, berapa hari, mau kemana aja. Kalau pengalaman saya kemarin, bapak officer di loketnya nanyanya detail banget baik ke saya maupun aplikan sebelumnya. Dokumen diorak-arik bulak-balik dan ditanyain lembar demi lembar🙈

2. Karena dana saya di tabungan minim, saya menambahkan dengan tabungan kakak saya (dengan melampirkan id dan surat sponsor dari beliau). Pihak kedutaan nerima dokumen keuangan sponsor selama hubungan kita dengan sponsor jelas dan ada bukti hubungan dengan sponsor tersebut (kartu keluarga atau surat pegawai atau apa aja deh). Perlu diketahui juga, dalam surat sponsor pemilihan kalimatnya harus detail dan jelas, aplikan siapa, sponsor siapa (bukti apa aja yg bs membuktikan kalau dia bisa sponsorin), hubungan keduanya apa, sponsornya akan dalam bentuk apa. Agen yang mengajukan sebelum sebelum saya harus pulang krn diminta menyediakan surat super detail itu ke aplikannya.

3. Perihal fotopun ternyata cukup ribet. Aplikan sebelum saya harus pulang karena pencahayaan di foto nggak merata material dan spiritual karena kelopak matanya katanya nggak kena cukup cahaya sehingga agak blur atau kurang jelas gt. Ini beneran something serious loh, karena officer sampai memperhatikan detail fotonya (gara-gara ini saya jadi waswas merhatiin foto saya sendiri).

4. Bawa dokumen selengkap-lengkapnya. Transportasi dari Indonesia sampai Indonesia lagi biasanya diminta lengkap. Penginapan cukup mencantumkan selama di Brazil. Dan dokumen lain, kalo perlu yang kira-kira dibutuhkan tapi nggak diminta di checklist ya dibawa aja.

5. Pastikan menghitung waktu durasi validitas visa dengan rencana perjalanan.Visa turis berlaku 90 hari sesudah visa diisu. Jadi jangan sampai kecepetan mengajukan aplikasi ke Brazil sehingga visa expired sebelum kita berangkat.

Semoga bermanfaat.

Foto dari: http://www.photos4travel.com/travel-guides/rio-de-janeiro

 

 

WHV di Australia itu Kudu… (Balada WHV di Australia part 3)

Korupsi Umur!

Jangan pernah ngaku tua, karena kita sebagai ras Asia dikaruniai oleh muka yang lumayan awet muda ketimbang para bule (Kalo muke lo boros, errr… derita lo itu mah :p). Kadang bule suka bertanya pada saya, “Are you a student? Are you here with Student visa?” Yaaa, bukan salah gue dong ya, kalo saya iyain dan mereka percaya 😀 Sebagai WHV-ers berbudi pekerti luhur, umur saya yang berada di ambang batas ini suka merasa tuwir ketika melihat partner kerja saya kebanyakan berumur 20-25 (bahkan ada yang masih belasan tahun).

Yaaa, saya akuin memang agak telat bagi saya untuk mengikuti program WHV. Bagi orang-orang di Australia kebanyakan, umur-umur saya harusnya udah buka usaha sendiri atau–at least–udah punya posisi ok di kerjaan, bukannya lagi nyuci piring atau sikat-sikat WC. Maka dari itu saya selalu mengaku “I’m 23 y/o” setiap kali ditanya umur karena pernah sekali saya jujur menjawab dan respon salah satu co-worker saya adalah “Seriously, you’re xx y/o and you still do the dishwashing?”

—–Anyway, dua bos saya umurnya 27 tahun, bete nggak sih?—–

Nilai positif:  Seenggaknya sih lebih baik telat WHV daripada nggak nyobain sama sekali hihi. Siapa sih yang nggak mau kerja babu tapi gajinya setara manajer di tanah air. Umur is just a number lah ya :p

Manggil Bos dengan Namanya Langsung

Saya merasa sangat bangga menjadi orang Asia yang terkenal dengan etika santun dan penuh respek. Dari kecil saya sudah diajarkan untuk menghormati orang tua atau orang yang lebih tinggi posisi/ jabatan/ pekerjaannya dengan cara memanggilnya “Pak atau Bu”. Nahhh, begitu mengecap dunia kerja bersama orang asing, saya baru paham kalo saya nggak perlu ber-Pak-Bu-Sir-Ma’m-Mister-Misis ria setiap kali berinteraksi dengan orang,  terlepas berapapun umurnya atau gimanapun jabatannya.

Panggil aja namanya, nggak usah takut dipecat. Mau bos elo seumuran sama Eyang Buyut elo, mau bos elo kedudukannya setara dengan top 10 CEO. It’s common, biasa banget! Nggak perlu merasa terlalu kecil atau merasa rendah. Yang saya suka ketika berinteraksi dengan orang-orang ini adalah, mereka menjunjung kesetaraan alias equality banget. Kamu bisa memanggil namanya langsung, atau kalo misalnya udah akrab banget kayak saya dan si pak bos, kamu bisa saling manggil sweetheart atau honey, hihi.

Belajar Ngomong Jorok!

Nah this is the best part ever! Saya kebetulan dianugerahi dengan kerjaan seru, bos-bos dan co-workers yang nggak kalah ketjeh. Setiap kali bekerja, nggak pernah nggak, kita selalu berbalas umpatan seperti Fish you, Ashhowl,  Fork you, Syitt, Ford you, MotherFooker, Flood you, Dighead dan F word lainnya.

Jangan kaget dan jangan heran. It’s just something normal here. Yang nggak normal adalah kalo kamu merasa tersinggung. Yaaa, buat kebanyakan orang-orang disini, ungkapan-ungkapan di atas adalah ungkapan sayang yang menandakan bahwa you’re part of the family. Mereka perhatian dan sayang sama kamu dengan caranya sendiri. Jadi sekasar apapun mereka memanggil kamu, woles aja, don’t take it personally. I mean, welcome to Australia 😀

Punctual dan Penuh Tanggung Jawab

Ok, saatnya ngobrol serius. Bekerja di negara orang ritmenya beda banget sama bekerja di negara sendiri. Harus saya akui, saya suka kangen sama atmosfir kerja di kantor lama atau bahkan ketika membantu usaha keluarga. Kerjaan nyantai, bisa sembunyi-sembunyi chatting atau cek sosial media, dan bisa ngobrol haha-hihi sambil leha-leha cantik saat kerjaan nggak banyak.

But here, duh boro-boro leha-leha cantik. Kerjaan numpuk segambreng dan bakalan terus menumpuk kalo nggak segera diselesaikan. Saya hampir nggak punya waktu untuk menyenggol ponsel. Setiap kerjaan memaksa saya untuk fokus, tangan dan kaki terus aja aktif mengerjakan sesuatu tanpa berhenti. Yaeyalahh, elo dibayar perjam disini, tentunya setiap menit yang dihargai sedemikian dolar oleh bos elo ya bakalan dibebani dengan segambreng kerjaan yang berimbang.

Capek sih, tapi the good point is saya jadi lebih menghargai waktu. Kinerja kerja saya jadi sedemikian efektif dan efisien. Dan berat saya turun banyak tanpa perlu diet hihi. “Time is money” is for real here.


Baca juga kisah WHV saya disini:

Kerja di Australia Itu…

Siapa Suruh Datang Australia

Apply Work and Holiday di Australia

Papal Audiensi bareng Paus Fransiskus di Vatikan

Lapangan Basilika Santo Petrus Vatikan kian padat akan para pengunjung baik yang beragama Katholik maupun bukan, padahal acara baru akan dimulai satu jam lagi. Usai pemeriksaan tas dan jaket, saya bersama teman saya John melintasi gerbang detektor logam nggak jauh dari Pintu Perunggu (Bronze door). Pun kami berbaur dalam kerumunan, mencari spot strategis yang kira-kira memungkinkan untuk dilewati kendaraan Papa Francis, Pimpinan tertinggi umat Katholik.

Kursi-kursi yang tersedia hampir penuh terisi. Ratusan orang yang nggak kebagian tempat duduk–termasuk kami–harus puas berdiri di balik pagar pembatas. Ya, mestinya kami berangkat lebih pagi untuk memperoleh spot duduk yang ok, dekat dengan mimbar Papa Francis.

IMG_4411

Papal Audiensi adalah sebuah acara berkala (Umumnya dilangsungkan setiap hari Rabu. Jadwal bisa dilihat disini) yang digelar oleh pihak Tahta Suci Vatikan, dimana Sri Paus berinteraksi langsung dengan para pengunjung. Sri Paus akan bertegur sapa dengan para audiens. Jika beruntung, kendaraan sang Paus akan berhenti dan beliau akan turun untuk berbincang-bincang sekilas dengan para audiens yang berdiri di balik pagar pembatas.

Biasanya pengunjung dapat langsung hadir pada hari H ke alun-alun basilika dan berdiri bersama yang lainnya di balik pagar pembatas tanpa perlu mendaftarkan diri. Namun apabila pengunjung hendak duduk di salah satu bangku yang tersedia, pengunjuk terlebih dahulu mengambil tiket yang disediakan oleh para petugas yang berjaga di dekat pintu Perunggu (Bronze door) sehari sebelumnya mulai dari pukul 15.00 hingga 19.00. Tiket disediakan gratis (Untuk peserta lebih dari 10 orang diharuskan untuk membuat reservasi)

Tak lama terdengar suara riuh. John mendekatkan diri berbisik pada saya. “Papa Francisnya udah datang”.

“Eh mana?” Saya celingak-celinguk mencari keberadaan kendaraan Papa Francis. Sekian detik pertama saya nggak berhasil menemukan sumber sorak-sorai tersebut, hingga John kemudian berbisik lagi sambil menunjuk ke suatu arah, “Tuh di ujung sana.”

“Nggak keliataaaan.” Saya sampai menjinjit mencari tahu.

“Itu loh, yang pake topi putih. Tuh ada di monitor raksasa.”

Benar aja, di monitor raksasa nampak wajah Papa Francis diliputi oleh sumringah senyum lebar. Tangannya melambai-lambai seraya sesekali membentuk tanda salib dengan jemarinya pada beberapa anak kecil yang digendong oleh orang tuanya. Mata sejumlah orang dewasa juga terlihat berkaca-kaca, nggak sanggup menahan haru saat berada di dekat sang Paus.

“Duh kita salah nongkrong deh”, saya bergumam. “Harusnya kita masuk dari pintu sebelah sana.”

Setelah sekian menit bertegur sapa, papa Francis kembali menaiki kendaraannya. Kendaraan tersebut bergegas melintas ke satu dua titik lainnya. Sayang banget, mungkin bukan rejeki saya untuk bersalam-salaman apalagi ber-selfie dengan sang Paus. Kendaraan yang papa tumpangi nggak kunjung melewati  jalur tempat saya berdiri. Yahh, saya cuma bisa puas memelototi layar raksasa seraya mendengar teriakan-teriakan pengunjung di sisi lain 😦

Kendaraan tersebut tak lama kemudian berhenti di depan mimbar utama. Papa Francis, dituntun oleh salah seorang berjalan perlahan menaiki anak tangga. Di sebuah kursi cantik beratapkan tenda, papa Francis akhirnya duduk, meski masih melambaikan tangannya sesekali. Acara audiensipun resmi dimulai.

Demikian syahdu dan khusuknya audiensi berlangsung. Meski saya nggak paham dengan apa yang disampaikan papa Francis, namun senyumnya menyiratkan ketulusan yang kaya makna dan meneduhkan. Nggak heran kalo media menyebutnya “The Smiling Pope”, karena sedari muncul hingga akhir acara, nggak henti-hentinya senyum tersebut ia bagikan pada khalayak ramai.

IMG_4270

Sore sehari sebelumnya, kursi-kursi dipersiapkan untuk keesokan harinya

Audiensi berdurasi kurang lebih selama satu jam. Yang saya tangkap sih, acara sepertinya dibuka dengan pembacaan ucapan permohonan berkat oleh sejumlah perwakilan negara dalam bahasa yang berbeda-beda (kalo nggak salah bahasa Jerman, Belanda, Arab, Perancis, Spanyol, Mandarin dan Inggris). Lalu acara dilanjutkan dengan kotbah singkat papa Francis, dan ditutup oleh doa bersama yang dipimpin langsung juga oleh beliau.

Papa Francis adalah orang penting pertama di dunia yang akhirnya bisa saya jumpai secara langsung–nggak langsung-langsung banget sih, berhubung masih kepisah jarak juauuuhhh banget sama beliau, hihi. Walaupun saya sendiri bukan beragama Katholik, namun ada kebanggaan tersendiri bisa berkesempatan untuk bertatap muka dengan salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia.

Buat kamu-kamu yang kebetulan berkeinginan untuk mengunjungi Tahta Suci Vatikan, pastikan untuk nggak melewatkan kesempatan berharga ini, yah 😀 Sayang banget kan, udah jauh-jauh sampai sini tapi malah nggak ketemu sama beliau 🙂

VATICAN CITY, VATICAN - SEPTEMBER 18:  Pope Francis attends his weekly General Audience in St. Peter's Square on September 18, 2013 in Vatican City, Vatican. Pontiff  called on Catholics together with other Christians to continue to pray for peace in the most trouble parts of the world.  (Photo by Franco Origlia/Getty Images)

 

Foto di ambil dari sumber

Incredible Sahara (Maroko, Pintu Utara Afrika 3, End)

 

Minivan terus saja melaju. Perumahan-perumahan warga yang serba kotak kecoklatan di luar jendela perlahan semakin menjarang, berganti dengan dataran gersang yang sesekali beralih menjadi lembah-lembah berliku. Said sang pemandu wisata sudah mewanti-wanti sebelumnya bahwa perjalanan akan berlangsung sangat lama. Oleh karena itu para tante seisi mobil jenuh, mati gaya, kehabisan bahan obrolan karena perjalanan terasa begitu jauh. Semua hanya ingin lekas tiba di tujuan berikutnya, gurun Sahara.

Nama gurun ini sendiri sudah akrab melekat di telinga saya semenjak pelajaran IPS pada bangku SD silam. Nama gurun ini kemudian kembali menggaung ketika Anggun C Sasmi melantunkan balad merdu bertajuk “Snow in Sahara” pada debut internasionalnya. Dan setelah itu, gurun Sahara hanyalah sebatas “gurun nun jauh di Afrika sana” yang saya sendiri nggak pernah bermimpi untuk kunjungi (Jaman dulu masih tau diri aja sih, anak kampung begini mana mungkin bisa keluar negeri jauh-jauh sampai Afrika, hihi).

Menurut wikipedia, gurun Sahara adalah gurun pasir terluas di dunia. Membentang dari Samudra Atlantik hingga ke laut merah, gurun yang katanya berusia lebih dari dua juta tahun itu berukuran sekitar sembilan juta kilometer persegi. Kebayang dong kalo tiba-tiba kesasar di tengah gurun antah berantah -_-”

Singkat kata singkat cerita, tiga atau empat jam telah kami lalui dalam kantuk dan lara. Minivan berbelok melintasi jalanan berupa tanah kering berkerikil, menyusup di antara pemukiman warga yang berjauhan satu sama lain. Said, menoleh ke jok belakang sambil tersenyum mengatakan, “Ladies, selamat datang di Sahara…”

“Akhirnyaaa!!” Para tante melenguh panjang. Beberapa meregangkan otot-otot lengan dan kakinya yang kaku karena nggak memperoleh ruang gerak berlebih selama duduk berjam-jam di dalam mobil.

Begitu minivan berhenti, saya dan yang lainnya keluar. Nina sang operator tur dan Said melipir ke gedung resepsionis untuk mengatur reservasi penginapan. Sedangkan para tante yang tadinya lemah letih lesu saat terkurung di mobil langsung menyebar nggak karuan kesana kemari mencari spot foto ketjeh–seolah mendadak memperoleh ekstra doping. Kamera aneka ukuran dan merek langsung mencuat dari tas-tas mereka dan mereka siap berpose dalam berbagai gaya dengan berbagai angle dan di berbagai latar belakang. Yassalammmm -_-”

IMG_3919

The Kids of Sahara

Meski berhenti di sebuah penginapan Riadh (bangunan khas Maroko), malam ini kami nggak akan bermalam disana. Yap, kami bakalan digiring naik unta ke tengah-tengah gurun Sahara. Kami bakalan berkemah disana! Ketjeh banget nggak sih??

Setelah mengobrol panjang lebar dengan resepsionis yang kayaknya juga merangkap sebagai operator “Tur naik unta ke gurun pasir”, Nina dan Said keluar dari ruang resepsionis dan memanggil para tante haus selfie untuk berkumpul dan mendengarkan sekilas briefing. Tante-tante yang sudah menyebar dari ujung keujung dengan berat hati memasukkan kamera-kameranya ke dalam tas, meski beberapa masih sibuk foto-foto seraya mendengarkan penjelasan Nina, hihi.

Sebelum berangkat naik onta, kami memperoleh sejumlah kamar untuk meletakkan tas-tas kami–kami hanya perlu membawa satu-dua helai pakaian yang akan dikenakan saat menginap semalam di gurun. Selama sekitar satu jam, kamipun diberi kesempatan untuk bebersih di kamar masing-masing, berhubung di gurun bakalan susah mandi–katanya sih cuma ada WC dan wastafel.


Unta-unta berbulu mata lentik itu duduk berbaris, siap kami tunggangi. Berbekal satu tas mungil berisi sweater dan kamera, saya siap bertualang membelah sang gurun pasir yang mahadaya tersebut. Yap, meski berjudul gurun,  di Sahara terasa lumayan dingin pada akhir tahun. Angin yang bertiup lumayan bikin menggigil.

IMG_3928

Satu persatu, para peserta trip gurun Sahara naik ke atas punggung ontanya masing-masing. Satu-persatu pula setiap unta bangkit berdiri begitu jumlah penumpangnya lengkap terisi. Beberapa orang pemuda bersorban dan berbalut Djelaba (jubah khas Maroko) didaulat untuk memimpin serangkaian iringan unta yang jumlahnya empat sampai lima ekor.

Camel riding dimulai dari jalur tanah kering gersang berbatu selama sekian menit, sebelum kemudian medan berubah menjadi pure pasir kuning keemasan. Walaupun berjalan di atas hamparan pasir yang demikian halusnya, guncangan-guncangan begitu terasa dari atas punggung unta. Awalnya saya agak waswas dan berpegangan erat-erat pada handling yang tersedia. Wajar banget kalo gue khawatir cuyy, kaki unta kan jenjang banget! Kalo-kalo jatoh, tinggi banget bokk dari atas!

Untungnya, baik saya maupun para tante peserta tur lainnya perlahan-lahan mampu beradaptasi dengan goyang pinggul sang onta. Kami mulai bisa lepas tangan satu–bahkan dua–saat memfoto dan difoto. Perjalanan yang sejatinya berdurasi satu setengah jam lebihpun terasa singkat karena masing-masing sibuk merekam tapak demi tapak yang kami lalui.

Gundukan-gundukan pucuk kemah pun akhirnya nampak. Tur berkendara unta sudah usai dan kami tiba di penginapan yang sesungguhnya. Selayaknya musafir yang baru berkelana ribuan kilo jauhnya, kami begitu lega ketika mendapati barisan perkemahan menyambut kami. Kembali, dengan kompak dan berurutan para unta terduduk untuk mengijinkan para penunggangnya turun.

Perkemahan tersebut terdiri dari beberapa tenda. Ada tenda untuk para tamu beristirahat, ada tenda untuk para pekerja menyiapkan makan malam. Dan ada tenda utama yang merupakan tenda terbesar tempat semuanya berkumpul untuk menyantap jamuan makan malam. Lha trus petugasnya tidur dimana? Katanya sih bobo bareng unta, sambil berjaga-jaga.

Berjalan di atas gurun Sahara yang lembut membuat kaki saya sesekali terjerembab masuk. Pasirnya begitu dingin bagai serpihan es yang ditabur di permukaan kulit. Untung saja area di sekitar perkemahan berlapiskan karpet tebal yang lebar. Kami nggak perlu terlalu sering bersentuhan langsung dengan pasir-pasir beku tersebut.

Acara menginap malam itu  nggak hanya diisi dengan makan malam bersama, namun juga dimeriahkan oleh acara api unggun dan pertunjukan nyanyian gurun. Seusai memilih room mate dan tenda masing-masing, dan seusai mencicipi hidangan makan malam berupa salad Maroko, dan aneka rupa masakan Tajine (masakan yang dimasak dengan tungku dalam pinggan tanah liat bertudung kerucut), kami diajak duduk mengelilingi api unggun yang baranya kian memerah dan lidah apinya terus melalap kegelapan.

Para pelantun bernyanyi dengan nada yang begitu ritmik. Tabuhan gendang dan petikan gitar berpadu satu memecah keheningan malam. Dengan riang dan tanpa malu, kami menari bersama-sama, menikmati malam.

Sahara menjadi destinasi klimaks bagi saya, mengingat tujuan utama saya menjejak utara Afrika ya untuk merasakan serunya berkendara unta di Sahara. Terisolir dari segenap kehidupan semesta, berteman desir pasir berhamburan di sekeliling, beratap jutaan gugusan bintang di angkasa, Sahara becomes one of the sweetest escape bagi saya, dan mungkin bagi para tante. Sejenak kami akan menikmati sepotong malam dalam keterasingan, menjadi kecil laksana debu yang berterbangan di tengah luasnya samudra kesunyian…

IMG_4058IMG_4070

Previously in Maroko, Pintu Utara Afrika:

1. Wasswusss di Marakesh

2. Susur Pegunungan Atlas bersama Ibu-Ibu Sosialita

 

Plesir Singkat ke Philip Island, Australia

Mungkin udah banyak teman-teman yang mengenal Phillip island sebagai salah satu spot sirkuit Grand Prix. Pulau terdekat dengan Melbourne ini kebetulan baru aja didaulat menjadi tuan rumah ajang balap Moto GP paling bergengsi di dunia pada bulan Maret 2016 lalu.

Namun Phillip Island nggak cuma punya sirkuit balap loh. Banyak destinasi wisata yang nggak kalah ketjeh untuk disambangi. Tahun lalu, saat status saya masih seorang “turis” di Australia, saya berkesempatan mengunjungi pulau ini. Saya sengaja mereservasi paket tur satu hari, seharga 100 Dolaran berhubung keterbatasan waktu yang saya miliki, dan minimnya info kendaraan umum yang saya peroleh saat itu. Mahal sih, tapi mau gimana lagi… Akses situs wisata di Australia memang terkenal jarang terjangkau oleh kendaraan umum. Kalo kamu nggak punya kendaraan pribadi ya terpaksa membeli paket tur yang ditawarkan oleh sejumlah operator.

Sebuah bus menjemput saya nggak jauh dari penginapan. Bersama dengan serombongan turis lainnya, kami siap meninggalkan daratan utama Australia, menyebrangi jembatan menuju pulau di selatan Australia ini. Trip ini akan memakan waktu kurang lebih 11 jam, terhitung dari keberangkatan kami, durasi di tiap lokasi wisata dan perjalanan pulang.

Chocolate Factory

Pabrik yang disulap menjadi museum coklat ini menyuguhkan diorama proses pembuatan coklat, hingga patung dan lukisan yang terbuat dari coklat. Jangan lupa puaskan hasrat ngemilmu di pabrik coklat ketjeh ini. Kamu bisa berbelanja coklat aneka rupa dan aroma yang menggugah selera!

IMG_0832IMG_0840

Maru Koala and Animal Park

Kebun binatang yang disetting menyerupai taman alam terbuka ini memberikan kesempatan bagi para pengunjung untuk berinteraksi langsung dengan sejumlah fauna “tuan rumah” benua Australia. Disini nggak hanya berselfie ria dengan Kanguru, kamu juga bisa bercengkerama dengan Koala, Wallaby, Wombat, Keledai, burung unta dan beberapa spesies lainnya.

Esplanade

Pesisir pantai ketjeh ini cocok banget buat piknik, ataupun sekedar nongkrong-nongkrong cantik di kafe-kafe di sepanjang jalan utama. Nikmati desauan ombak yang menggelitik kaki di bibir pantai, ditemani sekawanan burung camar yang berterbangan di angkasa atau sesekali menghinggap di hamparan rerumputan hijau.

IMG_0882IMG_0896

The Nobbies

The Nobbies adalah obyek wisata yang membentang sepanjang pesisir pantai Ada beberapa view point menarik yang harus banget diabadikan oleh lensa-lensa kameramu disini. Ada Nobbies blowholes yang berupa ceruk batu karang yang menimbulkan suara menggema acap kali terhempas ombak. Ada puluhan, bahkan mungkin ratusan sarang penguin mungil khas selatan Australia. Dan jika beruntung, kamu bisa bertemu dengan koloni anjing laut yang asik bergosip di atas bebatuan karang, atau sejumlah paus yang sedang bermigrasi pada musim-musim tertentu.

IMG_0963IMG_0993

Penguin Parade

Parade Penguin adalah atraksi utama Phillip Island setelah sirkuit Moto GP. Saksikan betapa lucunya langkah-langkah mungil para penguin biru yang berparade kembali ke sarangnya masing-masing. Seolah dikomando, mereka berbaris rapi berjalan dalam kegelapan, sambil sesekali terhenti karena kebingungan ataupun ragu melangkah menanti teman-teman lainnya  Pada penguin parade ini, para penonton memiliki dua pilihan kursi, yakni menghadap langsung ke lepas pantai, atau duduk berdekatan dengan jalur pulang mereka (begitu dekatnya sehingga kamu bisa menyentuhnya andai aja nggak ada petugas yang berjaga, hihi).  Sayangnya sepanjang atraksi berlangsung, pengunjung nggak diperbolehkan  untuk mengeluarkan kamera untuk mengabadikan momen menggemaskan tersebut. Ya, atraksi tersebut hanya bisa direkam dalam ingatan 😦


Simak juga perjalanan seru teman-teman pejuang WHV lainnya dalam link berikut:

Efi Yanuar: Tenda dan Mobil sebuah Pelajaran Perjalanan