Minivan terus saja melaju. Perumahan-perumahan warga yang serba kotak kecoklatan di luar jendela perlahan semakin menjarang, berganti dengan dataran gersang yang sesekali beralih menjadi lembah-lembah berliku. Said sang pemandu wisata sudah mewanti-wanti sebelumnya bahwa perjalanan akan berlangsung sangat lama. Oleh karena itu para tante seisi mobil jenuh, mati gaya, kehabisan bahan obrolan karena perjalanan terasa begitu jauh. Semua hanya ingin lekas tiba di tujuan berikutnya, gurun Sahara.
Nama gurun ini sendiri sudah akrab melekat di telinga saya semenjak pelajaran IPS pada bangku SD silam. Nama gurun ini kemudian kembali menggaung ketika Anggun C Sasmi melantunkan balad merdu bertajuk “Snow in Sahara” pada debut internasionalnya. Dan setelah itu, gurun Sahara hanyalah sebatas “gurun nun jauh di Afrika sana” yang saya sendiri nggak pernah bermimpi untuk kunjungi (Jaman dulu masih tau diri aja sih, anak kampung begini mana mungkin bisa keluar negeri jauh-jauh sampai Afrika, hihi).
Menurut wikipedia, gurun Sahara adalah gurun pasir terluas di dunia. Membentang dari Samudra Atlantik hingga ke laut merah, gurun yang katanya berusia lebih dari dua juta tahun itu berukuran sekitar sembilan juta kilometer persegi. Kebayang dong kalo tiba-tiba kesasar di tengah gurun antah berantah -_-”
Singkat kata singkat cerita, tiga atau empat jam telah kami lalui dalam kantuk dan lara. Minivan berbelok melintasi jalanan berupa tanah kering berkerikil, menyusup di antara pemukiman warga yang berjauhan satu sama lain. Said, menoleh ke jok belakang sambil tersenyum mengatakan, “Ladies, selamat datang di Sahara…”
“Akhirnyaaa!!” Para tante melenguh panjang. Beberapa meregangkan otot-otot lengan dan kakinya yang kaku karena nggak memperoleh ruang gerak berlebih selama duduk berjam-jam di dalam mobil.
Begitu minivan berhenti, saya dan yang lainnya keluar. Nina sang operator tur dan Said melipir ke gedung resepsionis untuk mengatur reservasi penginapan. Sedangkan para tante yang tadinya lemah letih lesu saat terkurung di mobil langsung menyebar nggak karuan kesana kemari mencari spot foto ketjeh–seolah mendadak memperoleh ekstra doping. Kamera aneka ukuran dan merek langsung mencuat dari tas-tas mereka dan mereka siap berpose dalam berbagai gaya dengan berbagai angle dan di berbagai latar belakang. Yassalammmm -_-”
The Kids of Sahara
Meski berhenti di sebuah penginapan Riadh (bangunan khas Maroko), malam ini kami nggak akan bermalam disana. Yap, kami bakalan digiring naik unta ke tengah-tengah gurun Sahara. Kami bakalan berkemah disana! Ketjeh banget nggak sih??
Setelah mengobrol panjang lebar dengan resepsionis yang kayaknya juga merangkap sebagai operator “Tur naik unta ke gurun pasir”, Nina dan Said keluar dari ruang resepsionis dan memanggil para tante haus selfie untuk berkumpul dan mendengarkan sekilas briefing. Tante-tante yang sudah menyebar dari ujung keujung dengan berat hati memasukkan kamera-kameranya ke dalam tas, meski beberapa masih sibuk foto-foto seraya mendengarkan penjelasan Nina, hihi.
Sebelum berangkat naik onta, kami memperoleh sejumlah kamar untuk meletakkan tas-tas kami–kami hanya perlu membawa satu-dua helai pakaian yang akan dikenakan saat menginap semalam di gurun. Selama sekitar satu jam, kamipun diberi kesempatan untuk bebersih di kamar masing-masing, berhubung di gurun bakalan susah mandi–katanya sih cuma ada WC dan wastafel.
Unta-unta berbulu mata lentik itu duduk berbaris, siap kami tunggangi. Berbekal satu tas mungil berisi sweater dan kamera, saya siap bertualang membelah sang gurun pasir yang mahadaya tersebut. Yap, meski berjudul gurun, di Sahara terasa lumayan dingin pada akhir tahun. Angin yang bertiup lumayan bikin menggigil.
Satu persatu, para peserta trip gurun Sahara naik ke atas punggung ontanya masing-masing. Satu-persatu pula setiap unta bangkit berdiri begitu jumlah penumpangnya lengkap terisi. Beberapa orang pemuda bersorban dan berbalut Djelaba (jubah khas Maroko) didaulat untuk memimpin serangkaian iringan unta yang jumlahnya empat sampai lima ekor.
Camel riding dimulai dari jalur tanah kering gersang berbatu selama sekian menit, sebelum kemudian medan berubah menjadi pure pasir kuning keemasan. Walaupun berjalan di atas hamparan pasir yang demikian halusnya, guncangan-guncangan begitu terasa dari atas punggung unta. Awalnya saya agak waswas dan berpegangan erat-erat pada handling yang tersedia. Wajar banget kalo gue khawatir cuyy, kaki unta kan jenjang banget! Kalo-kalo jatoh, tinggi banget bokk dari atas!
Untungnya, baik saya maupun para tante peserta tur lainnya perlahan-lahan mampu beradaptasi dengan goyang pinggul sang onta. Kami mulai bisa lepas tangan satu–bahkan dua–saat memfoto dan difoto. Perjalanan yang sejatinya berdurasi satu setengah jam lebihpun terasa singkat karena masing-masing sibuk merekam tapak demi tapak yang kami lalui.
Gundukan-gundukan pucuk kemah pun akhirnya nampak. Tur berkendara unta sudah usai dan kami tiba di penginapan yang sesungguhnya. Selayaknya musafir yang baru berkelana ribuan kilo jauhnya, kami begitu lega ketika mendapati barisan perkemahan menyambut kami. Kembali, dengan kompak dan berurutan para unta terduduk untuk mengijinkan para penunggangnya turun.
Perkemahan tersebut terdiri dari beberapa tenda. Ada tenda untuk para tamu beristirahat, ada tenda untuk para pekerja menyiapkan makan malam. Dan ada tenda utama yang merupakan tenda terbesar tempat semuanya berkumpul untuk menyantap jamuan makan malam. Lha trus petugasnya tidur dimana? Katanya sih bobo bareng unta, sambil berjaga-jaga.
Berjalan di atas gurun Sahara yang lembut membuat kaki saya sesekali terjerembab masuk. Pasirnya begitu dingin bagai serpihan es yang ditabur di permukaan kulit. Untung saja area di sekitar perkemahan berlapiskan karpet tebal yang lebar. Kami nggak perlu terlalu sering bersentuhan langsung dengan pasir-pasir beku tersebut.
Acara menginap malam itu nggak hanya diisi dengan makan malam bersama, namun juga dimeriahkan oleh acara api unggun dan pertunjukan nyanyian gurun. Seusai memilih room mate dan tenda masing-masing, dan seusai mencicipi hidangan makan malam berupa salad Maroko, dan aneka rupa masakan Tajine (masakan yang dimasak dengan tungku dalam pinggan tanah liat bertudung kerucut), kami diajak duduk mengelilingi api unggun yang baranya kian memerah dan lidah apinya terus melalap kegelapan.
Para pelantun bernyanyi dengan nada yang begitu ritmik. Tabuhan gendang dan petikan gitar berpadu satu memecah keheningan malam. Dengan riang dan tanpa malu, kami menari bersama-sama, menikmati malam.
Sahara menjadi destinasi klimaks bagi saya, mengingat tujuan utama saya menjejak utara Afrika ya untuk merasakan serunya berkendara unta di Sahara. Terisolir dari segenap kehidupan semesta, berteman desir pasir berhamburan di sekeliling, beratap jutaan gugusan bintang di angkasa, Sahara becomes one of the sweetest escape bagi saya, dan mungkin bagi para tante. Sejenak kami akan menikmati sepotong malam dalam keterasingan, menjadi kecil laksana debu yang berterbangan di tengah luasnya samudra kesunyian…
Previously in Maroko, Pintu Utara Afrika:
1. Wasswusss di Marakesh
2. Susur Pegunungan Atlas bersama Ibu-Ibu Sosialita