JURNAL TURIS JULID

Ngeghibah adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka segenap turis +62 yang bibirnya super nyinyir kayak ketoprak karet 12 harus banget beli buku traveling paling julid di muka bumi ini.

Hai sobat misqueen kesayangan, welcome to Jurnal Turis Julid. Jurnal ketjeh ini bakalan menjadi playground favorit kita semua untuk menumpahkan aneka rupa ghibah ketika berbenturan dengan lingkungan dan budaya baru yang aneh, berikut orang-orang baru yang nyeleneh, baik di dalam maupun di luar negeri. Jadi kalau kamu sedang mencari panduan perjalanan ke negara mana dengan budget berapa, naik apa turun di mana. Atau kalau kamu sedang mencari ide liburan yang seru, instagrammable, memorable dan tentunya riyak-able, tanpa mengurangi rasa hormat, balikin buku ini ke raknya semula karena kamu nggak akan menemukan apa yang kamu sedang cari di sini.

Buku ini hanya diperuntukkan bagi kamu-kamu yang percaya bahwa dalam sebuah perjalanan nggak melulu berisi tentang agenda foto-foto manja atau unggah-unggah lagi ngapain di media sosial. Buku ini bukan pula sekadar berisi catatan petualangan ala-ala yang akan menginspirasi apalagi memacu adrenalin. Mengusung semangat kebebasan berpendapat yang terangkum dalam pasal 28 UUD 1945, buku ini merupakan perwakilan isi hati para turis nyinyir semesta raya.

Judul: Jurnal Turis Julid
Penulis: Hendra Fu
Jenis: Nonfiksi
Tebal: 135 hlm
Terbit: Januari 2021
Sunting: Kania Nabila Fajrianti
Layout: Rosalita
Sampul: @aswinfahrizal
& Hanung Norenza Putra
Harga: Rp. 45.000
Penerbit: @ellunarpublish_
ISBN: 978-623-204-749-5

5 Things to Do in Minsk, Belarus

Kalau kamu membaca postingan saya sebelumnya tentang warisan Soviet di kota Minsk, mungkin kamu-kamu bakalan bergidik dan berpikir lima belas kali untuk mengunjungi negara dimana ideologi komunisme demikian kuat tertanam ini. Well, wajar sih kalau kamu merasa was-was bakalan dicap antek komunis karena pernah bertandang ke ibukota negara Belarus ini. Secara yah, dengan mudahnya kamu bisa menemukan logo palu arit yang terpampang jom-jom manjalita dimana-mana.

But eitsss, tunggu dulu. Pernah menjadi bagian dari kekuatan adidaya berpaham komunis nggak serta merta membuat Belarus menjadi negara kelam nan horor yang sarat akan kriminalitas loh. Memang sih, hampir sebagian besar warga lokalnya miskin senyum seperti kebanyakan etnis Slavik pada umumnya. Tapi kalau kamu coba bertegur sapa, mereka dengan ramah bakalan membalas dengan hangatnya loh—saya sudah beberapa kali berkomunikasi dengan warga asli Belarus dan they sure have one of world warmest greeting loh surprisingly! Selain itu–seperti yang juga saya infokan sebelumnya–dengan dibangun ulangnya tata kota Minsk pasca perang dunia kedua, ibukota negara ini menjadi salah satu peninggalan Soviet yang ciamik! Dengan diberlakukannya kebijakan free visa selama beberapa hari oleh imigrasi setempat (dan bakalan diperpanjang seiring waktu), saya optimis Belarus terutama Minsk bakalan menjadi salah satu top list destination!

belarus-location-on-the-europe-map

Buat kamu-kamu yang masih bingung dimanakah keberadaan Belarusia

Berikut adalah agenda perjalanan yang bisa kamu lakukan pada kunjunganmu ke kota ketjeh ini.

City Gate

Begitu tiba di pusat kota dengan menggunakan bis dari bandara ataupun menggunakan kereta, kamu bakalan disambut oleh sepasang gapura raksasa bergaya Stalin klasik yang terletak di seberang stasiun.  Dibangun sekitar tahun 1947-1952, kedua menara kembar yang menjadi ikon ibukota ini dibangun di atas apartemen berlantai lima yang dulunya digunakan sebagai hunian para pekerja rel kereta api. Yang menarik dari bangunan ini adalah pada kedua fasad menaranya. Jika pada menara sebelah kiri terdapat jam raksasa berdiameter 3,5 meter pemberian pemerintahan Jerman pada Perang Dunia ke II, maka pada menara sebelah kanan kamu bakalan menemukan lambang negara Republik Soviet Sosialis Belarusia yang berupa palu, arit dan gandum.

IMG20180424135759

Great Patriotic War Museum

Museum perang ini didirikan di atas bukit Pokklonaya sebagai wujud penghormatan terhadap para tentara Belarus yang berjuang mempertahankan kota Minsk dari serangan tentara NAZI pada Perang Dunia II. Dikelilingi oleh Victory park, museum ini menyimpan koleksi foto-foto semasa perang, seragam yang dikenakan, perlengkapan militer seperti senjata, kendaraan perang, model pesawat tempur hingga diorama-diorama yang menunjukkan suasana perang.

IMG20180426153940

Independence Square

Sebelumnya bernama Lenin Square, alun-alun yang terletak di belakang stasiun kereta api ini mulanya dibangun sebagai lokasi parade militer pada tentara Soviet. Sebagai salah satu alun-alun terbesar di Eropa, di sini dapat dijumpai gedung balai kota, gereja Saints Simon and Helena, patung Lenin, serta gedung Supreme Soviet–gedung parlemen Belarusia (dibangun pada tahun 1934) yang selamat diantara gedung-gedung yang rusak parah oleh serangan NAZI pada Great Patriotic war.

IMG20180424142516

Island of Tears

Dibangun di atas pulau buatan di sungai Svisloch pada tahun 1988 ketika perang masih berlangsung, monumen ini merupakan wujud penghormatan bagi para tentara Belarus yang bertempur di Afganistan (1979-1988). Memasuki pulau mungil ini, kita akan disambut oleh patung malaikat berwajah muram sebelum kemudian menghampiri sebuah kapel mungil bersematkan 771 nama tentara yang gugur dan dikelilingi patung-patung para istri, ibu dan saudari yang tengah berduka.

IMG_9691

Freedom Square

Freedom Square ibarat sisi “ceria” kota. Ketika sebagian besar kota Minsk didominasi oleh bangunan beratmosfir kaku dan suram ala Soviet, alun-alun ini justru menampilkan kesegaran dan warna-warni yang menyenangkan. Gedung-gedung seperti gereja St. Joseph dan gedung balai kota yang bernuansa putih dengan atap-atap yang bermain warna-warna kontras yang memanjakan mata, aneka seni kriya logam patung-patung cantik yang bisa ditemukan di sejumlah titik, ditambah lagi efek luas yang disuguhkan oleh alun-alun ini membuatnya menjadi salah satu alun-alun paling cantik di kota.IMG_9708

My Bitter Sweet Couchsurfing Experience!

Kalian familiar dong sama yang namanya Couchsurfing, situs jejaring sosial yang memperkenalkan konsep hospitality exchange di dunia traveling itu. Ya, sederhananya para anggota diharapkan saling memberikan tumpangan tempat tinggal kepada anggota dari kota/ negara asing yang kebetulan sedang berkunjung ke kota tempat tinggalnya. Alih-alih membayar sejumlah uang sebagai wujud terima kasih atas tumpangan yang diberikan, kepercayaan dijadikan modal utama para anggota untuk membuka rumahnya lebar-lebar bagi satu sama lain.

Couchsurfing (CS) tidak hanya membantu menekan pengeluaran akomodasi saat traveling. Sebagai ajang silaturahmi, dengan menginap di rumah warga lokal yang tahu betul dengan situasi dan kondisi kota yang ia tinggali, tentunya para anggota bisa saling memperkenalkan budaya masing-masing. Tuan rumah alias host bisa memberitahukan apa saja yang harus dan tak boleh dilakukan oleh para surfer (sipenginap), apa yang wajib dicoba, tempat apa saja yang direkomendasikan untuk dikunjungi dan berbagai ‘local stuffs’ yang pantang terlewatkan.

capture-20180925-173509

Contoh referensi yang saya peroleh dari host yang saya tebengi

Sudah sekian kali saya menggunakan jasa CS ketika berpergian ke suatu negara. Berbagai karakter telah saya temui, dan beragam tempat tinggal sudah saya icipi. Sejumlah pengalaman yang mewajibkan saya untuk keluar dari zona nyaman juga untungnya nggak pernah memberikan saya rasa jera. I mean, siapa sih yang nggak mau ngetrip ke suatu tempat dan bersinggungan langsung dengan kearifan lokal? Mau nggak nyamannya kayak apa tempat yang saya inapi, selalu ada hal menarik yang sayang banget untuk dilupakan.

Yuk intip tiga pengalaman receh paling mengesankan yang saya alami bersama host-host CS tercinta di seluruh pelosok dunia:

Tasmania

David and Anne adalah host ketiga saya dalam sejarah per-CS-an. Sepasang kakek nenek bersahaja ini tinggal nggak jauh dari pusat kota Hobart, tepatnya di tepi sungai Derwent. Menghadap langsung ke gunung Wellington, rumah cozy tersebut mereka tinggali bersama dengan Golden Retriever tuanya yang bernama Samsung.

Saya nggak pernah berharap banyak ketika tiba di rumah mereka. Dalam benak saya, saya bakalan tidur di sofa ruang tamu seperti yang biasanya saya lakukan di rumah host-host sebelumnya. Saya bakalan belanja di grocery dan memasak keperluan pangan saya sehari-hari di dapur mereka. Dan saya bakalan nelangsa sendirian karena para host sibuk dengan rutinitas hariannya.

Ternyata saya salah besar pemirsa. Begitu tiba di rumah, Anne memeluk saya hangat sembari mengajak saya masuk ke salah satu kamar anaknya yang begitu nyaman. Saya langsung diajak ke ruang tamu untuk makan malam (berhubung saya tiba sekitar pukul enam sore). Dan makanan yang disajikan doooong, nasi putih dan sate ayam bumbu kacang! Ya, Anne seharian ternyata sibuk memasak nasi dan menyiapkan sate ayam tersebut khusus untuk menyambut saya. Katanya ia sengaja meng-Google salah satu resep Indonesia sebagai wujud apresiasinya terhadap tamu Indonesia pertamanya!

Nggak sampai disitu pemirsa, begitu David pulang dari kantornya, kami bertiga duduk di teras rumah menikmati tenangnya malam sambil mencicipi puding mangga yang Anne juga siapkan. Ditemani dengan secangkir teh herbal yang mengepul, kami mengobrol panjang lebar mengenai apa saja rencana saya selama di Tasmania hingga apa yang saya lakukan di Indonesia. Ya ampun, mimpi apa sih gueeee, ketemu host yang baik banget kayak mereka!

Iquitos, Peru

Perkenalkan Lali dan Jaker, sepasang suami istri yang tinggal di kota Iquitos, gerbang masuk untuk memulai petualangan sungai dan hutan Amazon. Saya beruntung berkesempatan untuk menginap di rumah mereka yang bersahaja, karena saya diijinkan tinggal di bekas kamar anaknya yang kini tinggal di ibukota Lima. Bukan soal kamarnya yang nyaman banget, rapi dan bersih atau keramah-tamahan Lali dan Jaker yang membuat pengalaman numpang kali ini luar biasa.

Begitu mengetahui saya bakalan menghabiskan waktu selama dua bulan di Amerika Latin, dan begitu mengetahui bahasa Spanyol saya masih sebatas apa kabar, terima kasih, berapa dan saya nggak punya uang, Lali dan Jaker—terutama Lali—langsung saja mewajibkan saya untuk berbahasa Spanyol selama lima hari saya tinggal di rumahnya. “No English at all! Try to speak, I will help you”, ujarnya galak.

Benar saja, setiap kali nongkrong bareng di teras rumahnya, Lali kerap menggunakan bahasa Spanyol berbicara dengan saya. Saya yang kewalahan berusaha untuk mencerna satu demi satu kata yang dilontarkannya secara perlahan. Lali juga sering mengajak saya ke pasar untuk menemaninya belanja. And you know what, sayalah yang ia paksa maju menghadapi sang penjual untuk membeli apa saja yang ia butuhkan. Saya harus berinteraksi dengan mbok-mbok penjual sayur, tawar menawar dengannya hingga Lali menganggap latihan saya cukup untuk hari itu.

Alhasil, bahasa Spanyol saya memang berkembang pesat. Lali dan Jaker membuat saya memperkaya kosakata dan membangun kalimat-kalimat sederhana. Sayapun semakin pede menghabiskan sisa waktu ke depan di kota-kota lainnya di Amerika Selatan—ya minimal saya bisa memahami percakapan singkat seperti memesan makanan atau sekadar menanyakan arah dan menyimak penjelasan orang.

Oslo, Norwegia

Pagi itu saya dan dua teman saya baru tiba di depan apartemen host kami di Oslo. Namanya Kerling, seorang pria berdarah latin yang sudah lama tinggal daratan Norwegia. Pagi itu Kerling agak buru-buru dan terpaksa meninggalkan kami karena harus berangkat ke kantor. Sebelum ia berangkat, Ia menunjuk salah satu sudut ruang tamu pada saya dan yang lainnya seraya berkata, nanti malam kalian akan tidur di airbed di sisi yang ini. Sofa sudah di-occupied oleh empat orang asal Perancis yang sudah tiba sedari kemarin, sedangkan lantai sebelah sana bakalan dihuni oleh dua orang asal Jerman. Kalau jadi bakalan ada dua orang tambahan yang tiba larut malam dan mereka akan tidur di dapur.

Wait, wait, wait….

Saya dan dua teman saya saling melirik. Kami memandang berkeliling sembari menahan napas. Ruang tamu yang sempit ini bakalan dihuni oleh berapa orang tadi katanya?

“Ok, sampai sore nanti jika kalian ingin beristirahat, kalian bisa tidur-tiduran di sofa. Geng Perancis bakalan pulang tengah malam. Saya berangkat dulu ya guys. See you…”

Dan Kerling meninggalkan saya dan yang lain dengan muka syok. Membayangkan apa yang bakalan terjadi dengan ruangan mungil ini nanti malam saja membuat saya bergidik. Ya ampun, bagaimana mungkin ruangan ini dihuni lebih dari sepuluh orang!

Tanpa dikomando, saya dan yang lainnya segera menghidupkan ponsel dan membuka hotel search engine dan mencari kemungkinan penginapan murah untuk malam ini, walaupun dalam hati saya sangat pesimis kita bakalan memperolehnya. I mean, Man, Oslo gitu loh! Salah satu top three kota termahal di dunia. Kami mati-matian mencari host CS disini kan karena penginapan disini mahal jadah tarif permalamnya. Dari jauh-jauh hari saja kami kesulitan menemukan harga bersahabat, apalagi yang untuk menginap di hari yang sama?

Benar saja, penginapan termurah tarifnya sudah di atas dua jutaan untuk lebih dari dua orang. Melihat tarif yang tertera di layar ponsel, kami bertiga tertegun. Masalahnya saat itu Oslo adalah perhentian terakhir dari rangkaian trip sebulan kami berkeliling Eropa. Pundi-pundi keuangan kami sudah super menipis dan nampaknya sudah mustahil diperas lagi khusus untuk membayar penginapan di Oslo dua hari itu. Dengan tegar dan pasrah akhirnya kami memutuskan untuk tetap tinggal di rumah Kerling sambil berharap agar salah tiga atau salah lima dari surfer-surfer lainnya bakalan angkat kaki hari itu dan kami bisa tidur lebih leluasa.

Doa jelek memang nggak sudi Tuhan jabah, satu-persatu semua surfer tiba di ruang tamu. Kerling yang tentunya bakalan tidur nyaman di kamarnya sendiri mulai mengatur peletakkan air bed, karpet, dan bantal-bantal yang akan tamunya gunakan. Ruang tamu disulap layaknya barak pengungsian. Sofa panjang bersiku dijejali oleh empat orang sekaligus, area sempit lantai terdekat sofa digelari karpet dan dihuni langsung oleh dua gadis remaja, sebuah airbed berukuran queen size melembung syahdu dan dialasi seprei untuk dibaringi oleh saya dan dua teman saya. Plus satu lagi airbed single dan satu sleeping bed digelar di ruang dapur menanti kedatangan dua tamu lainnya.

Malam itu, seisi kamar nggak henti-hentinya tertawa dan mengabadikan momen bersejarah tersebut. Kelihatannya sih bukan cuma grup kami yang pertama kalinya menginap dengan jumlah surfer tiada tara seperti ini. Yang lainnya juga syok mendapati kenyataan getir yang kami alami tengah malam itu.

Mendadak Ngartis di Nagorno-Karabakh!

Nagorno-Karabakh?? Apaan tuh? Itu dimana? Kok gue baru denger?

Jadi begini, pemirsa. Once upon a time, ketika saya masih berstatus mahasiswa jurusan Kajian Wilayah Eropa, saya sempat mempelajari konflik antara dua negara di bumi Kaukasia (Azerbaijan dan Armenia). Tersebutlah sebuah teritori milik Azerbaijan bernama Nagorno-Karabakh. Secara geografis, Nagorno-Karabakh terletak di selatan pengunungan Kaukasus, sekitar 270km di barat kota Baku, ibukota Azerbaijan. “Negara” ini merupakan negara landlocked yang dikelilingi oleh deretan pengunungan tinggi dengan luas sekitar 4400 km persegi. Karena konflik yang berkepanjangan antara Azerbaijan dan Armenia, Nagorno-Karabakh akhirnya memutuskan untuk memerdekakan diri melalui sebuah referendum.

Namun sayangnya kemerdekaan ini nggak diakui oleh dunia–hanya ada segelintir negara (termasuk Armenia dan Australia) yang mengakui kedaulatan “negara” ini. Bagaimana kisah konflik antara Azerbaijan dan Armenia ini dan mengapa “negara” ini kemudian memutuskan untuk menentukan nasibnya sendiri menjadi sebuah negara berdaulat bisa kamu google sendiri yah–I don’t have capacity to deal with this (isu sensitif juga soalnya, hihi).

Saat mempelajari lebih lanjut latar belakang sejarah “negara” yang namanya ear-catchy banget ini, ditambah lagi dengan iseng saya membrowsing sejumlah informasi tentangnya, saya langsung jatuh cinta saat itu juga. Nggak hanya takzim akan kecantikan bentang alamnya yang dikelilingi oeh pegunungan Ararat, perhatian saya spontan juga tertuju pada landmark ikoniknya, monumen unik Tatik-Papik yang membuat saya berandai-andai lebih jauh, what is like traveling to this “country” yah?

 

Monument Tatik-Papik, ikon Nagorno-Karabakh

Singkat cerita, Setelah sekitar lima-enam jam menaiki Marshrutka (angkutan umumnya Kaukasus) dan muntah-muntah berkali kali saat melintasi kelokan-kelokan maha dashyat pegunungan Ararat, tibalah saya di kota Stepanakert, ibukota dari Nagorno-Karabakh yang kini dikenal dengan nama Artsakh. Saya sengaja minta tolong pada pak sopir untuk diturunkan di kantor Kementerian Luar Negeri untuk mengurus Visa masuk. Yes, kalau biasanya kita harus apply visa dulu sebelum masuk ke sebuah negara, di “negara” ini kita masuk dulu ke negaranya baru mengurus visanya.

Adapun pengurusan visanya gampang banget. Nggak perlu bikin appointment segala, saya bisa go show ke kantornya kapan saja (jam operasional dari 08 AM- 4 PM kalau nggak salah). Begitu masuk ke dalam kantornya, saya diminta oleh sekuriti untuk mengisi selembar formulir aplikasi. Sore itu kebetulan hanya saya sendirian yang melakukan proses aplikasi visa, sehingga nggak sampai lima menit saya mengisi formulir, saya langsung diijinkan melanjutkan verifikasi dokumen di ruangan konsulat.

Gedung Kementerian Luar Negeri Artsakh

Seorang pemuda bernama Henry–kayaknya seumuran saya gitu–menyambut saya di dalam kantor dan menyilakan saya duduk di mejanya. Mas Henry mengambil paspor dan formulir yang telah saya isi, lalu menginput datanya ke dalam komputernya.  Sambil menunggu ia selesai memproses visa saya, kamipun mengobrol santai. Dari beliau saya mengetahui bahwa ternyata di tahun ini, saya adalah orang kedua dari Indonesia yang berkunjung ke Artsakh. Wow, kinda surprised, karena menurut saya nggak semua orang mengetahui keberadaan “negara” ini. Dan kalaupun mengetahui, nggak semua orang “berani” mengambil resiko mengunjungi ke negara ini.

“Berapa hari kamu akan tinggal Artsakh dan rencananya akan kemana saja?” tanyanya.

“Rencananya saya cuma akan tinggal tiga hari. Saya hanya akan berada di Stepanakert dan berkunjung ke Shoushi.”

Yup, saya dan para aplikan lainnya diwajibkan untuk memberikan itinerari selengkapnya, akan berkunjung kemana saja selama di Artsakh dan kapan keluar dari Artsakh. Nggak boleh ada satu kotapun yang nggak didaftarkan karena nantinya surat ijin berkunjung yang disertakan bersama visa bakalan dicek sewaktu-waktu oleh petugas yang seliweran di setiap area. Kalau tiba-tiba kamu berkunjung ke kota/ daerah yang namanya nggak tercantum di surat itu, you’re gonna be in trouble!”

“Jadi, visanya mau ditempel di paspor atau diberikan terpisah saja?” kata Pak Henry.

“Humm….”

Ada sedikit dilema yang saya rasakan saat itu. Menempelkan stiker visa Artsakh berarti saya mengakui bahwa saya telah dengan “lancang” dan “bandel”nya melanggar batas kedaulatan Azerbaijan. Bisa dikatakan, pintu masuk resmi ke Artsakh hanya ada di batas wilayah Azerbaijan–dan pintu masuk itu telah ditutup semenjak Artsakh memerdekakan diri. Dengan memasuki Artsakh via Armenia–yang bukan merupakan border resmi–tentunya saya dianggap nggak mematuhi peraturan keimigrasian Azerbaijan yang memang lebih diakui oleh dunia. Sanksi paling tangible yang sudah pasti saya terima adalah saya bakal di-banned dari Azerbaijan. Saya nggak bisa lagi berkunjung ke negara tersebut. Sanksi yang lain? Entahlah, saya cuma bisa berdoa semoga nggak ada drama-drama lainnya selain itu, hihi.

Tapiiiiii, gue udah jauh-jauh “cari mati” masuk ke Artsakh kayak begini, masa visanya dikasih terpisah dalam lembaran kertas lainnya sih? Paspor gue nggak ketjeh dong 😀

Attach it on my passport please.” saya tersenyum pada Pak Henry. Jadi demikianlah, visa Artsakhpun menempel manis di paspor saya–dan mulai detik ini, gue resmi ditendang oleh pemerintah Azerbaijan.

Visa Nagorno-Karabakh alias Artsakh

Visa Fee

Proses aplikasi visa selesai begitu stikernya ditempelkan. Saya dan Pak Henry saling berjabat tangan. Saya keluar dari gedung kementerian dan membuka aplikasi offline map di ponsel saya untuk mencari tahu dimana letak hostel yang saya akan inapi malam ini berada. Menurut info yang saya peroleh dari ibu pemilik hostelnya sih, lokasinya nggak terlalu jauh dari kantor Kementerian Luar Negeri.

Sembari meraba-raba pada persimpangan ke berapa saya harus berbelok kemana, saya mengamati kota Stepanakert lekat-lekat. Jujur saja, bayangan yang ada di kepala saya sebelumnya, Nagorno Karabakh bakalan berupa kota tua dengan ambians abad pertengahan dengan bangunan-bangunan batu kelabu berjajar yang membangkitkan nuansa nostalgia ala-ala kota tua Eropa. Ternyata saya salah besar. Stepanakert adalah sebuah kota modern yang tata kotanya luar biasa rapi, bersih dan teratur. Pertokoan berbaris rapi di pinggiran jalan utama beraspal mulus yang kerap dilalui oleh mobil-mobil yang berlalu lalang.

Warganya juga nggak kalah modis dan terlihat begitu ng-eropa dengan padu padanan coat musim dingin yang desainnya kekinian, boots-boots kulit yang nggak kalah ketjeh. Garis wajah Armenia yang tegas dan khas, sorot mata bulatnya yang begitu tajam dan rambut hitam yang demikian legam menjadi warisan akulturasi Eropa dan Asia yang sempurna–Yup, FYI, 90% lebih penduduk Artsakh merupakan etnis Armenia.

Dalam perjalanan mencari penginapan, saya mendadak menyadari bahwa saya sedang menjadi pusat perhatian. Orang-orang yang sedang berjalan beriringan asyik mengobrol sembari memandangi saya lekat-lekat. Ada juga yang diam-diam mengambil foto saya dari kejauhan.  Duhh, apa yang salah ya dari penampilan gue?

Ketika melewati sebuah gedung tinggi, saya mendengar kasak-kusuk dari lantai atas. Begitu saya dongakkan kepala, saya mendapati dua-tiga anak kecil yang sesekali mengeluarkan separuh tubuhnya di jendela, lalu masuk lagi dan keluar lagi seperti sedang memanggil yang lainnya di dalam sana.

Benar saja, nggak lama dari itu, deret jendela lainnya yang tadinya tertutup langsung dibuka oleh serombongan anak-anak lainnya. Heboh dan kegirangan, mereka berdadah-dadah serta berhalo-halo pada saya. Karena syok dan bingung harus bagaimana, saya hanya bisa membalas lambaian tangan mereka sambil tersenyum canggung.

Dan karena kehebohan di atas sana, orang-orang yang ada di sekitar saya ikut-ikutan heboh. Semuanya menatap saya penuh dengan rasa penasaran dan berbisik-bisik antara satu dan yang lain. Yang lebih bikin syok lagi, ada seorang pemuda yang tahu-tahu turun dari mobil yang baru saja berhenti di pinggir jalan nggak jauh dari tempat saya berdiri.

Hi how are you?” Ia menegur saya dengan ramah.

“Err… hi too, I’m fine, thanks…” saya mengernyit. Siapa orang ini?

Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Photo?”

Huh?? Ok…”

Begitu saja, setelah ber-wefie beberapa kali, ia mengucapkan “thank you” dan kembali ke mobil yang sejurus kemudian melaju meninggalkan saya yang terbengong bingung. Buset, si mas-mas tadi niat banget memberhentikan mobilnya cuma buat wefie? Sejenak saya teringat akan situasi seperti ini di tanah air tercinta.  Gue berasa jadi bule yang lagi terdampar di antara warga lokal.

Seperti layaknya seleb ketjeh yang berusaha menghindar dari kerumunan fans dan paparazi, saya percepat langkah saya dan segera berbelok ke salah satu persimpangan yang lebih sepi. Saya terus berjalan tertunduk saat berpapasan dengan orang yang lain lagi. Sumpah, jadi pusat perhatian kayak begini lucu-lucu risih rasanya, hihi.

Astaga, belum sampai satu jam saya berada di Artsakh, saya sudah bikin heboh satu kota. I still have 2 more days disini dan saya nggak bisa membayangkan apa yang bakalan terjadi beberapa hari ke depan nantinya.

Traveling Buat Apa?

I travel to find a better ME

Ada sejumlah alasan yang membuat seseorang mendadak filsufpacker. Entah karena kenangan masa lalunya yang begitu mengecewakan, entah karena kehampaan yang ia tengah rasakan, entah karena baru saja menyaksikan kejadian yang membuatnya tercengang, entah juga karena ia mengidolakan sosok seseorang yang menginspirasi kehidupannya. Yang begini biasanya memaknai segala hal demikian khusuk dan sarat nilai filosofis. Hari-hari yang ia lalui sepanjang perjalanan membuatnya mengimani bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Detail-detail yang ia jumpai, pahit-manis yang ia rasakan, ragam wajah dan karakter yang ia baru kenal menempa pribadinya sehingga ia mengamini bahwa ia telah “lahir baru”. Orang-orang semacam ini biasanya memang mengalami transformasi diri. Kita akan menemukan dirinya yang berbeda dibandingkan dulu sebelum melakukan banyak perjalanan.

I travel just because I want to

Nggak pakai ribet, nggak pakai drama, nggak mau pusing dengan segala tetek bengek bernama filosofi hidup dan alasan menye-menye lainnya. Yang ia pikirkan adalah, I need a short escape, gue butuh liburan, gue mau menenangkan pikiran, gue mau having fun, gue mau entertain my self. Dia nggak butuh benturan masalah hidup pelik yang membuatnya melarikan diri dan mencari makna hidup hakiki. Dia nggak butuh perenungan malam dan pagi bersama secangkir kopi. Dia nggak perlu menjadi peka terhadap sekeliling karena dia sedang nggak butuh pelajaran hidup. Kalau kamu bertanya padanya, ngapain ngetrip, dia bakal jawab, ya lagi pengen aja. titik.

I travel to race

Nggak sedikit orang-orang yang punya pandangan demikian. Berlomba-lomba mengkoleksi jumlah negara, mencatat daftar been there done that, dan menjadi seorang pejalan yang lebih wah dibanding yang lainnya.  Semakin banyak jumlah negara yang dikunjungi dibanding teman-teman lainnya, maka semakin merekah dan berbunga-bunga perasaan mereka. Ada semangat kobaran persaingan ingin berusaha menandingi yang lainnya. Ada perasaan ingin lebih dulu pernah kemana, lebih dulu melakukan dan memperoleh apa, lebih dulu menjadi yang terbagaimana. Well this is natural, bukankah manusia diciptakan dengan ego ingin lebih unggul? Nggak ada yang salah dengan perasaan ini. Dalam lingkup kerja aja orang-orang bisa bersaing ingin lebih baik dari yang lain, demikian pula dalam dunia traveling 😀

img_3074

I travel to explore

I am a true adventure. I love nature. I love culture and art. I love to meet locals and mingle with them. I love to find something I never knew before, I’m not afraid of stranded in the middle of nowhere. I dare to challenge my self fulfilling my curiosity. Gue traveling karena gue pengen memperkaya khasanah pengetahuan dan pengalaman hidup. Begitulah kira-kira yang ada di kepala para petualang sejati ini. Fokus mereka hanya satu, bagaimana obyek wisata dan segala kekayaannya mampu menciptakan sensasi perjalanan yang luar biasa tak terlupakan. Mereka berani mengambil resiko menyusuri sudut terdalam dan titik terjauh demi memuaskan hasrat bertualangnya.

I travel because err that’s my job

Kata orang, pekerjaan mobile yang mengharuskan orang berpindah dari satu tempat ke tempat lain adalah salah satu dream job yang banyak orang idamkan. Udah jalan-jalan gratis, masih dibayar pula! Siapa yang nggak mau? Ada banyak pekerjaan yang mewajibkan orang-orang untuk mengunjungi kota anu atau negara anu. Ada yang bekerja sebagai pemandu wisata, ada yang bekerja sebagai jurnalis dan reviewer, ada yang sekedar perjalanan singkat kantor, dan masih banyak lagi lainnya. Namun bagi saya pribadi dan pastinya bagi sebagian besar orang, apapun jenis pekerjaannya, terkadang jalan-kalan untuk kerja itu tentunya nggak se-wild and fun apabila kita murni jalan-jalan untuk plesiran.  Ada sederet batasan ruang waktu, kondisi dan norma tertentu yang mengekang. Maybe you make a report on the terrace of Maldive floating resort. That might look fancy… but again, lo lagi kerja bro, bukannya lagi leyeh-leyeh santai doing nothing 😀

I travel because you do too

Seseorang juga bisa menjadi alasan utama mengapa seseorang memutuskan untuk menjadi seorang pejalan. Bisa jadi orang itu adalah orang yang ia sayangi sehingga ia hanya ingin tetap bersama kemanapun dimanapun. Bisa jadi orang itu adalah orang yang ia kagumi sehingga ia merasa terinspirasi oleh perjalanan-perjalanan yang orang itu lakukan. Bisa jadi orang itu adalah orang yang ia benci dan ingin ia sejauh mungkin hindari. Bisa jadi orang itu adalah orang yang berada nun jauh disana dan ia ingin hampiri.

img_5534

 

Kerja di Australia Itu… (Balada WHV di Australia part 2)

Merantau ke negara orang, terutama ke salah satu negara “muwaahall” di dunia itu tantangannya berasa dikuadrat berkali lipat! Terutama jika kamu bukan peraih beasiswa atau sedang tugas dinas yang disponsori orang lain. Nggak ada jatah bulanan yang mengalir cantik ke rekening pribadi untuk memenuhi kebutuhan harian. Kalau nggak kerja, ya nggak bisa makan atau bayar sewa tempat tinggal. Segala sesuatunya harus kamu afford sendiri.

Hari-hari awal di Sydney saya lalui dengan lumayan “nyesek di hati, nyesek di kantong”. Saat itu saya baru aja menuntaskan trip Spanyol-Roma-Maroko saya, sebelum kemudian langsung bertolak ke Australia untuk program WHV. Dengan nekad, saya berangkat ke Sydney, hanya berbekal uang 200 AUD.

Lo bukan lagi nekad, tapi lo udah gila cuyy!!

Bayangin aja, biaya sewa kamar paling murah di pusat kota itu berkisar antara AUD 120 seminggu (sekamar sharing dengan empat sampai enam orang loh! bukan private room of your own and just your self). Iya cuyy, cuma seminggu! Which is berarti sebulan kamu harus menyiapkan uang sebesar hampir lima juta rupiah hanya untuk tempat tidur kamu tiap malam. Belum  lagi untuk kebutuhan perut, sekali makan di luar bisa menghabiskan 8-12 AUD. Say bye-bye ke nasi warteg 15.000,- perak atau Mie ayam gerobakan 10.000-an.

Dan gue cuma bawa 200 dolar doang?? Ok, gue harus segera dapet kerjaan buat survive.

Cari kerja di Sydney ternyata gampang-gampang susah. Dibilang gampang ya karena kerjaan bertaburan dimana-mana. Juga saya anggap susah karena nggak semuanya menawarkan gaji sesuai dengan yang diharapkan. Tapi berhubung kondisi keuangan yang sangat menipis kala itu, mau nggak mau saya harus terima kerjaan dengan upah seberapapun demi menyambung hidup di bulan pertama.Guess what, gaji pertama yang ditawarkan pada saya adalah 13 AUD perjam, bayaran yang sangat minim untuk kota Sydney. Untungnya pak bos memberikan jam kerja 10 jam sehari (diselingin satu setengah jam break), jadi ya lumayan banget bagi saya–lumayan gajinya tapi lumayan capek mampus juga kerjanya.

Ya, dibanding Indonesia, ritme kerja disini sintingnya kelewatan! Ibaratnya, kerjaan dua-tiga orang dikerjakan sendirian. Saat itu saya melamar menjadi seorang kitchen hand alias babunya mas chef di sebuah Restoran Sushi.  Jobdesk saya hompimpahalaium segambreng, yakni mempersiapkan bahan yang diperlukan oleh mas chef, masak nasi dua gentong, bantuin mas chef masak, nyuci piring panci baskom container dan segenap perabot restoran, naik turun ke ruang storage untuk menyiapkan keperluan satu restoran dan nggak lupa buang sampah satu bin besar.

Rasanya nggak ada sedetikpun saya bisa leha-leha cantik atau minimal berhenti bergerak. Sambil nungguin masakan matang, saya cuci perabotan. Semua perabotan kelar dicuci tapi masakan belum juga matang, saya nyiapin stok dessert. Stok dessert kelar tapi masakan belum juga matang, saya nyiapin bahan-bahan lain. Bahan-bahan lain kelar disiapkan dan masakan matang, ya saya nyuci lagi karena cucian kembali numpuk. Dan seterusnya, dan seterusnya, siklusnya berputar begitu terus sampai 10 jam. Ketjeh ya? Tapi ya gitu deh, demi bisa makan ya mau nggak mau kerjaan seberat apapun kudu dijabani.

Baru dua minggu kerja di restoran tersebut, saya memutuskan untuk berhenti setelah gajian karena sejumlah alasan teknis (seperti gaji yang ternyata menurut beberapa pakar sangat under-paid untuk bobot kerja yang sedemikian sehingga). Saya pun mencari pekerjaan baru yang ternyata nggak kalah menguras tenaga (untungnya gaji yang ditawarkan sangat manusiawi dan masuk kategori “wajar”). Seminggu menganggur, saya kemudian diterima di sebuah airport hotel dekat rumah.

Kerjanya? Ya standar sih, ganti seprei dan sarung bantal, bebersih dan rapi-rapi kamar plus ngosek wc–kurang hina apalagi coba, sarjana lulusan salah satu kampus ketjeh di Indonesia ngosek wc di negara orang T_T). Belum lagi kerjaan ekstra yang frequentif (seminggu tiga kali) saya lakukan seorang diri. Menyusun sprei, handuk, keset dan sarung bantal yang baru dikirim dari laundri dan jumlahnya berkarung-karung (kayaknya sekali nyusun bisa 40an karung).

Ah gampang, ngeluarin seprei dll dari karung ke rak doang kan? Weitsss, gue belom selesai ngomong cuyyy! Judulnya aja kerjaan “ekstra”, berarti ada hal ekstra yang harus saya lakukan. Yapp, saya  harus memindahkan separuh dari 40an karung itu dari gudang lantai bawah ke lantai dua secara manual! Dipanggul pemirsa! Ya, dipanggul naik tangga! 20an karung berat saya bopong bulak balik naik tangga tiga lajur sendirian. Siksa apalagi yang Kau limpahkan pada hamba-Mu ini ya Tuhan T_T

Hari-hari pertama rasanya mau mati, literally mau mati. Saya benar-benar kehabisan energi, padahal kerjaan bebersih dan rapi-rapi kamar baru saja akan dimulai. Untungnya seiring waktu, saya mulai terbiasa mengangkut-angkut seprei-seprei itu tanpa harus terancam opname karena super kelelahan–seperti kata orang-orang, ‘ala bisa karena biasa’. Hal positif yang selalu saya tanamkan saat itu cuma, “Itung-itung ngegym gratis :D”

Ritme dan alur kerja di negara baru ini memang menjadi culture shock buat saya yang terbiasa “kerja nyantai” di Indonesia. Maklum, namanya juga mantan pegawai kantoran, alih-alih angkut barang berat, jemari-jemari cantik saya cuma terbiasa menari-nari di atas keyboard. Kaki yang biasa hanya menggelayut manja saat duduk di atas kursi seharian pun dipaksa berdiri dan terus bergerak kesana-kemari. Yang biasanya setiap kali kerja di kantor saya bisa ngopi-ngopi jelita sambil bergosip ria dengan teman-teman atau kulik-kulik ponsel sambil chatting, disini mah boro-boro deh. Keliatan lagi bengong sebentar aja langsung dipelototin sama bos.

Pernah ada kejadian kocak. Suatu kali ada moment dimana kafe tempat saya bekerja (Pindah kerja lagi cuy, hihi) benar-benar super sepi, nggak ada satupun pengunjung yang datang. Semua kerjaan saya kebetulan sudah tuntas dan saya bingung mau ngapain lagi. Karena nggak enak diliatin bos, saya langsung mengambil handuk kecil untuk melap meja-meja yang beberapa menit lalu udah dilap oleh teman saya yang ternyata sebenarnya juga sudah dilap oleh teman lainnya setengah jam sebelumnya. Yapp, saking nggak ada kerjaan dan pengen “keliatan” lagi kerja, meja yang udah dilap berkali-kali pun saya lap lagi, hihi. Piring dan gelas yang bersih pun nggak luput dari sasaran “pura-pura kerja” saya. Saya cuci lagi mereka sambil sesekali melirik bos yang tampak puas saat mengetahui saya sedang “sibuk” hihi.

***

Simak juga cerita-cerita ketjeh sesama pejuang WHV dengan topik “Culture Shock” nya masing-masing di mari:

Efi Yanuar dengan Menjadi Ratu di Negeri Orang

Hilal Abu Dzar Nahdi dengan Iiiiiih Tempat Pipisnya kok Gitu sih; Gegar Budaya (Culture Shock) di Australia

Meidiana Kusuma Wardhani dengan 10 Hal yang Kamu Perlu Tahu tentang Sydney-Australia

 

 

 

Wayag! This is What I call Paradise! (Raja Ampat, the Last Paradise on Earth, part 3, End)

The day was getting scorcher in Raja Ampat archipelago. After one night staying in Sawandarek island, I and Raj48 crews were heading directly to our major destination, Wayag!! Well, what is wayag and what is so special with Wayag? Well you might ever see an advertisement about Raja Ampat which shows a very beautiful scenery of a cluster of limestone which lies on blue greeny waters. That is Wayag!

Located in West Waigeo village, Raja Ampat, Papua, Wayag will hypnotize you with its magnificent view from the top of the island. To get there, you can stay a night in Waisai or in one of islands which provides home stay–I and Raj48 squad stayed in Bianci island.  Wayag becomes the icon of Raja Ampat for its incredible view. Some said, if you did not visit Wayag when coming to Raja Ampat, you have not really visited the Raja Ampat yet.

It took like half hour to get to Wayag from Bianci island by our speed boat. First, we stopped at an island to report our selves and showed our badges. This badge is compulsory to have if you want to have a visit to Raja Ampat as permit to enter. You just need to pay the conservation fee IDR 250k–for local and you will be given the badge to show each time the officer ask you to.

IMG_0448 IMG_0430

While waiting for Zee took care of the registration, we spent some minutes to enjoy the scenery on the beach while waiting for our lunch be ready. On this island, said one man,a tour leader we met there, we could also have an approximately an hour trekking to see a piece of view of Wayag with a different angle. But since we already had other spots to see the view, so we just spent the trekking plan for next time.

After Zee had registered all the squads and after we had finished having our lunch, our boat took us straightly to the trekking spot. On the way to the spot, we were amazed by the limestone island which laid and  spread on the waters. The waters was also crystal clear, that sometimes we could see the seabed and some fishes swimming. Not long after that, we got into giant gate made of couple limestone and found a very beautiful beach.That was where we will start our journey for the trekking.

CIMG6167 CIMG6174 CIMG6178

The boat stopped near the shore, and we walked to the white sandy beach, waiting for our turns. Yes, due to the massive number of the guests, we have to wait for our turns to get into the island and to start climbing the hill. Each time we met some groups who had just finished their trekking, they looked totally sweaty and exhausted. One or two persons got a little grazed on their knees, or scratched  and bleeding on their hands. Then I sort of wonder, how terrible the track would be? Would it be over masochist that everybody will get injured?

Not long after that, there was a family and little kid and it made me feel a little relieved. Well at least, that kid is way-way smaller than me and he was survived. Her mom told me that, yes, the track was quite heavy and exhausting, but it would be worth the scenery showing up there. She also tickled me by saying, “My son can, so will you!” Ok, Wayag, here I come!!

It came to our turns and we–again–got support from other group whom we met while walking through the track. At the beginning the track was just a plain ordinary track. We passed by a jungle, stooped a little to avoid the branches and twigs. Next minutes, the track was getting harder and we have to hike the uphill land. Some large roots forced us to climb and the land turned to be slippery that makes us grabbing anything to hold on.

CIMG6183

IMG_0533

The struggle had not finished yet. The slope was getting crazier to almost 80 degrees. We had to creep on the surface of limestone which was little bit sharp. If we did not pay attention on what we step or what we hold, we would get scratched or even worse, fall down. Lucky us, there were the guide who showed us which one to step and hold on.

IMG_0542 IMG_0528

So, finally, Wayag, ladies and gents…

raj1

CIMG6202 CIMG6208

Wayag has two different spot to climb up, with two different yet magnificent view. If in the–let’s just call it–1st post, we started our trekking from an island where we got into its deep jungle while climbing, in the 2nd post, the boat will dock next to a limestone hill on the waters and we directly climb to the top of the hill. And this climbing was more difficult than the 1st post. It was all limestone and we had to keep creeping and climbing on it. Sometimes my palm was scratched and the legs got numb and shaky, since it was my first time climbing the hill.

CIMG6239

IMG_0574

CIMG6284

And again, ladies and gentlemen, another incredible view of  Wayag…

CIMG6277

raj2

raj6

raj5