Contributing to Claudia Kaunang’s 101 Travel Tips and Stories Indonesia (2)

Melalui sebuah kontes menulis yang diadakan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama bersama dengan travel author ketjeh Claudia Kaunang, saya memperoleh berkesempatan untuk berpartisipasi dalam proyek buku antologi perjalanan terbaru Mbak Claudia–kebetulan saat itu saya memutuskan untuk mereview kota Solo. Senang banget dooong yes, bisa berada dalam satu buku dengan salah satu penulis perjalanan yang inspiratif–siapa sih yang nggak kenal sama Mbak CK dan buku-buku trip hematnya yang sudah segambreng menghiasi toko-toko buku di Indonesia?

Mengusung konsep seperti yang sebelumnya pernah dituangkan dalam buku 101 Travel Tips and Stories, kali ini Mbak CK turut mengundang beberapa penulis amatir–termasuk guweh–untuk menulis tentang tips-tips ketjeh seputar perjalanan ke suatu kota di Nusantara. Adapun elemen-elemen yang dipaparkan dalam  buku ini meliputi how to eat cheap, travel wisely, shop smarter, top things to do, where to stay dan nggak lupa sekelumit catatan perjalanan para penulis saat berkunjung ke kota tersebut.

Nah kenapa saya memilih untuk menulis tentang kota Solo? Jawabannya simple aja, karena saya sempat meng-under-estimate kota ini pada kunjungan kali pertama saya beberapa tahun lalu. Solo itu ibarat gadis ayu nan pemalu yang nggak mau show off di depan saudari-saudarinya. Nggak bisa dipungkiri dong, masih banyak orang yang pasti lebih tertarik untuk berkunjung dan menghabiskan waktu lebih lama di Yogyakarta dan hanya numpang lewat atau sekedar melakukan trip pulang hari ke Solo. Solo seems to be overshadowed, padahal banyak hal super menarik yang bisa ditelusuri, baik dari sisi historisnya, maupun dari sisi sosial budayanya. Sama halnya dengan Yogyakarta, citarasa kuliner Solo pun nggak kalah lezat untuk diburu loh.

Selain Solo, ada banyak lagi kota-kota di Indonesia yang diulas dalam buku yang terbit dalam dua edisi ini. Kebetulan tulisan saya kebagian nongol di buku edisi kedua bersama dengan kota Medan, Belitung, Padang, Malang, Magelang, Buton, Bawean, Samarinda, Palembang, Kendari, Singkawang dan Lombok. Seru-seru, kan pilihan kota-kotanya? Makanya buruan samperin toko buku terdekat di kotamu dan bawa buku ini ke kasir. Be ready to explore the wonder of Indonesia!!

WHV di Australia itu Kudu… (Balada WHV di Australia part 3)

Korupsi Umur!

Jangan pernah ngaku tua, karena kita sebagai ras Asia dikaruniai oleh muka yang lumayan awet muda ketimbang para bule (Kalo muke lo boros, errr… derita lo itu mah :p). Kadang bule suka bertanya pada saya, “Are you a student? Are you here with Student visa?” Yaaa, bukan salah gue dong ya, kalo saya iyain dan mereka percaya 😀 Sebagai WHV-ers berbudi pekerti luhur, umur saya yang berada di ambang batas ini suka merasa tuwir ketika melihat partner kerja saya kebanyakan berumur 20-25 (bahkan ada yang masih belasan tahun).

Yaaa, saya akuin memang agak telat bagi saya untuk mengikuti program WHV. Bagi orang-orang di Australia kebanyakan, umur-umur saya harusnya udah buka usaha sendiri atau–at least–udah punya posisi ok di kerjaan, bukannya lagi nyuci piring atau sikat-sikat WC. Maka dari itu saya selalu mengaku “I’m 23 y/o” setiap kali ditanya umur karena pernah sekali saya jujur menjawab dan respon salah satu co-worker saya adalah “Seriously, you’re xx y/o and you still do the dishwashing?”

—–Anyway, dua bos saya umurnya 27 tahun, bete nggak sih?—–

Nilai positif:  Seenggaknya sih lebih baik telat WHV daripada nggak nyobain sama sekali hihi. Siapa sih yang nggak mau kerja babu tapi gajinya setara manajer di tanah air. Umur is just a number lah ya :p

Manggil Bos dengan Namanya Langsung

Saya merasa sangat bangga menjadi orang Asia yang terkenal dengan etika santun dan penuh respek. Dari kecil saya sudah diajarkan untuk menghormati orang tua atau orang yang lebih tinggi posisi/ jabatan/ pekerjaannya dengan cara memanggilnya “Pak atau Bu”. Nahhh, begitu mengecap dunia kerja bersama orang asing, saya baru paham kalo saya nggak perlu ber-Pak-Bu-Sir-Ma’m-Mister-Misis ria setiap kali berinteraksi dengan orang,  terlepas berapapun umurnya atau gimanapun jabatannya.

Panggil aja namanya, nggak usah takut dipecat. Mau bos elo seumuran sama Eyang Buyut elo, mau bos elo kedudukannya setara dengan top 10 CEO. It’s common, biasa banget! Nggak perlu merasa terlalu kecil atau merasa rendah. Yang saya suka ketika berinteraksi dengan orang-orang ini adalah, mereka menjunjung kesetaraan alias equality banget. Kamu bisa memanggil namanya langsung, atau kalo misalnya udah akrab banget kayak saya dan si pak bos, kamu bisa saling manggil sweetheart atau honey, hihi.

Belajar Ngomong Jorok!

Nah this is the best part ever! Saya kebetulan dianugerahi dengan kerjaan seru, bos-bos dan co-workers yang nggak kalah ketjeh. Setiap kali bekerja, nggak pernah nggak, kita selalu berbalas umpatan seperti Fish you, Ashhowl,  Fork you, Syitt, Ford you, MotherFooker, Flood you, Dighead dan F word lainnya.

Jangan kaget dan jangan heran. It’s just something normal here. Yang nggak normal adalah kalo kamu merasa tersinggung. Yaaa, buat kebanyakan orang-orang disini, ungkapan-ungkapan di atas adalah ungkapan sayang yang menandakan bahwa you’re part of the family. Mereka perhatian dan sayang sama kamu dengan caranya sendiri. Jadi sekasar apapun mereka memanggil kamu, woles aja, don’t take it personally. I mean, welcome to Australia 😀

Punctual dan Penuh Tanggung Jawab

Ok, saatnya ngobrol serius. Bekerja di negara orang ritmenya beda banget sama bekerja di negara sendiri. Harus saya akui, saya suka kangen sama atmosfir kerja di kantor lama atau bahkan ketika membantu usaha keluarga. Kerjaan nyantai, bisa sembunyi-sembunyi chatting atau cek sosial media, dan bisa ngobrol haha-hihi sambil leha-leha cantik saat kerjaan nggak banyak.

But here, duh boro-boro leha-leha cantik. Kerjaan numpuk segambreng dan bakalan terus menumpuk kalo nggak segera diselesaikan. Saya hampir nggak punya waktu untuk menyenggol ponsel. Setiap kerjaan memaksa saya untuk fokus, tangan dan kaki terus aja aktif mengerjakan sesuatu tanpa berhenti. Yaeyalahh, elo dibayar perjam disini, tentunya setiap menit yang dihargai sedemikian dolar oleh bos elo ya bakalan dibebani dengan segambreng kerjaan yang berimbang.

Capek sih, tapi the good point is saya jadi lebih menghargai waktu. Kinerja kerja saya jadi sedemikian efektif dan efisien. Dan berat saya turun banyak tanpa perlu diet hihi. “Time is money” is for real here.


Baca juga kisah WHV saya disini:

Kerja di Australia Itu…

Siapa Suruh Datang Australia

Apply Work and Holiday di Australia

Transit in Milan, Whacha Gonna do??

Rush trip alias trip kejar tayang  jarang saya lakukan kalo nggak benar-benar kepepet. Biasanya sih, saya selalu meluangkan beberapa hari untuk menikmati ambians sebuah kota seutuhnya. Dan biasanya pula di sebuah negara, saya bisa mengunjungi lebih dari satu kota. Oleh karena itu, dalam satu kali trip, saya bisa menghabiskan waktu hampir semingguan hanya untuk mengeksplor satu negara.

Namun trip beberapa pekan lalu menjadi sebuah pengecualian. Saya dan keluarga yang berencana menyisir sekitar empat negara terpaksa harus “stripping” ceria ala sinetron, berpindah satu negara ke negara lain dalam waktu yang demikian singkat. Maklum, usaha keluarga nggak bisa ditinggal lama-lama, jadilah kami terpaksa berpacu dengan waktu.

Setelah tiga hari menyatu dengan alam cantik Swiss, kami melanjutkan perjalanan ke Roma via Milan. Rempong yee, kenapa nggak langsung terbang ke Roma aja dari Swiss, daripada transit-transit segala, buang banyak waktu di jalan. Well, pengennya sih gitu. Tapi berhubung tiket pesawat direct Zurich-Roma lumayan mahal mampus, dan setelah saya membandingkan dengan jalur darat dengan rute Spiez (salah satu kota di Swiss dekat dengan perhentian akhir kami) -Milan-Roma, ternyata selisih harga tiketnya lumayan besar perorang (belum lagi bila dikalikan dengan jumlah anggota keluarga yang berangkat).

Nah, singkat cerita, sekarang kami sudah terdampar di stasiun kereta Milan Central. Kami punya waktu luang sekitar enam jam sebelum nantinya beranjak ke bandara dan terbang ke Roma. Jeleknya saya kalo punya waktu luang yang nanggung selama itu, saya malas membuat itinerari singkat jauh-jauh hari. Seperti yang terjadi saat saya 10 jam transit di Frankfurt tahun lalu, saya sama sekali nggak mempersiapkan rencana apa-apa untuk ngulik-ngulik info seputar obyek wisata setempat.

Daaaan, beginilah trip ala kadar saya selama enam jam di Milan yang saya andalkan hanya peta kota dan googling singkat sehari sebelumnya.

Duomo Cathedral

Bangunan berlanggam Gotik ini tentu didaulat menjadi primadona Italia dan Milan pada khususnya. Terletak di jantung kota Milan, katedral terbesar kedua di Italia ini dapat menampung hingga 40.000 orang. Konstruksi Duomo dimulai pada tahun 1386 dan selesai dibangun dalam waktu sekitar tiga abad. Worth a wait sih, secara fasadnya aja udah mind-blowing banget sophisticated-nya, ya, kan?

IMG_5036

Galery Vittorio Emmanuelle II

Siapa yang nggak takjub melihat langit-langit pusat perbelanjaan tertua di dunia ini. Menyandang nama raja pertama Italia, Victor Emmanuel II, bangunan kuno ini juga akrab dengan sebutan nama “Ruang Rekreasi” atau “Il Salotto di Milano”. Ya,  Galeri ini bertaburan toko-toko barang branded dan fancy restaurant bakalan membuat kamu merinding terpukau. Sstt… jangan sampai kalap belanja ya, Buuu.

IMG_4937

Via Dante

Resapi lalu lalang trem dan ingar-bingar lautan manusia yang memadati jalanan di kawasan bangunan kuno yang disulap menjadi area pertokoan dan kafe-kafe cantik. Membentang dari alun-alun Duomo hingga kastil Sforzesco, kamu  bisa duduk-duduk di salah satu restorannya sambil menghirup secangkir Capuccino atau menyantap Spagetti Frutti di Mare favoritmu!

IMG_5002

Kastil Sforza

Atau dalam bahasa Italianya Sforzesco Castillo adalah kastil yang dibangun pada abad ke 15. Kastil ini dibangun di atas sebuah benteng pertahanan sudah berdiri sejak abad ke 14. Kini kastil beralih fungsi menjadi hub sekumpulan museum, seperti useum peradaban bangsa Mesir, museum alat musik, hingga museum koleksi benda seni.

IMG_5018

IMG_5026Gereja San Gottardo

Gereja yang dibangun pada tahun 1330 ini memiliki atap oktagonal dan menara yang sangat cantik.

IMG_4953

Tips Ngegembel di Eropa bareng Keluarga

Ngetrip bareng keluarga terkadang membutuhkan kinerja ekstra. Drama-drama yang kita hadapi ketika ngetrip bersama keluarga biasanya lebih lebay ketimbang saat sedang ngetrip sendiri. Beberapa pekan lalu saya bersama keluarga berkesempatan untuk plesir cantik ke sejumlah negara di Eropa. Dan seperti trip-trip keluarga sebelumnya dimana kami memang nggak pernah membook paket tur dari travel agent, kali itupun kami mengandalkan itinerari yang saya buat untuk berkeliling kota.

Serunya trip kali, keluarga saya belajar banyak hal baru yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Ini kali pertama mereka menginap di dorm bersama 3 turis asing. Pertama kalinya juga bagi mereka terlantar di antah berantah, entah guling-gulingan di rerumputan taman menanti keberangkatan bus, entah terkapar di bandara berjam-jam menanti penerbangan. Mereka juga saya paksa untuk naik bis malam berjam-jam lamanya untuk pindah dari satu negara ke negara lain. Intinya, trip kali ini level capeknya sedikit dieskalasi.

Meski banyak hal yang membuat saya agak stres karena ternyata trip bersama keluarga ke Eropa lebih bikin degdegserr ketimbang ke negara-negara Asia pada umumnya, so far saya cukup berbangga karena Fameurope-trip ala gembel kali ini sakseuss lancar jaya. Nah berikut ini saya pengen sedikit berbagi beberapa tips ngegembel di Eropa bersama keluarga ala saya ^_^ semoga bermanfaat yah.

Ingatkan Untuk:

1. Less Rice, more Sandwich

Yaaa sebenarnya harus dimaklumi sih, budaya pangan orang Indonesia nggak bisa terlepas dari nasi. Mau makan sebanyak apapun, kalau belum ketemu nasi ya perut nggak akan terisi dengan paripurna. Oleh karena itu sedari awal berangkat udah dihimbau kalo pagi-pagi biasanya bule nggak pernah makan berat, siang dan malam pun bule Eropa cenderung makan roti, mash potato, pasta ataupun apalah-apalah. Jadi, unless kamu bawa beras sendiri dari rumah atau beli di restoran Asia yang terlokalisir di beberapa spot tertentu.

2. Selalu jaga barang bawaan

Beritahu keluargamu bahwa di beberapa kota, obyek wisata turistik atau stasiun bawah tanah dan tentunya kereta/ bus yang ramai adalah sasaran empuk para pencopet. Untuk itu pastikan tas selalu disampirkan ke depan, letakkan uang di tempat terpisah (jangan disatukan, amit-amit kalo kecopetan kan masih banyak cadangan). Jangan sembarangan meletakkan ponsel, kamera atau barang berharga di tempat terbuka (seperti di meja atau di kursi di tempat umum).

3. Alert terhadap segala bentuk peraturan

Semakin maju sebuah negara, maka semakin buanyaaak peraturan yang diberlakukan, baik tertulis maupun nggak. Contohnya aja nggak boleh nyeberang sembarangan, nggak boleh buang sampah sembarangan, selalu berdiri di sisi eskalator yang ditentukan, dan segala tetek bengek aturan lainnya.  Jadi berhubung biasanya kita yang lebih alert sama hal-hal tersebut, ada baiknya kita sampaikan juga saat sedang berpergian.

4. Kalo nggak beli, mending nggak usah mampir atau nanya harga atau ngelirik dagangan orang.

Sebenarnya nggak masalah sih lirak-lirik cuci mata dagangan lapak pinggir jalan. Tapi terkadang di beberapa tempat pedagangnya terlampau sangat agresif. Meski cuma iseng nanya “how much?” dan nggak beli, mereka bisa mencecar kamu untuk menentukan good price. Bagi mereka, gimana caranya, transaksi harus terjadi. Dan parahnya, ada sejumlah pedagang yang bisa berubah sangat galak dan kasar begitu mengetahui kita nggak jadi beli.

5. Beradaptasi dengan Culture Shock

Banyak hal-hal baru yang tentunya membuat keluargamu mengalami culture shock. Mulai dari makanan serba roti, bebersih pakai tisu seusai buang air besar, sampai “gaya berpacaran bebas” ala kissing-kissing para bule. Make them understand, this is Europe, get over it. Kasih mereka pengertian bahwa ngetrip di Eropa bukan cuma sekedar menikmati pemandangan menarik atau makanan enak, tapi juga mencoba memahami perbedaan yang ada tanpa harus menjudge ina ini anu.

6. Jangan Berisik!

Ada tempat-tempat tertentu dimana sebaiknya kita nggak terlalu keras mengobrol, atau sebaiknya nggak bersuara. Contohnya di sejumlah kereta ataupun ruangan-ruangan publik, di museum, galeri  dan pastinya di ruang tidur dormitory (kalo misalnya ngajak keluarga nginep di Dorm yah)

Perhatikan Baik-Baik:

1. Mood Keluarga

Coba agak sedikit peka untuk memahami kapan mereka sedang jenuh, kapan mereka sedang lelah, kapan mereka sedang antusias dan kapan mereka sedang ingin berlama-lama di suatu tempat. Jangan memaksakan itinerari yang kita buat untuk dijabani semuanya. Terkadang ada saat dimana mereka malah pengen menikmati hal-hal yang menurut kita nggak menarik. Ada saat dimana mereka nggak kepengen masuk ke obyek wisata yang kita tunjuk. Kenali benar apa yang menjadi preferensi mereka ^_^

IMG_5532

2. Kelengkapan Anggota Keluarga

Kadang ada beberapa anggota keluarga yang tiba-tiba nyangkut di butik baju, toko oleh-oleh, atau malahan di keramaian karena kepincut bule #ihiyy. Oleh karena itu, Beberapa menit sekali selalu pastikan bahwa grup member selalu lengkap paripurna.

3. Immigration Moment

Dibanding saat sedang solo traveling, loket imigrasi bakalan kelihatan lebih spooky saat berpergian bersama keluarga. Karena meski kebanyakan petugas membiarkan seluruh anggota keluarga bergerombol di depan loket, ada juga sebagian yang mengharuskan antrian satu-persatu. Bayangin dong, gimana seandainya ada satu-dua anggota keluarga yang nggak lolos imigrasi karena bingung ngejawab pertanyaan dari petugas imigrasi? Bubarlah itu agenda liburan bareng, secara nggak mungkin kita tinggalin member yang nyangkut? Nah, oleh karena itu sebaiknya biarkan para anggota keluarga terlebih dahulu mengantri paling depan di barisan dan menghadap petugas. Pastikan mereka semua lolos sebelum paspormu diperiksa petugas. Jadi kalo ada apa-apa kan kamu bisa maju ke depan untuk membantu menjawab.

Semoga bermanfaat yah 😀

IMG_5477

Papal Audiensi bareng Paus Fransiskus di Vatikan

Lapangan Basilika Santo Petrus Vatikan kian padat akan para pengunjung baik yang beragama Katholik maupun bukan, padahal acara baru akan dimulai satu jam lagi. Usai pemeriksaan tas dan jaket, saya bersama teman saya John melintasi gerbang detektor logam nggak jauh dari Pintu Perunggu (Bronze door). Pun kami berbaur dalam kerumunan, mencari spot strategis yang kira-kira memungkinkan untuk dilewati kendaraan Papa Francis, Pimpinan tertinggi umat Katholik.

Kursi-kursi yang tersedia hampir penuh terisi. Ratusan orang yang nggak kebagian tempat duduk–termasuk kami–harus puas berdiri di balik pagar pembatas. Ya, mestinya kami berangkat lebih pagi untuk memperoleh spot duduk yang ok, dekat dengan mimbar Papa Francis.

IMG_4411

Papal Audiensi adalah sebuah acara berkala (Umumnya dilangsungkan setiap hari Rabu. Jadwal bisa dilihat disini) yang digelar oleh pihak Tahta Suci Vatikan, dimana Sri Paus berinteraksi langsung dengan para pengunjung. Sri Paus akan bertegur sapa dengan para audiens. Jika beruntung, kendaraan sang Paus akan berhenti dan beliau akan turun untuk berbincang-bincang sekilas dengan para audiens yang berdiri di balik pagar pembatas.

Biasanya pengunjung dapat langsung hadir pada hari H ke alun-alun basilika dan berdiri bersama yang lainnya di balik pagar pembatas tanpa perlu mendaftarkan diri. Namun apabila pengunjung hendak duduk di salah satu bangku yang tersedia, pengunjuk terlebih dahulu mengambil tiket yang disediakan oleh para petugas yang berjaga di dekat pintu Perunggu (Bronze door) sehari sebelumnya mulai dari pukul 15.00 hingga 19.00. Tiket disediakan gratis (Untuk peserta lebih dari 10 orang diharuskan untuk membuat reservasi)

Tak lama terdengar suara riuh. John mendekatkan diri berbisik pada saya. “Papa Francisnya udah datang”.

“Eh mana?” Saya celingak-celinguk mencari keberadaan kendaraan Papa Francis. Sekian detik pertama saya nggak berhasil menemukan sumber sorak-sorai tersebut, hingga John kemudian berbisik lagi sambil menunjuk ke suatu arah, “Tuh di ujung sana.”

“Nggak keliataaaan.” Saya sampai menjinjit mencari tahu.

“Itu loh, yang pake topi putih. Tuh ada di monitor raksasa.”

Benar aja, di monitor raksasa nampak wajah Papa Francis diliputi oleh sumringah senyum lebar. Tangannya melambai-lambai seraya sesekali membentuk tanda salib dengan jemarinya pada beberapa anak kecil yang digendong oleh orang tuanya. Mata sejumlah orang dewasa juga terlihat berkaca-kaca, nggak sanggup menahan haru saat berada di dekat sang Paus.

“Duh kita salah nongkrong deh”, saya bergumam. “Harusnya kita masuk dari pintu sebelah sana.”

Setelah sekian menit bertegur sapa, papa Francis kembali menaiki kendaraannya. Kendaraan tersebut bergegas melintas ke satu dua titik lainnya. Sayang banget, mungkin bukan rejeki saya untuk bersalam-salaman apalagi ber-selfie dengan sang Paus. Kendaraan yang papa tumpangi nggak kunjung melewati  jalur tempat saya berdiri. Yahh, saya cuma bisa puas memelototi layar raksasa seraya mendengar teriakan-teriakan pengunjung di sisi lain 😦

Kendaraan tersebut tak lama kemudian berhenti di depan mimbar utama. Papa Francis, dituntun oleh salah seorang berjalan perlahan menaiki anak tangga. Di sebuah kursi cantik beratapkan tenda, papa Francis akhirnya duduk, meski masih melambaikan tangannya sesekali. Acara audiensipun resmi dimulai.

Demikian syahdu dan khusuknya audiensi berlangsung. Meski saya nggak paham dengan apa yang disampaikan papa Francis, namun senyumnya menyiratkan ketulusan yang kaya makna dan meneduhkan. Nggak heran kalo media menyebutnya “The Smiling Pope”, karena sedari muncul hingga akhir acara, nggak henti-hentinya senyum tersebut ia bagikan pada khalayak ramai.

IMG_4270

Sore sehari sebelumnya, kursi-kursi dipersiapkan untuk keesokan harinya

Audiensi berdurasi kurang lebih selama satu jam. Yang saya tangkap sih, acara sepertinya dibuka dengan pembacaan ucapan permohonan berkat oleh sejumlah perwakilan negara dalam bahasa yang berbeda-beda (kalo nggak salah bahasa Jerman, Belanda, Arab, Perancis, Spanyol, Mandarin dan Inggris). Lalu acara dilanjutkan dengan kotbah singkat papa Francis, dan ditutup oleh doa bersama yang dipimpin langsung juga oleh beliau.

Papa Francis adalah orang penting pertama di dunia yang akhirnya bisa saya jumpai secara langsung–nggak langsung-langsung banget sih, berhubung masih kepisah jarak juauuuhhh banget sama beliau, hihi. Walaupun saya sendiri bukan beragama Katholik, namun ada kebanggaan tersendiri bisa berkesempatan untuk bertatap muka dengan salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia.

Buat kamu-kamu yang kebetulan berkeinginan untuk mengunjungi Tahta Suci Vatikan, pastikan untuk nggak melewatkan kesempatan berharga ini, yah 😀 Sayang banget kan, udah jauh-jauh sampai sini tapi malah nggak ketemu sama beliau 🙂

VATICAN CITY, VATICAN - SEPTEMBER 18:  Pope Francis attends his weekly General Audience in St. Peter's Square on September 18, 2013 in Vatican City, Vatican. Pontiff  called on Catholics together with other Christians to continue to pray for peace in the most trouble parts of the world.  (Photo by Franco Origlia/Getty Images)

 

Foto di ambil dari sumber

Incredible Sahara (Maroko, Pintu Utara Afrika 3, End)

 

Minivan terus saja melaju. Perumahan-perumahan warga yang serba kotak kecoklatan di luar jendela perlahan semakin menjarang, berganti dengan dataran gersang yang sesekali beralih menjadi lembah-lembah berliku. Said sang pemandu wisata sudah mewanti-wanti sebelumnya bahwa perjalanan akan berlangsung sangat lama. Oleh karena itu para tante seisi mobil jenuh, mati gaya, kehabisan bahan obrolan karena perjalanan terasa begitu jauh. Semua hanya ingin lekas tiba di tujuan berikutnya, gurun Sahara.

Nama gurun ini sendiri sudah akrab melekat di telinga saya semenjak pelajaran IPS pada bangku SD silam. Nama gurun ini kemudian kembali menggaung ketika Anggun C Sasmi melantunkan balad merdu bertajuk “Snow in Sahara” pada debut internasionalnya. Dan setelah itu, gurun Sahara hanyalah sebatas “gurun nun jauh di Afrika sana” yang saya sendiri nggak pernah bermimpi untuk kunjungi (Jaman dulu masih tau diri aja sih, anak kampung begini mana mungkin bisa keluar negeri jauh-jauh sampai Afrika, hihi).

Menurut wikipedia, gurun Sahara adalah gurun pasir terluas di dunia. Membentang dari Samudra Atlantik hingga ke laut merah, gurun yang katanya berusia lebih dari dua juta tahun itu berukuran sekitar sembilan juta kilometer persegi. Kebayang dong kalo tiba-tiba kesasar di tengah gurun antah berantah -_-”

Singkat kata singkat cerita, tiga atau empat jam telah kami lalui dalam kantuk dan lara. Minivan berbelok melintasi jalanan berupa tanah kering berkerikil, menyusup di antara pemukiman warga yang berjauhan satu sama lain. Said, menoleh ke jok belakang sambil tersenyum mengatakan, “Ladies, selamat datang di Sahara…”

“Akhirnyaaa!!” Para tante melenguh panjang. Beberapa meregangkan otot-otot lengan dan kakinya yang kaku karena nggak memperoleh ruang gerak berlebih selama duduk berjam-jam di dalam mobil.

Begitu minivan berhenti, saya dan yang lainnya keluar. Nina sang operator tur dan Said melipir ke gedung resepsionis untuk mengatur reservasi penginapan. Sedangkan para tante yang tadinya lemah letih lesu saat terkurung di mobil langsung menyebar nggak karuan kesana kemari mencari spot foto ketjeh–seolah mendadak memperoleh ekstra doping. Kamera aneka ukuran dan merek langsung mencuat dari tas-tas mereka dan mereka siap berpose dalam berbagai gaya dengan berbagai angle dan di berbagai latar belakang. Yassalammmm -_-”

IMG_3919

The Kids of Sahara

Meski berhenti di sebuah penginapan Riadh (bangunan khas Maroko), malam ini kami nggak akan bermalam disana. Yap, kami bakalan digiring naik unta ke tengah-tengah gurun Sahara. Kami bakalan berkemah disana! Ketjeh banget nggak sih??

Setelah mengobrol panjang lebar dengan resepsionis yang kayaknya juga merangkap sebagai operator “Tur naik unta ke gurun pasir”, Nina dan Said keluar dari ruang resepsionis dan memanggil para tante haus selfie untuk berkumpul dan mendengarkan sekilas briefing. Tante-tante yang sudah menyebar dari ujung keujung dengan berat hati memasukkan kamera-kameranya ke dalam tas, meski beberapa masih sibuk foto-foto seraya mendengarkan penjelasan Nina, hihi.

Sebelum berangkat naik onta, kami memperoleh sejumlah kamar untuk meletakkan tas-tas kami–kami hanya perlu membawa satu-dua helai pakaian yang akan dikenakan saat menginap semalam di gurun. Selama sekitar satu jam, kamipun diberi kesempatan untuk bebersih di kamar masing-masing, berhubung di gurun bakalan susah mandi–katanya sih cuma ada WC dan wastafel.


Unta-unta berbulu mata lentik itu duduk berbaris, siap kami tunggangi. Berbekal satu tas mungil berisi sweater dan kamera, saya siap bertualang membelah sang gurun pasir yang mahadaya tersebut. Yap, meski berjudul gurun,  di Sahara terasa lumayan dingin pada akhir tahun. Angin yang bertiup lumayan bikin menggigil.

IMG_3928

Satu persatu, para peserta trip gurun Sahara naik ke atas punggung ontanya masing-masing. Satu-persatu pula setiap unta bangkit berdiri begitu jumlah penumpangnya lengkap terisi. Beberapa orang pemuda bersorban dan berbalut Djelaba (jubah khas Maroko) didaulat untuk memimpin serangkaian iringan unta yang jumlahnya empat sampai lima ekor.

Camel riding dimulai dari jalur tanah kering gersang berbatu selama sekian menit, sebelum kemudian medan berubah menjadi pure pasir kuning keemasan. Walaupun berjalan di atas hamparan pasir yang demikian halusnya, guncangan-guncangan begitu terasa dari atas punggung unta. Awalnya saya agak waswas dan berpegangan erat-erat pada handling yang tersedia. Wajar banget kalo gue khawatir cuyy, kaki unta kan jenjang banget! Kalo-kalo jatoh, tinggi banget bokk dari atas!

Untungnya, baik saya maupun para tante peserta tur lainnya perlahan-lahan mampu beradaptasi dengan goyang pinggul sang onta. Kami mulai bisa lepas tangan satu–bahkan dua–saat memfoto dan difoto. Perjalanan yang sejatinya berdurasi satu setengah jam lebihpun terasa singkat karena masing-masing sibuk merekam tapak demi tapak yang kami lalui.

Gundukan-gundukan pucuk kemah pun akhirnya nampak. Tur berkendara unta sudah usai dan kami tiba di penginapan yang sesungguhnya. Selayaknya musafir yang baru berkelana ribuan kilo jauhnya, kami begitu lega ketika mendapati barisan perkemahan menyambut kami. Kembali, dengan kompak dan berurutan para unta terduduk untuk mengijinkan para penunggangnya turun.

Perkemahan tersebut terdiri dari beberapa tenda. Ada tenda untuk para tamu beristirahat, ada tenda untuk para pekerja menyiapkan makan malam. Dan ada tenda utama yang merupakan tenda terbesar tempat semuanya berkumpul untuk menyantap jamuan makan malam. Lha trus petugasnya tidur dimana? Katanya sih bobo bareng unta, sambil berjaga-jaga.

Berjalan di atas gurun Sahara yang lembut membuat kaki saya sesekali terjerembab masuk. Pasirnya begitu dingin bagai serpihan es yang ditabur di permukaan kulit. Untung saja area di sekitar perkemahan berlapiskan karpet tebal yang lebar. Kami nggak perlu terlalu sering bersentuhan langsung dengan pasir-pasir beku tersebut.

Acara menginap malam itu  nggak hanya diisi dengan makan malam bersama, namun juga dimeriahkan oleh acara api unggun dan pertunjukan nyanyian gurun. Seusai memilih room mate dan tenda masing-masing, dan seusai mencicipi hidangan makan malam berupa salad Maroko, dan aneka rupa masakan Tajine (masakan yang dimasak dengan tungku dalam pinggan tanah liat bertudung kerucut), kami diajak duduk mengelilingi api unggun yang baranya kian memerah dan lidah apinya terus melalap kegelapan.

Para pelantun bernyanyi dengan nada yang begitu ritmik. Tabuhan gendang dan petikan gitar berpadu satu memecah keheningan malam. Dengan riang dan tanpa malu, kami menari bersama-sama, menikmati malam.

Sahara menjadi destinasi klimaks bagi saya, mengingat tujuan utama saya menjejak utara Afrika ya untuk merasakan serunya berkendara unta di Sahara. Terisolir dari segenap kehidupan semesta, berteman desir pasir berhamburan di sekeliling, beratap jutaan gugusan bintang di angkasa, Sahara becomes one of the sweetest escape bagi saya, dan mungkin bagi para tante. Sejenak kami akan menikmati sepotong malam dalam keterasingan, menjadi kecil laksana debu yang berterbangan di tengah luasnya samudra kesunyian…

IMG_4058IMG_4070

Previously in Maroko, Pintu Utara Afrika:

1. Wasswusss di Marakesh

2. Susur Pegunungan Atlas bersama Ibu-Ibu Sosialita

 

Plesir Singkat ke Philip Island, Australia

Mungkin udah banyak teman-teman yang mengenal Phillip island sebagai salah satu spot sirkuit Grand Prix. Pulau terdekat dengan Melbourne ini kebetulan baru aja didaulat menjadi tuan rumah ajang balap Moto GP paling bergengsi di dunia pada bulan Maret 2016 lalu.

Namun Phillip Island nggak cuma punya sirkuit balap loh. Banyak destinasi wisata yang nggak kalah ketjeh untuk disambangi. Tahun lalu, saat status saya masih seorang “turis” di Australia, saya berkesempatan mengunjungi pulau ini. Saya sengaja mereservasi paket tur satu hari, seharga 100 Dolaran berhubung keterbatasan waktu yang saya miliki, dan minimnya info kendaraan umum yang saya peroleh saat itu. Mahal sih, tapi mau gimana lagi… Akses situs wisata di Australia memang terkenal jarang terjangkau oleh kendaraan umum. Kalo kamu nggak punya kendaraan pribadi ya terpaksa membeli paket tur yang ditawarkan oleh sejumlah operator.

Sebuah bus menjemput saya nggak jauh dari penginapan. Bersama dengan serombongan turis lainnya, kami siap meninggalkan daratan utama Australia, menyebrangi jembatan menuju pulau di selatan Australia ini. Trip ini akan memakan waktu kurang lebih 11 jam, terhitung dari keberangkatan kami, durasi di tiap lokasi wisata dan perjalanan pulang.

Chocolate Factory

Pabrik yang disulap menjadi museum coklat ini menyuguhkan diorama proses pembuatan coklat, hingga patung dan lukisan yang terbuat dari coklat. Jangan lupa puaskan hasrat ngemilmu di pabrik coklat ketjeh ini. Kamu bisa berbelanja coklat aneka rupa dan aroma yang menggugah selera!

IMG_0832IMG_0840

Maru Koala and Animal Park

Kebun binatang yang disetting menyerupai taman alam terbuka ini memberikan kesempatan bagi para pengunjung untuk berinteraksi langsung dengan sejumlah fauna “tuan rumah” benua Australia. Disini nggak hanya berselfie ria dengan Kanguru, kamu juga bisa bercengkerama dengan Koala, Wallaby, Wombat, Keledai, burung unta dan beberapa spesies lainnya.

Esplanade

Pesisir pantai ketjeh ini cocok banget buat piknik, ataupun sekedar nongkrong-nongkrong cantik di kafe-kafe di sepanjang jalan utama. Nikmati desauan ombak yang menggelitik kaki di bibir pantai, ditemani sekawanan burung camar yang berterbangan di angkasa atau sesekali menghinggap di hamparan rerumputan hijau.

IMG_0882IMG_0896

The Nobbies

The Nobbies adalah obyek wisata yang membentang sepanjang pesisir pantai Ada beberapa view point menarik yang harus banget diabadikan oleh lensa-lensa kameramu disini. Ada Nobbies blowholes yang berupa ceruk batu karang yang menimbulkan suara menggema acap kali terhempas ombak. Ada puluhan, bahkan mungkin ratusan sarang penguin mungil khas selatan Australia. Dan jika beruntung, kamu bisa bertemu dengan koloni anjing laut yang asik bergosip di atas bebatuan karang, atau sejumlah paus yang sedang bermigrasi pada musim-musim tertentu.

IMG_0963IMG_0993

Penguin Parade

Parade Penguin adalah atraksi utama Phillip Island setelah sirkuit Moto GP. Saksikan betapa lucunya langkah-langkah mungil para penguin biru yang berparade kembali ke sarangnya masing-masing. Seolah dikomando, mereka berbaris rapi berjalan dalam kegelapan, sambil sesekali terhenti karena kebingungan ataupun ragu melangkah menanti teman-teman lainnya  Pada penguin parade ini, para penonton memiliki dua pilihan kursi, yakni menghadap langsung ke lepas pantai, atau duduk berdekatan dengan jalur pulang mereka (begitu dekatnya sehingga kamu bisa menyentuhnya andai aja nggak ada petugas yang berjaga, hihi).  Sayangnya sepanjang atraksi berlangsung, pengunjung nggak diperbolehkan  untuk mengeluarkan kamera untuk mengabadikan momen menggemaskan tersebut. Ya, atraksi tersebut hanya bisa direkam dalam ingatan 😦


Simak juga perjalanan seru teman-teman pejuang WHV lainnya dalam link berikut:

Efi Yanuar: Tenda dan Mobil sebuah Pelajaran Perjalanan

 

 

Kerja di Australia Itu… (Balada WHV di Australia part 2)

Merantau ke negara orang, terutama ke salah satu negara “muwaahall” di dunia itu tantangannya berasa dikuadrat berkali lipat! Terutama jika kamu bukan peraih beasiswa atau sedang tugas dinas yang disponsori orang lain. Nggak ada jatah bulanan yang mengalir cantik ke rekening pribadi untuk memenuhi kebutuhan harian. Kalau nggak kerja, ya nggak bisa makan atau bayar sewa tempat tinggal. Segala sesuatunya harus kamu afford sendiri.

Hari-hari awal di Sydney saya lalui dengan lumayan “nyesek di hati, nyesek di kantong”. Saat itu saya baru aja menuntaskan trip Spanyol-Roma-Maroko saya, sebelum kemudian langsung bertolak ke Australia untuk program WHV. Dengan nekad, saya berangkat ke Sydney, hanya berbekal uang 200 AUD.

Lo bukan lagi nekad, tapi lo udah gila cuyy!!

Bayangin aja, biaya sewa kamar paling murah di pusat kota itu berkisar antara AUD 120 seminggu (sekamar sharing dengan empat sampai enam orang loh! bukan private room of your own and just your self). Iya cuyy, cuma seminggu! Which is berarti sebulan kamu harus menyiapkan uang sebesar hampir lima juta rupiah hanya untuk tempat tidur kamu tiap malam. Belum  lagi untuk kebutuhan perut, sekali makan di luar bisa menghabiskan 8-12 AUD. Say bye-bye ke nasi warteg 15.000,- perak atau Mie ayam gerobakan 10.000-an.

Dan gue cuma bawa 200 dolar doang?? Ok, gue harus segera dapet kerjaan buat survive.

Cari kerja di Sydney ternyata gampang-gampang susah. Dibilang gampang ya karena kerjaan bertaburan dimana-mana. Juga saya anggap susah karena nggak semuanya menawarkan gaji sesuai dengan yang diharapkan. Tapi berhubung kondisi keuangan yang sangat menipis kala itu, mau nggak mau saya harus terima kerjaan dengan upah seberapapun demi menyambung hidup di bulan pertama.Guess what, gaji pertama yang ditawarkan pada saya adalah 13 AUD perjam, bayaran yang sangat minim untuk kota Sydney. Untungnya pak bos memberikan jam kerja 10 jam sehari (diselingin satu setengah jam break), jadi ya lumayan banget bagi saya–lumayan gajinya tapi lumayan capek mampus juga kerjanya.

Ya, dibanding Indonesia, ritme kerja disini sintingnya kelewatan! Ibaratnya, kerjaan dua-tiga orang dikerjakan sendirian. Saat itu saya melamar menjadi seorang kitchen hand alias babunya mas chef di sebuah Restoran Sushi.  Jobdesk saya hompimpahalaium segambreng, yakni mempersiapkan bahan yang diperlukan oleh mas chef, masak nasi dua gentong, bantuin mas chef masak, nyuci piring panci baskom container dan segenap perabot restoran, naik turun ke ruang storage untuk menyiapkan keperluan satu restoran dan nggak lupa buang sampah satu bin besar.

Rasanya nggak ada sedetikpun saya bisa leha-leha cantik atau minimal berhenti bergerak. Sambil nungguin masakan matang, saya cuci perabotan. Semua perabotan kelar dicuci tapi masakan belum juga matang, saya nyiapin stok dessert. Stok dessert kelar tapi masakan belum juga matang, saya nyiapin bahan-bahan lain. Bahan-bahan lain kelar disiapkan dan masakan matang, ya saya nyuci lagi karena cucian kembali numpuk. Dan seterusnya, dan seterusnya, siklusnya berputar begitu terus sampai 10 jam. Ketjeh ya? Tapi ya gitu deh, demi bisa makan ya mau nggak mau kerjaan seberat apapun kudu dijabani.

Baru dua minggu kerja di restoran tersebut, saya memutuskan untuk berhenti setelah gajian karena sejumlah alasan teknis (seperti gaji yang ternyata menurut beberapa pakar sangat under-paid untuk bobot kerja yang sedemikian sehingga). Saya pun mencari pekerjaan baru yang ternyata nggak kalah menguras tenaga (untungnya gaji yang ditawarkan sangat manusiawi dan masuk kategori “wajar”). Seminggu menganggur, saya kemudian diterima di sebuah airport hotel dekat rumah.

Kerjanya? Ya standar sih, ganti seprei dan sarung bantal, bebersih dan rapi-rapi kamar plus ngosek wc–kurang hina apalagi coba, sarjana lulusan salah satu kampus ketjeh di Indonesia ngosek wc di negara orang T_T). Belum lagi kerjaan ekstra yang frequentif (seminggu tiga kali) saya lakukan seorang diri. Menyusun sprei, handuk, keset dan sarung bantal yang baru dikirim dari laundri dan jumlahnya berkarung-karung (kayaknya sekali nyusun bisa 40an karung).

Ah gampang, ngeluarin seprei dll dari karung ke rak doang kan? Weitsss, gue belom selesai ngomong cuyyy! Judulnya aja kerjaan “ekstra”, berarti ada hal ekstra yang harus saya lakukan. Yapp, saya  harus memindahkan separuh dari 40an karung itu dari gudang lantai bawah ke lantai dua secara manual! Dipanggul pemirsa! Ya, dipanggul naik tangga! 20an karung berat saya bopong bulak balik naik tangga tiga lajur sendirian. Siksa apalagi yang Kau limpahkan pada hamba-Mu ini ya Tuhan T_T

Hari-hari pertama rasanya mau mati, literally mau mati. Saya benar-benar kehabisan energi, padahal kerjaan bebersih dan rapi-rapi kamar baru saja akan dimulai. Untungnya seiring waktu, saya mulai terbiasa mengangkut-angkut seprei-seprei itu tanpa harus terancam opname karena super kelelahan–seperti kata orang-orang, ‘ala bisa karena biasa’. Hal positif yang selalu saya tanamkan saat itu cuma, “Itung-itung ngegym gratis :D”

Ritme dan alur kerja di negara baru ini memang menjadi culture shock buat saya yang terbiasa “kerja nyantai” di Indonesia. Maklum, namanya juga mantan pegawai kantoran, alih-alih angkut barang berat, jemari-jemari cantik saya cuma terbiasa menari-nari di atas keyboard. Kaki yang biasa hanya menggelayut manja saat duduk di atas kursi seharian pun dipaksa berdiri dan terus bergerak kesana-kemari. Yang biasanya setiap kali kerja di kantor saya bisa ngopi-ngopi jelita sambil bergosip ria dengan teman-teman atau kulik-kulik ponsel sambil chatting, disini mah boro-boro deh. Keliatan lagi bengong sebentar aja langsung dipelototin sama bos.

Pernah ada kejadian kocak. Suatu kali ada moment dimana kafe tempat saya bekerja (Pindah kerja lagi cuy, hihi) benar-benar super sepi, nggak ada satupun pengunjung yang datang. Semua kerjaan saya kebetulan sudah tuntas dan saya bingung mau ngapain lagi. Karena nggak enak diliatin bos, saya langsung mengambil handuk kecil untuk melap meja-meja yang beberapa menit lalu udah dilap oleh teman saya yang ternyata sebenarnya juga sudah dilap oleh teman lainnya setengah jam sebelumnya. Yapp, saking nggak ada kerjaan dan pengen “keliatan” lagi kerja, meja yang udah dilap berkali-kali pun saya lap lagi, hihi. Piring dan gelas yang bersih pun nggak luput dari sasaran “pura-pura kerja” saya. Saya cuci lagi mereka sambil sesekali melirik bos yang tampak puas saat mengetahui saya sedang “sibuk” hihi.

***

Simak juga cerita-cerita ketjeh sesama pejuang WHV dengan topik “Culture Shock” nya masing-masing di mari:

Efi Yanuar dengan Menjadi Ratu di Negeri Orang

Hilal Abu Dzar Nahdi dengan Iiiiiih Tempat Pipisnya kok Gitu sih; Gegar Budaya (Culture Shock) di Australia

Meidiana Kusuma Wardhani dengan 10 Hal yang Kamu Perlu Tahu tentang Sydney-Australia

 

 

 

Surga Tersembunyi di kota Jakarta

 

Pesona Jakarta nampaknya masih menjadi daya tarik bagi warga daerah untuk dijadikan tempat berwisata. Kemacetan, Panas, Kepadatan aktifitas dan kendaraan dijakarta nampaknya tak menyurutkan para wistawan baik wisatawan local maupun mancanegara.

Tingkat pemesanan hotel dan tiket pesawat nyatanya masih tergolong cukup tinggi. Kemudahan mengakses informasi menjadi salah satu penunjang para wisatawan untuk memperoleh informasi tentang tempat wisata termasuk Jakarta. Ditambah lagi dengan banyaknya penawaran hotel murah dari Traveloka membuat orang semakin ingin berwisata ke Jakarta.

Jakarta tak hanya terkenal dengan kota tuanya yang menyejarah, atau monas nya yang berdiri gagah menjulang tinggi. Taman impian jaya ancol, dufan, sea world, atlantis, samudera, masih menjadi  primadona wisata di Jakarta. Namun ternyata Jakarta menyimpan pesona surga tersembunyi di dalamnya. Ialah pulau harapan.

traveloka1

Sumber foto:www.rusabawean.com

Pulau harapan merupakan pulau penduduk yang masih terlihat alami dan lebih tenang disbanding dengan pulau penduduk lainnya yang ada di kepulauan seribu. Kondisi alamnya masih terjaga dengan baik, sehingga pengunjung bisa menyaksikan puluhan spesies ikan maupun karang hias yang beraneka ragam .

Pulau harapan letaknya berdekatan dengan pulau wisata lainnya di kepulauan seribu seperti pulau pramuka atau pulau tidung. Untuk menuju ke pulau harapan diperlukan waktu minimal 3 jam menggunakan kapal laut yang berangkat dari dermaga kali adem, Jakarta utara. Letak pulau harapan yang dekat dengan bandara kepulauan seribu yaitu pulau panjang, membuat potensi wisata di pulau harapan sangat tinggi.

Spot snorkeling dan diving di pulau harapan terkenal dengan keindahan kehidupan biota bawah lautnya. Spot favorite tersebut salah satunya adalah di pulau macan gundul dan genteng kecil. Pulau tersebut terkenal dengan kejernihan airnya sehingga menjamin kualitas keindahan ketika pengunjung melakukan snorkeling dan diving.

traveloka2

Sumber foto :www.triptrus.com

Wisata bahari di surga tersembunyi kota jakarta pulau harapan akan sangat menyenangkan karena disana pengunjung akan diajak hoping island (berkunjung ke pulau-pulau kecil menggunakan sampan/tradinional boat). Pulau bira besar, pulau perak, dan pulau bulat adalah andalan ketika melakukan aktifitas hoping island.

Bermain Banana boat, adalah aktifitas lainnya yang pengunjung bisa lakukan di pulau harapan. Menyusuri tepi-tepi pulau yang indah dengan kejernihan airnya bersama teman-teman atau orang-orang tercinta sungguh menjadi moment indah saat berlibur.

Snorkeling, diving, hoping island, banana boat, ternyata pesona indahnya surga tersembunyi di kota Jakarta ini tak hanya sampai disitu, pulau harapan masih menyimpan keunikan dan keindahan wisata nya yang membuat para pengunjung ingin kembali mengunjunginya.

Taman biota laut, juga menjadi favorite di pulau harapan. Taman biota laut ini di inisiasi oleh departemen kehutanan dimana pengunjung dapat melihat pengembangbiakan penyu dan tanaman mangrove, jika berkunjung dalam waktu yang tepat biasa pengunjung diajak untuk menanam mangrove bersama.

Hal lain yang membuat pulau harapan selalu dirindukan adalah hutan mangrove. Disisi ujung pulau harapan dapat dijumpai hamparan tanaman mangrove disepanjang sisi pantainya. Lokasi ini termasuk salah satu lokasi favorite pengunjung untuk berfoto dan menyambut sunset di sore hari.

traveloka3

Sumber Foto :www.kompasiana.com

Taman terpadu, pulau harapan juga memiliki taman terpadu dimana bisa pengunjung gunakan untuk sekedar duduk santai sambil menikmati jajanan khas pulau harapan, yaitu cilung dan pempek. Cilung merupakan jajanan yang terbuat dari aci (sagu) dipadukan dengan tepung agar agar dan ketika dimasak dicampur telur sehingga bentuknya menyerupai telur gulung. Setelah itu dilapisi oleh abon dan saus cabai jika menyukai pedas. Harganya pun cukup murah Rp.5000 saja.  Sementara itu pempek di pulau harapan merupakan makanan cemilan dimana terbuat dari tepung dan komposisi ikannya yang cukup banyak sehingga rasa ikan akan sangat terasa di lidah. Cukup murah harganya Rp. 2000.

Tak hanya sampa disitu, menikmati jajanan sudah, berwisata bahari ke pulau harapan rasanya tak lengkap jika tak mencicipi seafood. Sea food bakar di pulau harapan masih sangat segar dan manis fresh from the ocean. Pengunjung hanya tinggal pesan menu seperti ikan, cumi, udang dan langsung diolah dan dibakar di depan homestay.

Malam hari dipulau harapan menjadi lebih asik menikmati angin pantai yang menyejukkan ditemani dengan minuman hangat atau mie instan di pinggir pantai. Ketenganan dan heningnya menghapus penat dari aktifitas padat di kesehariannya.

Berkunjung ke Surga tersembunyi di Jakarta Pulau harapan jangan hanya menjadi harapan, tak perlu merogoh kocek yang mendalam sudah bisa menikmati berwisata bahari di pulau harapan. Rata rata jasa travel mematok harga berkisar Rp. 350.000 untuk dua hari satu malem lengkap termasuk asuransi, guide, banana boat, home stay, makan dan snorkeling dan kapal feri PP. Biasanya jika jumlah orang lebih banyak harga bisa lebih murah.

Harga dapat berubah sewaktu-waktu

Jakarta yang hariannya kita gambarkan dengan segala kepadatan aktifitas dan kehidupannya ternyata menyimpann surga tersembunyi yang sangat indah bernama pulau harapan. Pualu yang indah menyimpan harapan yang indah. Terima kasih tuhan atas segal ciptaan dan keindahan yang kau berikan.

Tetap semangat agar bisa menyusuri surga-surga tersembunyi lainnya. See you.

Source. Traveloka

 

Siapa Suruh datang Australia? (Balada WHV part 1)

Nggak terasa yah ternyata saya sudah tinggal selama tiga bulan di Sydney. Dengan berbekal visa bekerja sambil berlibur yang berhasil saya peroleh dari pemerintah Australia, maka secara resmi kurang lebih satu tahun saya bebas melenggang keluar masuk benua kangguru dan bekerja mendulang pundi-pundi dolar kapanpun saya mau.

Ok, Kenapa Australia? Kenapa bukan negara yang lainnya?

Well, alasan teknisnya adalah hingga saat ini baru Australia negara satu-satunya yang mengijinkan warga negara kita tercinta nusantara untuk mengajukan permohonan aplikasi visa bekerja dan berlibur. Negara yang lain mah hanya mengijinkan kita untuk either punya visa bekerja atau visa liburan, nggak bisa combo keduanya.

Tetapi alasan yang paling utama kurang lebih begini… Saya sendiri sejak lama memang kepengin banget merasakan tinggal di negara orang. Maklum, namanya juga orang kampung, terkungkung di sebuah kota kecil membuat saya membangun impian besar. Australia was never in my mind before. Saya lebih memilih untuk tinggal di Perancis dengan segala gemerlap Paris, romantisme berikut sejuta cahayanya. Saya mati-matian kursus bahasa Perancis selama tiga tahun. Saya mengejar beasiswa sebanyak dua kali–yang kemudian ditolak berturut-turut dan membuat saya mendadak ilfil sama Perancis #sakit hati hahaha (nasib  kurang cerdas dan kurang sajen :()

Penolakan tersebut nggak lantas mengubur impian saya untuk merasakan “What is like to live outside Indonesia”. Saya sempat berangan-angan bersama sahabat saya untuk kabur ke Singapura dan diam-diam bekerja disana selama beberapa bulan. Saya juga mencari beberapa kemungkinan pekerjaan kantoran yang akan mengirim saya dinas keluar negeri sesering mungkin. Namun sayang seribu kali sayang, kayaknya Yang di Atas belum mengijinkan. Seolah pintu-pintu itu tertutup rapat. Saya malah hengkang dari Jakarta, kembali ke kampung untuk mengemban tugas keluarga dan mengurus usaha orang tua.

Yet God has another plan! Tahun lalu saya berkesempatan menjelajah beberapa kota di Australia dengan status pemegang visa Turis. Melalui teman saya yang lebih dahulu menjadi pejuang WHV saat itu, saya memperoleh banyak informasi seputar visa ketjeh tersebut, berikut pengalaman manis dan getir selama tinggal di Australia.

Oh my God, saya langsung mupeng! Cita-cita untuk merasakan serunya tinggal di luar negeri itu pun sontak berapi-api kembali.  Saya pun awalnya iseng mendaftar–walau iseng, tetep aja dong tiap hari ngecek jadwal interview sambil berharap nama saya segera muncul, hihi). Persyaratannya pun nggak terlalu ribet buat saya dan so far masih bisa diusahakan untuk dipenuhi. Saya ikuti prosedur yang diminta sampai akhirnya voila, permohonan visa saya dikabulkan. One full year Multiple Entry permit to work and holiday meluncur cantik di paspor saya.

Nahhhh, sekarang udah sampai di Australia, udah terwujud dong impian tinggal di negara orangnya. What next?

Namanye juga manusia yee, kagak ade puasnya! Begitu rencana pertama tinggal dan bekerja di luar negeri, other plans come up in mind.

  1. Hal utama yang membuat saya tertarik untuk tinggal sementara di Australia awalnya adalah mengeksplor negara-negara pulau di Pasifik (Fiji, Vanutu, Tonga, dll dkk). Kan kebetulan tetanggaan tuh Australia sama negara-negara tersebut. Tapi saya baru sadar, betapa ribetnya mengurus visa masing-masing negara–kecuali Fiji yang menerapkan VOA alias Visa on Arrival alias bisa bikin visa langsung di tempat dengan hanya membayar fee sejumlah tertentu. Belum lagi transportasi antar negara yang biayanya juauuuh lebih mahal ketimbang pindah-pindah negara di Eropa. Masa iya udah sampai di jantung Pasifik cuma mengunjungi satu negara. Duhh, this project terancam batal 😦
  2. Kepengin menulis buku ketiga tentang Australia (Berhubung saya kebetulan menulis serial perjalanan “I’m Not a Backpacker”, saya berniat mempersembahkan sebuah buku untuk pengalaman setahun di rantau orang ini). Tapi entahlah apakah bakalan terwujud nggak. Australia is a huge island. It’s a continent! Banyak hal menarik yang bisa dieksplor dan sayangnya destinasinya jauh-jauh dan minim transportasi murah.
  3. Selama tinggal di Australia, seperti para WHV-ers pada umumnya, saya bekerja gono-gini untuk mengumpulkan peser demi peser dolar. Nah begitu masa tinggal di Australia berakhir, rencananya saya kepingin ngetrip ke Amerika Selatan (Ini adalah my other biggest passion. Sudah lama banget saya  berangan-angan untuk mengunjungi negara latino-latina yang super seksi ketjeh ini.)

IMG_0023Parap Market di Darwin

So, kurang lebih demikianlah dirty little thing yang membuat saya pada akhirnya nyangsang terdampar di daratan kangguru sampai tahun depan. Intinya adalah, YOLO, You Only Live Once, dan WHV cuma bakalan hadir sekali seumur hidup elo–kecuali ada negara lain di masa mendatang yang juga membuka kesempatan WHV yah, hihi. Saya nggak mau ketika tua nanti impian “kampung” saya untuk tinggal di luar negeri nggak sempat terwujud dan membuat saya menyesal seumur hidup. Mumpung ada kesempatan, why not giving a try?

Ps. Baca juga yuk tulisan ketjeh teman-teman pejuang WHV lainnya disini:

  1. Irham Faridh Trisnadi, 5 Alasan Kenapa WHV di Australia
  2. Efi Yanuar, Merantau ke Australia
  3. Halil Abu Dzar Nahdi, Kenapa ke Australia, Lal?
  4. Rijal Fahmi Muhammad, Kenapa Saya Memilih Work and Holiday ke Australia
  5. Meidiana Kusuma Wardhani, Kenapa Pilih Tinggal 1 Tahun di Australia