Air Terjun Cunca Wulang Sebelum Pulang (Pulang ke Flores, part 8-End)

Hari ini genap 10 hari saya bersama Biru bertualang di separuh tanah Flores. Dimulai dari Labuan Bajo, bermalam sejenak di Bajawa, merasakan kehangatan keluarga masyarakat lokal di Riung, kedinginan di Moni, mampir di Ende, dan akhirnya kembali ke Labuan Bajo untuk bersilahturahmi ke pulau Komodo. Dengan demikian, sudah saatnya kami meninggalkan Flores, sesuai jadwal yang tertera di itinerari kami.

Namun sebelum pulang, kami ingin menutup perjalanan kami di Flores dengan mengunjungi air terjun Cunca Wulang, salah satu spot wisata wajib mampir. Untuk mengakses ke lokasi, kami sepakat untuk menyewa sebuah mobil pick up (bak terbuka) seharga IDR 150.000,-. Saya, Biru, bang Andi, mbak Anggi, Didi, dan Steve (kenalan Didi di hotel) dijemput oleh sopir pick up sekitar setengah tujuh pagi. Maklum, kami harus berangkat pagi-pagi sekali karena selain pagi-pagi biasanya lokasi wisata pasti tidak terlalu ramai pengunjung, penerbangan kami pada pukul 1 siang mewajibkan kami untuk tiba di bandara sebelum jam 12.

CIMG2842

Biru, Bang Andi, Didi dan Steve

Kami sudah berada di atas bak belakang, sedangkan mbak Anggi duduk manis di samping pak sopir yang sedang mengemudi. Labuan Bajo di pagi hari yang ternyata lumayan dingin, disertai oleh hembusan angin karena kecepatan mobil yang cukup tinggi. Perjalanan kami tempuh sekitar satu jam. Melewati beberapa kelok yang menanjak dan menurun, kami disuguhkan pemandangan Labuan Bajo yang masih sangat alami. Hutan, gunung, pemukiman, pekarangan dan sesekali lembah curam memanjakan mata kami. Beberapa anak kecil yang kami lewati pun tersenyum dan menyapa kami dengan hangat.

Setelah mobil berjalan agak jauh, mobilpun berhenti sebentar di depan sebuah rumah. Salah seorang laki-laki ikut naik ke atas bak. Awalnya saya bingung, kenapa bisa ada orang menumpang juga, padahal mobil ini sedang kami carter. Ternyata usut punya usut, beliau adalah tour guide yang akan mengantarkan kami menuju air terjun.

Mobil berbelok menuruni sebuah jalan yang tidak beraspal. Dan tak lama kemudian, mobil berhenti di suatu area. Si bapak tour guide memberitahukan bahwa kami sudah sampai. Saya dan yang lain turun dari bak mobil, mengamankan tas-tas kami di dalam mobil, lalu siap melakukan trekking menuju air terjun.

Perjalanan di awal terasa sangat ringan. Bagaimana nggak, kami terus saja menuruni hutan hingga ke dasarnya tanpa melakukan pendakian yang berarti. Namun demikian, saya mulai merasa was-was, pasti pulangnya bakal menjadi pendakian yang luar biasa melelahkan.

Ranting-ranting dan batang pepohonan kami tembus sekitar kurang lebih setengah jam sebelum akhirnya kami tiba di dasar hutan. Kami telusuri aliran sungai-sungai kecil yang akhirnya menghantar kami ke sebuah kolam yang tidak terlalu lebar namun kelihatan sangat dalam yang dihimpit oleh bebatuan besar di kanan-kirinya. Bapak tour guide meminta kami untuk terus mengikutinya hingga ke ujung bebatuan besar tersebut. Dan disanalah dapat kami jumpai, air terjun Cunca Wulang yang bergemericik deras.

Untuk melihat lebih dekat lagi, kami harus sedikit memanjat ke atas, ke spot paling puncak. Dengan semangat (berhubung stamina kami masih belum begitu terkuras), kami memanjat permukaan tanah yang terjal dan semakin mendaki. Pendakian tidak memakan waktu terlalu lama, dan kami langsung menemukan spot cantik untuk mengabadikan foto air terjun Cunca Wulang.

CIMG2849

CIMG2851

CIMG2854

CIMG2867

CIMG2873

CIMG2875 CIMG2881

Dinamakan air terjun Cunca Wulang karena keberadaan kolam berbentuk bulan bulat penuh yang ada di tengah-tengah air terjun.

CIMG2889 CIMG2887

CIMG2891

Kami leyeh-leyeh sebentar, menikmati pemandangan di sekitar kami. Desauan aliran sungai kecil, semburan air terjun yang deras, desisan pepohonan yang daunnya bergemerisik membuat kami terlena sesaat. Kalau saja nggak ingat saya dan Biru ada flight jam 1, mungkin kami akan betah berlama-lama disini. Setelah merasa cukup puas berleha-leha di atas bebatuan dan bermain air, kami meninggalkan puncak air terjun.

Medan trekking pulang sesuai dugaan, lumayan membuat tepar, kami terus-menerus mendaki ke atas, walau sesekali berhenti untuk beristirahat.  Kaki saya sudah hampir mau patah, keringat mengucur deras dan lengan kanan nggak sengaja tersenggol ulat bulu sehingga rasanya perih-perih gatal. Saya, mba Anggi, mas Andi dan bapak tour guide tertinggal paling belakang karena paling lambat jalannya, sedangkan Biru, Steve dan Didi sudah lebih dulu berjalan jauh meninggalkan kami yang kerap terengah-engah.

Setelah hampir satu jam pendakian yang–buat saya–super melelahkan tersebut, akhirnya saya melihat penampakkan mobil kami tidak jauh dari saya berada. Menggunakan sisa tenaga saya, saya mempercepat langkah mendaki ke atas agar segera bisa tiba di mobil dan beristirahat. Dari kejauhan, terlihat Biru, Steve dan Didi sedang terkapar di atas bak mobil–sepertinya mereka juga sama-sama kelelahan.

Begitu menjejaki jalanan dekat mobil terparkir, rasanya saya baru saja memenangkan sesuatu. Saya langsung meminta botol air untuk diminum dan menuangkan sedikit di lengan tempat bekas bulu-bulu si ulat bulu menempel. Sambil duduk di atas batang kayu, saya luruskan kaki saya dan mengatur nafas yang sudah putus-nyambung. Tak lama, muncul sisa grup yang tertinggal, mbak Anggi dan mas Andi yang penuh dengan peluh keringat di sekujur tubuhnya. Kami beristirahat sejenak sebelum kemudian melanjutkan perjalanan.

Karena semuanya kelaparan, mbak Anggi mengusulkan agar mampir sejenak di rumah bapak tour guide dan sarapan disana (patungan sejumlah uang untuk membeli mi instan dan beberapa bahan untuk diserahkan pada bapak tour guide). Semuanya pun setuju dan menyerahkan uang patungan kepada mbak Anggi. Mbak Anggi mengobrol sebentar dengan pak tour guide untuk membahas ide sarapan tersebut. Pak tour guide tidak keberatan dan menerima uang patungan kami. Tanpa membuang waktu lagi, kami meninggalkan hutan menuju rumah pak tour guide.

Sebentar, mobil berhenti di suatu persimpangan jalan untuk menurunkan pak tour guide yang membelikan bahan makanan untuk sarapan. Saya sempat memotret sebuah truk besar yang baknya disekat-sekatkan papan sebagai tempat duduk. Kata Biru, truk ini adalah salah satu moda transportasi di Flores (saya jadi penasaran dan ingin naik. pasti seru kalau naik transportasi ini).

CIMG2895

Pak tour guide selesai berbelanja, membawa sekantung plastik mie instan dan beberapa butir telur. Mobil melaju lagi menuju perhentian berikutnya, rumah pak tour guide. Pak tour guide menyilahkan kami masuk ke dalam rumahnya yang sederhana namun sangat hangat. Senyum keluarga pak tour guide menyambut kami saat kami memasuki ruang tamu rumah dan beberapa gelas teh manis disuguhkan untuk kami.

Sembari menunggu sarapan siap, kami berfoto-foto sejenak untuk mengabadikan momen terakhir kebersamaan kami di Flores, mengingat setelah ini, saya harus kembali ke Lampung, Biru ke Karawang, mbak Anggi dan mas Andi ke Jakarta, Didi ke Belgia dan Steve ke London. Kami yakin, pertemuan ini bukanlah untuk pertama dan terakhir kalinya. Akan ada suatu saat dimana kami akan bertemu kembali dan melakukan perjalanan bersama-sama lagi.

CIMG2900

Bagi saya pribadi, Flores adalah rumah kedua yang selalu membuat saya ingin “pulang” setiap kali ada kesempatan. Kehangatan dan penerimaan Flores serta warganya yang saya rasakan selama perjalanan hampir dua minggu ini akan selalu terkenang dan membuat saya kangen. Saya harap suatu saat saya bisa mengunjungi pulau ini lagi dan mengeksplor daerah lain yang masih belum sempat saya jejaki.

Sampai ketemu lagi Flores…

Sailing Komodo, a Simple Footprints (Pulang ke Flores, part 7)

Project: Sailing Komodo 2012

Time:  September, 19th-20th

Target:

  • Rinca Island
  • Komodo Island
  • Pink Beach
  • Manta Point
  • Bidadari Island

Members:

Itinerary:

September, 19th

  • 01.00 PM

CIMG2714

On the way from Kanawa Island to Rinca

CIMG2717

Waiting for the lunch served

CIMG2712

Lunch Time!!

  • 02.30 PM

CIMG2723

Arrived at Rinca Island and Photo Session in front of the welcome gate

CIMG2734

Rawrrrr!! the Komodo

CIMG2765

Here comes the lazy lizard

CIMG2745

Gorgeous view behind me

CIMG2775

Leaving Rinca

  • 07.30 PM

CIMG2780

Dinner Time!!

  • 08.30

CIMG2783

Nitey nite, everybody, sleep tight ^_^ (Sleeping on the boat)

September, 20th

  • 07.30

CIMG2790

After short breakfast, we are so ready to explore Komodo island

 

CIMG2795

Pssstt!! dont make any noise!

CIMG2805

The new Sulphurea Hill board… i still love the old one that i saw last January

CIMG0580

The old board of the Sulphurea Hill

CIMG2814

Trekking along the Savanna

CIMG2828

Taking the picture with the Komodo

CIMG2831

Handicraft vendors

CIMG2833

Say bye bye to the Komodo Island

  • 11.oo AM

252399_4487732041805_1162699116_n

Hunting Manta fish at Manta Point

252399_4487731961803_913350925_n

It’s hard to get a closer pic

  • 01.00 PM

527635_4487145147133_425094980_n

Mba Anggi and Pink Beach

271156_4487243869601_1884662142_n

Pink beach and the Pink sand (and the pink coral)

  • 02.00 PM

Bidadari Island, Snorkelling again

424693_4487829524242_1063316350_n

View in Bidadari Island

406457_4487216108907_2037457162_n

Snap Snap Snap!!

  • 04.00 PM: The Sailing project is terminated…

*******************************************************************************

Ps.

  1. Thanks to Mba Anggi for lending the awesome pictures in Manta Point, Pink Beach and Bidadari Island
  2. Untuk informasi mengenai catatan perjalanan lebih lanjut ke pulau Komodo, teman-teman bisa membuka link perjalanan pertama saya Januari 2011 lalu melalui https://sayaminggatdulu.wordpress.com/2012/05/16/komodo-my-first-seven-wonders-of-nature-1/

Escaping to Kanawa Island (Pulang ke Flores, part 6)

Setelah 8 jam perjalanan kami tempuh dari Ende menuju Labuan Bajo dan beristirahat cukup kemarin, pagi ini stamina kami kembali terisi penuh. Hari ini agenda kami adalah menginap di pulau Kanawa. Pukul 12 siang, bersama tamu-tamu bule lainnya, kami sudah stand by di teras kantor Kanawa Resort menunggu keberangkatan dengan kapal yang mereka sediakan tanpa dipungut biaya.

Tak lama, salah seorang karyawan resort memanggil kami agar mengikutinya berjalan menuju pelabuhan. Jarak dari kantor resort menuju pelabuhan hanya memakan waktu 10 menit berjalan kaki. Di dermaga, sebuah kapal kecil telah menanti kami, bersama dengan beberapa awak yang sedang sibuk memasukkan beberapa bahan pokok untuk dikirimkan ke pulau.

CIMG2594 CIMG2592

Kapalpun berangkat begitu semua penumpang dan barang-barang masuk ke dalam kapal. Kami menikmati 45 menit perjalanan kami diombang-ambingkan oleh ombak. Pemandangan di kanan kiri mengingatkan saya akan perjalanan ke pulau Komodo bulan Januari lalu. Pada saat itu pulau-pulau berbukit yang saya lihat sekarang tidak sekuning dan segersang itu. Pulau-pulau tersebut tampak sangat subur kehijauan dikarenakan oleh musim penghujan.

Kapal melambat ketika sudah mulai dekat dengan pulau Kanawa. Dari jauh pun dapat saya saksikan betapa jernihnya air laut disekeliling kami. Saya bahkan bisa melihat karang-karang yang berada di dasar. Semakin merapat dengan dermaga, semakin banyak kami jumpai ikan-ikan berkeliaran disana sini. Wajar saja apabila–menurut artikel yang sempat saya baca–kita bahkan tidak perlu terjun langsung ke dalam air dan snorkelling.

CIMG2604 CIMG2608

Satu-persatu, para penumpang turun dari kapal, begitu pula saya dan Biru. Sebentar kami mengambil gambar sebelum berjalan mengikuti yang lainnya menuju resepsionis. Ruang resepsionis menyatu dengan sebuah kafe bernama Star Kafe yang letaknya agak ke tepian kanan dari jembatan. Setelah cek in, sala seorang karyawan resort mengantarkan kami menuju tenda yang kami sewa. Awalnya kami nggak terlalu berharap banyak dengan tenda seharga IDR 150.000,- untuk berdua. Tetapi begitu kami diperhadapkan dengan tenda kami, mata saya sedikit terbelalak. Ternyata tenda kami jauh dari yang saya perkirakan.

Tenda kami beratapkan ijuk, sehingga suasana di dalam tenda tetap sejuk (saya pikir kami akan kepanasan di dalam tenda). Di dalam tenda pun dilengkapi dengan bantal, matras empuk dan selimut. Saya membayangkan tidur malam nanti pasti lumayan nyenyak.

CIMG2613

Kamar mandi umum

Bergantian, saya dan Biru bersih-bersih di kamar mandi umum yang letaknya tidak jauh dari tenda kami. Kamar mandinya pun di luar perkiraan kami. Dalam pondok kamar mandi umum terdapat dua buah bilik kamar mandi dan 6 bilik toilet duduk. Mandi pun kami menggunakan pancuran dari bambu (kurang lebih seperti pancuran keran cuci tangan di depan, namun terletak agak tinggi).

Begitu Biru selesai mandi, kami meninggalkan tenda kami, berjalan menyusuri ruas pantai. Air laut yang sejernih kristal dan pasir pantai yang putih seolah menghipnotis kami untuk tidak bergeming memandanginya. Sesekali kami jumpai ikan-ikan kecil dan bintang laut yang bertebaran di beberapa tempat. Ombak berkali-kali menggelitik kaki kami, seakan menggoda kami untuk segera menghempaskan diri ke air.

CIMG2610 CIMG2637

Menjelang senja, setelah puas berenang dan bilas di kamar mandi, Biru berinistiatif untuk menikmati sunset dari atas bukit, sedangkan saya memilih untuk menikmatinya di tepian pantai. Senja yang cantik lagi-lagi membuat saya menahan napas dan berdecak mengaguminya…

CIMG2670

Mentari pun tenggelam dan langit kian gelap. Saya bergegas menuju ruang makan terbuka di tengah hamparan pasir pantai. Suasananya sangat romantis (sayangnya saya kemari dengan Biru saat itu T_T) karena meja dan kursi ditata mengelilingi sebatang pohon yang digantungi lampu-lampu lampion. Beberapa pengunjung sudah men-tag meja-meja kosong, dan sayapun kebagian salah satu meja yang tersisa.

CIMG2684 CIMG2688

Setengah jam kemudian Biru datang dan bergabung dengan saya di meja. Kami makan malam dan menghabiskan waktu mengobrol hingga pukul 21.00 dan beberapa lampu di sekitar pantai sudah mulai dimatikan. Beberapa tamu lain pun mulai meninggalkan ruang makan menuju ke bungalownya masing-masing, sedangkan kami kembali ke tenda kami yang walaupun kecil namun sangat nyaman.

Sebelum beranjak dari ruang makan (karena hanya di dekat ruang makan, saya bisa mudah mendapatkan sinyal telpon genggam), saya menghubungi salah satu teman saya, mba Anggi mengenai kepastian kedatangannya besok ke Labuan Bajo untuk bergabung bersama saya dan Biru bersama-sama melakukan Sailing Komodo. Saya meminta agar Mba Anggi mengatur temu janji dengan teman bule saya yang satu lagi (Bernama Didi yang kebetulan juga berminat untuk bergabung dalam trip Komodo esok) dan pemilik kapal sewaan kami di suatu spot.  Saya juga meminta mba Anggi agar menjemput saya dan Biru di pulau Kanawa sebelum memulai tur kami.

Taman Renungan Bung Karno, Ende (Pulang ke Flores, Part 5)

Pancasila!!

Satu… Ketuhanan yang Maha Esa…

Dua… Kemanusiaan yang adil dan beradab…

Tiga… Persatuan Indonesia…

Empat… Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan…

Lima… Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia…

Tentunya kita hafal dengan lima sila Pancasila yang saya sebutkan di atas. Kita masih ingat pada masa sekolah dulu, ke lima dasar negara kita ini nggak pernah absen digaungkan setiap upacara bendera. Sesuai prosedur tata laksana upacara, kita diwajibkan untuk menyerukan ulang satu demi satu sila yang diucapkan oleh pembaca Pancasila.

Di sekolah, tepatnya pada pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ataupun pelajaran Sejarah, kita juga mempelajari bagaimana sejarah terbentuknya Pancasila, bagaimana Pancasila dirumuskan oleh kesepakatan beberapa tokoh seperti Ir. Soekarno, Muhammad Yamin, dan tokoh-tokoh dari Indonesia Timur (Sam Ratulangi, Latu Harhary dll), dan bagaimana Pancasila sempat mengalami beberapa kali revisi atas isinya. Namun jarang yang tahu bagaimana embrio Pancasila itu lahir, termasuk saya pada awalnya, sebelum saya mengunjungi sebuah taman bernama Taman Renungan Bung Karno di kota Ende.

Yap, setelah hampir dua jam saya duduk manis di dalam bus yang meluncur ke Ende, dan beberapa menit kepanasan di dalam angkot, akhirnya saya menjejakkan kaki di sebuah taman. Tidak ada yang terlalu istimewa dari taman ini, karena taman ini tampak seperti taman kota pada umumnya. Namun apabila seseorang mengetahui sebuah momen kecil yang sempat terjadi disini, maka mereka pasti mengerti betapa taman ini sarat akan nilai sejarah yang luar biasa.

Pada tahun 1934-1938, Bung Karno sempat diasingkan ke Ende oleh pemerintahan Hindia-Belanda karena dianggap terlalu provokatif dan berpotensi memicu aktivitas politik yang  membahayakan keberadaan pemerintahan Hindia-Belanda. Dikisahkan, bung Karno suka sekali berjalan-jalan sore ke sebuah lapangan yang bernama Perse. Di sini bung Karno banyak menghabiskan waktunya untuk merenung di bawah sebuah pohon Sukun yang rindang. Suatu ketika, saat bung Karno melakukan rutinitas perenungannya, entah ada angin apa yang membuatnya memperhatikan lebih lanjut akar lima cabang dari pohon Sukun tersebut. Dan dari hasil perenungannya inilah, lahirlah sebuah ide perumusan 5 sila pancasila yang nantinya dijadikan bahan pidato dan dirumuskan bersama-sama dengan tokoh lainnya menjadi Pancasila yang kita kenal sekarang.

Di taman ini, saya sempat duduk di bawah pohon Sukun yang dimaksud (ditandai dengan pagar semen bercat merah muda dan putih yang terletak di belakang patung bung Karno). Selain mengambil foto, saya juga berharap, mendadak ada sebuah ide brilian yang sama “epic”nya dengan Pancasila timbul di kepala saya–sayangnya yang muncul di kepala saya adalah, saya lapar…)

Tidak jauh dari taman, terlihat sepotong pemandangan dermaga. Saya dan Biru pun berinisiatif kesana nanti untuk menikmati sunset. Namun pekerjaan pertama yang harus kami lakukan adalah mencari penginapan. Kami melangkah keluar dari taman untuk terlebih dahulu mengisi bahan bakar perjalanan, alias makan siang.

Kami memasuki sebuah warung tenda sederhana yang menjual gado-gado dan pecel. Penjualnya ternyata adalah orang yang berasal dari tanah Jawa yang tumbuh besar di Bajawa–wajar apabila walaupun wajahnya sarat akan guratan khas wajah Jawa, namun logatnya sudah kental khas logat Flores. Kami memesan dua piring pecel seharga IDR 8.000,- (dengan porsi lumayan mengenyangkan).

Saya, Wempy dan si mbak penjual pecel

Seraya menunggu si mbak-mbak selesai meracik pecel, kami berkenalan dengan seorang pemuda asli Ende yang bernama Wempy. Kami mengobrol panjang, mulai dari menunggu pecel selesai dibuat, pecel kami makan, sampai pecel habis dan piring pecel kembali bersih sehabis dicuci si mbak. Melalui pembicaraan tersebut, kami cukup terkesima melihat ambisi Wempy untuk gigih berjuang melanjutkan kuliahnya di pulau Jawa. Menurut saya pribadi, dalam diri Wempy mengalir darah seorang petualang sejati juga, karena ia begitu antusias mendengarkan pengalaman ngetrip kami. Salah satu tujuannya melanjutkan kuliah di Jawa pun karena terdorong hasratnya untuk menjelajah pulau-pulau di luar Flores.

Melalui Wempy pula, kami memperoleh info penginapan yang murah di dekat taman. Setelah membayar pecel yang kami makan, saya beserta Biru mengikuti Wempy yang berbaik hati bermaksud mengantar kami ke penginapan tersebut. Sepanjang jalan menuju penginapan, terdapat dua spot menarik yang saya temui dan saya abadikan dalam kamera saya, yakni titik 0 km kota Ende dan sebuah gereja dengan patung Yesus Kristus yang sangat besar.

Saya dan Wempy di tugu 0 km

Salah satu gereja yang kami lewati

Keasyikan mengobrol, tak terasa kami sampai di depan penginapan.  Wempy berpamitan langsung karena harus mengurusi sesuatu di kampusnya. Saya dan Biru menuju meja resepsionis dan cek in sebentar. Setelah mendapatkan kunci kamar seharga IDR 60.000,- untuk berdua, kami bergegas ke kamar kami untuk beristirahat dan bersih-bersih sejenak.

Tepat sekitar pukul 17.00 WITA, kami beranjak keluar, menuju dermaga yang kami lihat tadi di taman. Berjalan kaki tidak sampai 20 menit, tibalah kami di muka dermaga. Sore itu dermaga lumayan ramai, bukan oleh penumpang, tetapi oleh orang-orang yang sekedar menongkrong di atas sepeda motor, ataupun duduk di tepian dermaga untuk memancing.

Mentari senja memerahkan langit dan mempercantik warna mega-mega perak keemaskan. Saya dan Biru tertegun sejenak menikmati keindahan yang terpampang di hadapan kami…

Saya bisa membayangkan, walaupun bung Karno sempat diasingkan disini, saya yakin, beliau pasti sangat betah dan tidak terlalu merasa tersiksa sepanjang masa pengasingannya tersebut. Bagaimana tidak, apabila sore tiba, setelah duduk-duduk di lapangan mencari ilham atau sekedar bersantai, ia bisa mampir sebentar di dermaga menikmati hamparan pasir di pantai sambil berdecak mengagumi pemandangan di depan matanya.

Kelimutu, Eksotika Danau Tiga Warna (Pulang ke Flores, part 4)

Alkisah pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang raja bernama Konde beserta istri dan kedua anaknya di sebuah kerajaan. Pada suatu ketika, Konde dan istrinya mengetahui bahwa ternyata kedua anaknya saling jatuh cinta. Dengan berang, raja Konde mengusir kedua anaknya karena membuat dewa-dewa murka. Konde menitahkan kedua anaknya untuk menggali dua buah lubang di luar kerajaan sebagai tempat perlindungan dari banjir bandang yang akan menyerang kerajaan mereka. Lubang pertama akan diisi oleh segala harta benda, sedangkan lubang kedua yang akan kelak dihuni oleh kedua anaknya tersebut. Raja beserta istrinya sendiri juga menggali lubang yang letaknya agak berjauhan dari dua lubang tersebut untuk mengawasi kedua anaknya. Tak lama dari itu, banjir bandang datang dan menenggelamkan kerajaan, termasuk ketiga lubang tersebut.

Hingga hari ini, dipercayai oleh masyarakat setempat, bahwa ketiga lubang yang terendam air dan berubah menjadi danau tersebut menjadi tempat persemayaman arwah-arwah orang yang telah meninggal. Lubang pertama, yakni lubang tempat penguburan harta benda menjadi Tiwu Ata Polo atau danau tempat persemayaman arwah-arwah orang yang tidak memiliki budi baik selama hidupnya. Lubang kedua, yakni lubang persembunyian kedua anak raja menjadi Tiwu Nua muri Koo Fai atau danau tempat persemayaman arwah-arwah yang mati muda (danau muda-mudi). Dan lubang terakhir tempat raja dan ratu berada menjadi Tiwu Ata Bupu atau danau tempat persemayaman arwah-arwah yang meninggal di usia senja (danau orang tua).

Demikianlah cerita yang saya peroleh dari bapak tua John, pemilik penginapan tempat saya tinggal selama di Moni.

Yap, danau Kelimutu, tempat persinggahan saya berikutnya, setelah berpamitan dengan keluarga Niuk dan meninggalkan desa Riung pagi tadi. Saya dan Biru menggunakan jasa bis Gemini yang mengantarkan saya ke kabupaten Ende untuk transit sebentar. Jarak dari Riung ke Ende ditempuh kurang lebih selama 3 jam dengan harga tiket sekitar IDR 40.000,-. Sedangkan untuk melanjutkan perjalanan ke Moni, kami menggunakan travel selama kurang lebih setengah jam seharga IDR 25.000,- (seharusnya sih 20 ribu juga bisa, tapi berhubung kami kira ini sudah harga paling murah, kami nggak pakai tawar-tawar lagi).

Pasar Pagi di Moni

Saya sempat membeli kopi Flores disini

Sesampainya di Moni, kami cek in di sebuah penginapan milik bapak John yang letaknya tepat di seberang pasar pagi. Penginapannya cukup murah, kami hanya perlu membayar sejumlah IDR 50.000,- untuk berdua. Kamarnya sendiri walaupun sangat sederhana namun lumayan bersih, nyaman dan yang paling utama, ada kamar mandi dalamnya. Kami beristirahat sebentar, meletakkan barang-barang kami sebelum kami keluar untuk makan siang di sebuah rumah makan di samping penginapan.

Hari pertama di Moni, kami habiskan hanya dengan berjalan-jalan di sekitar penginapan. Kami duduk-duduk santai di pinggir kebun sayur sambil memandangi seorang mama tua sedang menyirami sayurannya. Biru, entah mendapat ilham darimana, mendadak turun ke kebun dan menawarkan bantuan kepada mama tua. Tak lama setelah Biru membantu mengambilkan air dari pancuran pengairan, Biru menyeletuk, “Difoto kenapa??” Haha, ketauan deh maksudnya.

Hari menjelang malam dan Biru kembali ke kamar untuk beristirahat, sedang saya keluar sebentar membeli rokok dan cemilan. Sesampainya di penginapan, pak John sedang berdiri di luar sendirian. Kami pun mengobrol ngalor-ngidul berdua, hingga akhirnya pak John menceritakan legenda Danau Kelimutu yang saya paparkan di atas. Merasa sangat tertarik, tentunya saya mencatat poin-poin penting dari alur yang diceritakan oleh pak John, dengan harapan bisa saya bagikan ke teman-teman nantinya di blog saya.

***

Pagi-pagi sekali, sekitar jam 3, Biru sudah membangunkan saya. Rencana kami hari ini adalah berburu sunrise di danau Kelimutu. Kemarin kami sudah bernegosiasi dengan seorang pemilik motor agar menyewakan motornya (plus bensin) seharga IDR 80.000,-. Udara pagi yang super dingin (maklum, Moni kan daerah dataran tinggi) membuat saya melek semelek-meleknya. Saya hanya menggunakan celana jeans panjang dan jaket (seharusnya saya juga membawa sarung tangan saat itu, karena hembusan anginnya sangat terasa di kepalan tangan).

Menembus malam gelap, jalanan yang kanan kirinya hutan belantara dan sesekali jurang, saya turunkan kecepatan acap kali harus melewati tikungan yang super berkelok-kelok dan mendaki. Setelah sekitar 45 menit berkendara motor, kami tiba di gerbang masuk. Biru dan saya masuk ke sebuah pos untuk mengisi data diri dan membayar tiket masuk (saya lupa tiketnya berapa, sekitar IDR 20.000,- kalau nggak salah). Kami melanjutkan perjalanan lagi sekitar 5 menit untuk menuju parkiran sebelum akhirnya melakukan pendakian (baca: naik tangga).

Pendakian tangga berlangsung sekitar 45 menit. Tangganya tidak terlalu curam dan pola tangganya nggak membuat cepat lelah karena setiap beberapa langkah anak tangga disertai dengan sekitar 1-2 meter jalanan yang mendatar. Namun demikian, dengan bobot badan saya yang sedemikian rupa ini, tentunya mau jalan mendaki, jalan mendatar, jalan menurun, tetap saja cepat capek. Alhasil saya selalu tertinggal di belakang dan tersusul oleh pengunjung-pengunjung lainnya.

Puji Tuhan, walaupun jalan saya terbilang sangat lambat, saya sampai di puncak Kelimutu, berbaur dengan pengunjung-pengunjung lainnya sebelum matahari terbit…

Sebuah monumen yang berdiri di puncak Kelimutu

Tiwu Ata Bupu (Danau Orang Tua), hari itu berwarna hitam

Tiwu Nua Muri Ko’o Fai (danau muda mudi) berwarna biru toska, sedangkan di sebelahnya, Tiwu Ata Polo sedang berwarna biru kehijauan

Nggak Sengaja bertemu dengan Panji Triatmaja

Dan berkenalan dengan teman-teman baru tentunya

Danau-danau hari itu berwarna biru, hijau dan hitam, berbeda dengan sebulan lalu yang–kata pak John–ketiga-tiganya berwarna merah muda. Belum diketahui dengan pasti apa penyebab dan bagaimana siklus perubahan warna pada danau yang awalnya berwarna merah, biru dan hijau ini. Tetapi menurut kepercayaan setempat, perubahan warna danau mencerminkan sebuah keadaan yang akan terjadi di masa kini dan kedepan.

Setelah matahari cukup terik bersinar, suasana sudah mulai sepi dan jarum jam menunjukkan pukul delapan, saya dan Biru berinisiatif untuk kembali ke penginapan, mengingat kami harus melanjutkan perjalanan kembali ke Ende untuk tinggal satu malam disana. Perjalanan kami berlangsung mulus, walau sempat sekali jatuh dari motor dan kaca spion patah satu .Kami tiba di penginapan kembali, bertemu dengan orang yang menyewakan motor dan memberi sejumlah uang ganti rugi atas spion yang patah.

Kamipun berkemas dan kemudian berpamitan pada pak John. Menaiki sebuah mini bus, kami meninggalkan Moni yang sejuk dan tenang, menuju Ende untuk mengeksplor kota dan menginap sehari disana (berhubung kemarin kami hanya transit sejenak). Tarif bus dari Moni ke Ende tentunya lebih murah daripada tarif menggunakan jasa mobil pribadi yang dikelola oleh travel agent. Kami hanya perlu membayar sebesar IDR 15.000,- perorang.

From Bajo to Bajawa (Pulang ke Flores, Part 1)

Pulang adalah kata yang tepat, dibanding berlibur. Setidaknya itu yang saya rasakan selama menghabiskan waktu di Flores beberapa pekan lalu. Tidak hanya karena ini adalah kali kedua saya menginjakkan kaki di tanah Flores, tetapi karena memang saya selalu merasakan penerimaan yang sangat hangat ketika berkunjung kemari. Bagi saya Flores tidak hanya sekedar tempat wisata, tetapi lebih merupakan rumah kedua yang selalu membuat saya ingin pulang lebih sering dan lebih lama lagi.

Sore itu, seolah dejavu, saya bersama travel partner saya yang bernama Biru berjalan keluar dari Bandara Komodo Labuan Bajo. Menjumpai orang yang sama yang akan mengantar saya ke penginapan, saya sedikit merasa tersanjung karena ternyata orang tersebut masih mengenal saya. Bersama dengan dua turis Kanada yang juga satu penginapan dengan saya, mobil yang kami tumpangi pun menderu dan meluncur di sepanjang jalanan mendaki menuju Golo Hilltop Guest House, penginapan yang pernah saya tinggali sekitar 8 bulan lalu.

Wajah Flores agak berbeda ketimbang pertama kali saya berkunjung. Apabila bulan Januari lalu saya melihat penampakan bentang alam Flores yang hijau nan subur karena sedang berada pada musim penghujan, kali ini saya melihat Flores yang kuning kecoklatan, gersang. Selain itu, jalan raya satu arah yang dulu saya lewati sedang mulus rupawan, kali ini sedang mengalami perluasan, dengan beberapa lubang dan bebatuan di kiri kanan jalan.

Well, nggak sampai 15 menit, kami tiba di Golo Hilltop Guest House. Seperti biasa, saya langsung menuju restoran yang merangkap resepsionis untuk cek in dan mengambil kunci. Lagi-lagi saya dibuat takjub karena pemilik guesthouse masih hafal muka saya dan ingat di kamar mana saya pernah tinggal. Usai basa-basi sebentar, salah seorang porter–yang ternyata masih kenal dengan saya–mengantarkan saya dan Biru ke kamar yang letaknya paling atas, kamar deluxe seharga IDR 450k yang sengaja saya pesan karena saya merindukan pemandangan sepotong Labuan bajo yang nampak sempurna bila dilihat dari sana (sebenarnya terdapat pilihan kamar standar seharga IDR 350k, namun saat saya mencoba booking, ternyata semua kamar standar tidak ada yang vacant) .

Pemandangan dari atas

Narsis sejenak

Setelah beristirahat sebentar di kamar sambil menikmati pemandangan Labuan Bajo, kami bergegas turun ke bawah menuju kolam renang (berenang adalah agenda utama kami sore itu untuk memanjakan diri seraya menanti matahari tenggelam). Seperti biasa, saya harus melewati restoran merangkap resepsionis terlebih dulu yang berada tepat disamping kolam renang. Saya pun memesan sepoci teh jahe hangat favorit saya. Spot favorit saya kebetulan baru saja kosong karena bule-bule yang sebelumnya duduk disana tampak berkemas dan kembali ke kamar. Hal yang saya sukai dari spot ini (foto di bawah ini) adalah saya bisa menikmati sepotong kecantikan Bajo yang tidak terhalang oleh apapun.

Sunset… set… set…

Saya dan Biru beranjak dari kolam renang menuju restoran untuk makan malam sekitar pukul 7. Kami memesan nasi goreng seafood yang harganya menurut saya worth dengan rasa dan kuantitas potongan ikan, udang dan cumi-cuminya (IDR 25k). Sambil duduk tenang di restoran, kami memanfaatkan fasilitas wi-fi yang alhamdulilah lancar jaya. Restoran tutup sekitar jam 9 malam dan tentu saja tidak ada lagi aktifitas setelah jam tersebut. Semua orang masuk ke kamar masing-masing untuk tidur, tidak terkecuali kami.

***

Subuh-subuh benar, sekitar pukul 5, saya dan Biru sudah bersiap-siap untuk packing. Kami harus mengejar bus ke Bajawa sebelum jam 7. Setelah mandi dan cek out, kami berjalan kaki menuju jalan raya, kearah persimpangan jalan yang dimaksud oleh salah satu pekerja di Golo Hilltop. Semalam ia menjelaskan bahwa di pertigaan jalan tersebut biasanya bus ke Bajawa lewat, jadi kami tidak perlu ke terminal segala.

Pemandangan yang dapat kami jumpai saat menuju persimpangan yang dimaksud

Pertigaan satu arah tempat kami menunggu bus

Tidak sampai setengah jam, berhenti sebuah auto bus di hadapan kami. Bis tersebut hanya melayani rute ke Ruteng. Awalnya kami tidak berminat untuk menaikinya, berhubung tujuan utama kami langsung ke Bajawa. Sayangnya, ujar kondektur bis, bis yang langsung ke Bajawa sudah berangkat sedari pagi tadi dan kami terlambat. Jadi terpaksa kami naik ke bus tersebut untuk kemudian melanjutkan perjalanan dari Ruteng.

Suasana di dalam bus, lengkap dengan manusia, koper, tas-tas, sekarung bawang merah dan berkarung-karung ikan kering

Bis bertarif IDR 40k tersebut mengantarkan kami ke Ruteng dalam waktu kurang lebih 4 jam. Jalanan mendaki dan berkelok-kelok khas jalan Trans Flores mengatup mulut kami rapat-rapat saking terkagum-kagumnya. Perbukitan yang menghijau, lembah yang menjurang, sabana yang tandus, pemukiman warga yang jarang jaraknya satu sama lain, dan  deretan hutan-hutan silih berganti seperti rol film yang berputar di luar jendela. Pelebaran jalan yang cukup memperlambat laju bis tidak terlalu mengganggu kekhusukan saya menyatu dengan alam di sekeliling saya (walau debu keringnya cukup mengganggu).

Pelebaran jalan Trans Flores

Salah satu pemukiman warga

Sawah Lodokh di desa Cancar. Kalau kita lihat dari ketinggian, kita akan melihat wujud pola sawah yang berbentuk sarang laba-laba

Perjalanan benar-benar memakan waktu kurang lebih 4 jam. Bis kami pun berhenti di sebuah perempatan jalan raya di Ruteng. Layaknya selebritis baru turun dari Limo, saya dan Biru dikerubuti oleh travel-travel yang menawarkan diri mengantarkan kami ke Bajawa. Setelah disepakati harga IDR 60k dengan salah seorang travel agent, saya dan Biru meletakkan tas kami di mobil dan menunggu mobil berangkat.

Ruteng

Sekitar satu jam dari ketibaan kami, mobil akhirnya berangkat. Mobil kali itu berisi 5 orang penumpang, saya dan Biru, seorang bapak-bapak, dan dua orang teman baru kami yang bernama JJ dan Andro yang ternyata juga akan ke Riung esok harinya (destinasi kami selanjutnya). Suasana yang sebelumnya dingin dan asing perlahan mencair seiring dengan bergulirnya roda mobil menembus setiap liku perbukitan menuju Bajawa.

Ada sekitar dua kali mobil kami berhenti. Yang pertama untuk mengunjungi danau Ranamese, sebuah danau yandapat kami lihat dengan mudah tanpa harus trekking berkilo-kilo. Kami hanya perlu menghentikan mobil, berjalan sedikit ke tepian jalan dan voila, danau Ranamese tampak membentang dengan indahnya.

Danau Ranamese

Perhentian kedua kami adalah ketika Andro mendadak mules dan panik mencari toilet umum. Sontak seisi mobil terpingkal-pingkal melihat kepanikan Andro. Wajar saja, siapa yang bisa mengira-ngira keberadaan sebuah wc umum di atas jalan perbukitan dengan hutan dan jurang di kanan kiri. Namun ajaibnya, Tuhan masih sayang sama Andro. Tak lama dari bukaan satunya Andro, kami menemukan sebuah wc umum. Wc yang sangat sederhana, dengan seng yang secara manual diangkat dan digeser untuk menutup pintu.

Selagi menunggu Andro menunaikan hajatnya, saya dan yang lain iseng-iseng berjalan ke suatu spot dimana kami  sempat melihat ada seorang ibu dan anak kecil sedang mengumpulkan kayu bakar. Merasa kagum dan tertarik, kami pun berfoto-foto sejenak dengan mereka. Bagaimana tidak kagum, mereka (dan orang-orang yang biasa mencari kayu bakar di hutan) sudah terbiasa berkali-kali naik-turun bukit dan lembah dalam sehari–yang mana hal ini nggak mungkin diterapkan kepada saya yang baru trekking sebentar saja sudah anfal.

Begitu Andro kelar dengan urusan hidup dan matinya, kami mengucapkan selamat tinggal pada teman-teman baru kami tersebut dan kembali melanjutkan perjalanan. Sore itu kabut sudah mulai turun dan temperatur di luar mobil semakin sejuk-sejuk bikin menggigil. Bajawa yang letaknya memang di atas perbukitan memang terkenal akan temperatur rendah ala ala di puncak. Sebelumnya saya sudah diingatkan oleh kenalan saya yang tinggal di Bajawa agar membawa jaket, celana panjang dan kalau perlu sarung tangan atau kaos kaki.

Beberapa menit kemudian, muncul pemandangan menakjubkan lainnya. Sebuah gunung berbentuk kerucut yang ujungnya benar-benar masih melancip. Seisi mobil–kecuali sibapak-bapak yang duduk di depan–sibuk mengeluarkan kameranya untuk mengambil gambar. Pak sopir hanya tersenyum sambil menenangkan kami yang grusak-grusuk nggak karuan. Kata beliau, besok kami bisa puas berfoto-foto dengan gunung yang bernama Inerie itu karena gunung itu adalah background kampung adat Bena, kampung adat yang memang menjadi tujuan wisata kami.

Gunung Inerie, gunung dimana kampung adat Bena berteduh di bawah kakinya

Dengan munculnya gunung Inerie di kejauhan sana, kata pak sopir lagi, berarti kita tidak lama lagi akan sampai di Bajawa. Dan benar saja, tidak lama dari itu, mobil kami berhenti di sebuah pertigaan. Menjulang gagah sebuah tugu selamat datang menyambut kami. Dengan sumringah, seolah beban lelah 4 jam yang kami rasakan dari Ruteng ke kota ini menguap begitu saja. Welcome to Bajawa…

Bali’s Subak Irigation Recognized, Sawah Lingko di Ruteng kapan?

Saya nggak nyangka kalo hamparan sawah bertingkat-tingkat yang baru saya kunjungi Maret lalu di Bali officially akan menjadi salah satu warisan budaya. Surprised and excited tentunya, begitu saya membaca kabar tersebut dari  beberapa mass media. Saya masih teringat Maret lalu saat saya dan teman-teman mengunjungi Tegal Alang, Bali. Kami menghabiskan sore hari dengan di sebuah restoran yang menghadap langsung ke sawah adat Bali tersebut. Hijaunya padi-padi yang masih muda tersusun-susun cantik di tiap undakan-undakan sawah membuat kami betah berlama-lama walau hanya ditemani oleh beberapa cangkir minuman di tangan kami.

Subak adalah sistem pengairan tradisional sawah-sawah di Bali. Dengan kekhasannya yang dibangun bertingkat-tingkat di lereng perbukitan, sistem ini menyuguhkan sebuah pemandangan yang menarik banyak wisatawan lokal maupun mancanegara untuk sejenak menghentikan aktifitasnya dan menikmati keindahannya. Subak akhirnya diakui sebagai salah-satu warisan alam oleh UNESCO dan secara resmi akan dikukuhkan dalam sidang KTT di St. Petersburg, Rusia Juni nanti. Dari Jakarta Post (http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/21/subak-farming-world-heritage-listed.html), saya baru mengetahui bahwa sudah 12 tahun sistem pengairan ini menunggu pengakuan dari UNESCO. Sungguh sebuah perjuangan yang cukup panjang dan indeed, Subak deserves for the recognition.

Berbicara soal sawah, saya juga teringat akan salah satu konsep sawah yang desainnya nggak kalah cantik, yakni sawah Lingko (masyarakat lokal menyebutnya sawah Lodok), atau dikenal dengan nama “Spider Web Rice Field”. Sesuai namanya, sawah tersebut memang menyerupai jaring laba-laba. Sawah ini terletak di Flores, khususnya di daerah Ruteng, desa Cancar.

Diunduh dari http://tuanviolet.wordpress.com/2012/01/13/sawah-laba-laba-lingko-lodok-di-manggaraiflores/#more-63

Dibalik nilai estetisnya yang  menawan, tersimpan pula nilai kultural pada desain sawah ini. Menurut informasi yang saya baca dari situs resmi Visit Indonesia (http://www.indonesia.travel/id/destination/701/ruteng/article/124/cancar-di-manggarai-sawah-jaring-laba-laba-raksasa), Lingko adalah sawah yang pembagian lahannya dilakukan oleh para tetua berdasarkan ketentuan adat setempat. Pembagian ini dapat kita lihat dari lingkaran-lingkaran yang diberi garis batas lurus menyerupai jari-jari. Garis batas ini berkonsentrasi pada titik pusat lingkaran yang dipancangkan sebuah kayu ataupun sejenis pohon bernama Teno. Pembagian besar kecilnya lahan (jaring-jaring) bergantung pada kedudukan seseorang di desa tersebut (Pemilik tanah ataupun tetua adat biasanya mendapatkan bagian yang lebih besar)

Januari lalu, saat saya sedang berlibur ke Labuan Bajo, ingin rasanya mengunjungi sawah Lingko. Namun setelah sempat berdiskusi dengan pemilik tempat saya menginap, saya terpaksa mengurungkan niat saya. Menurut pemilik guesthouse,  perjalanan ke Ruteng dari Labuan Bajo tidak bisa ditempuh oleh perjalanan pulang hari. Saya harus menginap sehari di daerah Ruteng karena medan perjalanan yang lumayan berat dan akan memakan waktu. Selain itu biaya menyewa mobil kesana PP pun lumayan agak berat buat saya yang hanya traveling sendirian saat itu. Lain kali, saya berjanji, bila saya berkunjung kembali ke Flores dengan waktu yang lebih panjang, saya harus menginjakkan kaki disini.

Buat saya sawah ini sangat layak untuk didaftarkan menjadi salah-satu warisan alam dunia seperti halnya Subak, mengingat hanya di desa Cancar inilah satu-satunya sawah di dunia yang berpola spider web. Namun sayangnya sampai sekarang saya belum pernah mendengar adanya wacana pendaftaran sawah adat ini ke UNESCO. Pengenalan orang-orang Indonesia mengenai keberadaan situs ini pun masih minim sekali, meskipun sudah mulai banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung untuk menyaksikan sendiri betapa menakjubkannya desain sawah adat tersebut. Sangat besar harapan saya melihat sawah ini menjadi bagian dalan situs warisan budaya dunia. Karena dengan demikian, semua orang akan semakin mengenal betapa kayanya negara kita akan keindahan alam dan budaya.

Komodo, My First Seven Wonders of Nature (end)

Hari ketiga, entah pukul berapa itu, yang pasti masih sangat subuh, saya mendengar motor mesin sudah menyala dan perlahan kapal kembali bergerak. Saya masih bermalas-malasan di dalam dek karena semalam nggak terlalu nyenyak tidur (berhubung baru pertama kali tidur di kapal semalaman, walaupun beralaskan matras berseprei lengkap dengan bantal dan guling, tapi rasanya belum terlalu terbiasa). Roh saya baru berkumpul lengkap dan siap terbangun utuh ketika kapal mulai bergerak pelan, dan dari kejauhan terlihat sebuah dermaga.

Kamel ikutan terbangun ketika saya bangun. Ia tersenyum dan mengatakan pada saya bahwa kami sudah sampai di dermaga pulau Komodo.  Saya agak bingung, pagi-pagi buta begini trekking? Bukannya sepi yah? Memangnya Komodonya udah pada bangun?

Kami pun bergantian cuci muka dan gosok gigi untuk siap-siap sarapan. Sarapan pagi ini lumayan sederhana tapi cukup mengisi perut, segelas teh manis/ kopi dan beberapa tumpuk roti isi (saya nggak tahu itu isi apa, markisa mungkin ya? Baru pertama kali makan soalnya). Selain kami, sudah ada sekitar 3 kapal lain yang merapat  di dermaga. beberapa turis (lagi-lagi) bule–sama seperti kami–juga sedang menikmati sarapan paginya. Salah satu dari mereka tersenyum dan bertegur sapa dengan kami.

Usai sarapan, saya bersiap-siap untuk memulai Komodo trekking. Berbekal sunblock, sebotol air dan pocket cam, saya bersama Kamel turun dari kapal dan berjalan menuju entrance. Perlu diketahui bahwa dari gugusan pulau-pulau disekitar sini, hanya terdapat 2 pulau  yang dihuni oleh hewan purba bernama latin Varanus Komodoensis ini. Pulau pertama yang kami kunjungi adalah pulau utama, yakni pulau Komodo, atau masyarakat setempat menyebutnya Loh Liang, dan pulau berikutnya bernama pulau Rinca atauLoh Buaya.

Nama pulau Komodo mulai bergaung keras sejak terpilih menjadi nominasi “Seven Wonders of Nature”. Ribuan bahkan mungkin jutaan vote yang mengalir masuk serta promosi besar-besaran yang dilancarkan baik dalam negeri hingga ke dunia internasional membuat nama pulau Komodo kini kian terkenal. Hingga akhirnya 16 Mei kemarin, secara resmi akhirnya diumumkan bahwa Taman Nasional Komodo menjadi salah satu dari Tujuh Keajaiban Alam Dunia.

Sebelum menikmati beberapa hasil jepretan amatir kamera saku saya, saya akan sedikit membagikan sebuah legenda yang dipercaya oleh masyarakat setempat. Konon, pada jaman dahulu kala hiduplah seorang putri yang dikenal dengan nama putri Naga Komodo. Ia menikah dengan seorang pria bernama Majo dan dikaruniai sepasang bayi kembar, yakni bayi laki-laki yang diberi nama Gerong dan bayi komodo yang diberi nama Ora. Gerong dibesarkan sebagaimana layaknya hidup di lingkungan manusia, sedangkan Ora dibiarkan hidup di dalam hutan.

Pada suatu kali, ketika beranjak dewasa, Gerong tidak sengaja bertemu dengan seekor kadal raksasa yang mencoba merebut hasil buruan Gerong di hutan. Saat Gerong berusaha membunuh kadal tersebut, tiba-tiba muncul putri Naga Komodo. Beliau mencoba memisahkan Gerong dan kadal tersebut. Ungkapnya pada Gerong, kadal raksasa itu adalah saudari perempuan Gerong yang bernama Ora dan putri Naga berharap agar Gerong memperlakukan kadal itu selayaknya saudara karena mereka berdua

memang terlahir sebagai saudara kembar. Sejak saat itu masyarakat setempat tidak berani mengusik keberadaan Komodo dan membiarkan komodo hidup tenang di alam bebas.

So, readers, welcome to Komodo National Park…

Saat membayar tiket di office, saya ditawari untuk memilih antara short, medium atau long track. Saya memilih medium track agar tidak terlalu melelahkan tapi juga tidak terlalu cepat. Selain membeli tiket, saya juga diharuskan membayar jasa ranger (yang akan menemani kami selama trekking) dan tiket penggunaan kamera. Setelah membayar segala sesuatunya, saya, Kamel dan sang ranger menuju sebuah papan petunjuk yang menyerupai peta trekking. Sang ranger menjelaskan rute kami sebentar dan lalu mengambil sebuah tongkat yang ujungnya bercabang dua. Menurutnya tongkat ini digunakan untuk men

Menurut ranger yang menemani kami selama trekking, komodo dewasa bisa mencapai panjang tubuh sekitar 3 meter. Penciumannya pun sangat tajam dan mampu mengendus bau hingga 10 km. Jadi jangan heran apabila terdapat kaum hawa yang sedang datang bulan, ia tidak dianjurkan untuk turut ambil bagian dalam trekking karena berpotensi memancing agresifitas para komodo yang berkilo-kilometer jauhnya.

Sepanjang perjalanan memasuki kawasan hutan di pulau tersebut, kami  menjumpai beberapa ekor komodo. Biasanya pada jam jam pagi begini mereka sedang asik berjemur (ternyata komodo tanned freak juga ya, hehe). Menurut ceritam, hewan ini sangat rentan terhadap perubahan suhu di sekitarnya. Oleh karena itu, untuk menjaga kestabilan suhunya, terkadang kita bisa menjumpainya sedang asik berjemur di tengah lapangan terbuka, lengkap dengan sebotol sunblock, kacamata hitam, dan segelas Pinacollada (Ok, tiga hal terakhir itu bohong)

Sebagai pengunjung pertama dan paling depan, saya mendapat kesempatan untuk berfoto beberapa kali dengan komodo. Dengan sedikit waswas—takut kalo-kalo mood si komodo berubah jelek), saya mengambil tempat di belakangnya dan berfoto bersama. Setelah muncul beberapa turis di belakang kami, kami melanjutkan perjalanan dengan mendaki perbukitan untuk melihat pemandangan yang luar biasa indah—and again, photo session.

Puas berkeliling di dalam hutan, akhirnya kami mengakhiri tur kami di pulau Komodo. Saya berpamitan dan mengucapkan terima kasih pada si Ranger untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke pulau berikutnya, pulau Rinca.  Perjalanan ke pulau Rinca berlanjut kurang lebih sekitar 2 jam. Beberapa kali saya jumpai hewan-hewan laut berenang di dekat kapal kami, baik itu penyu, ikan terbang, dan sekali saya melihat dua ekur lumba-lumba melompat ke permukaan (andai saja saya punya DSLR..) . Sembari menanti tiba, saya disuguhkan segelas jus buah dan makan siang yang lezat oleh koki kami. Kami makan dengan lahapnya, mengembalikan energi yang sempat terkuras pada saat trekking tadi.

Sesampainya di pulau Rinca, kapal merapat ke dermaga dan kami bergegas masuk. Disini kami tidak perlu membayar entrance fee dan penggunaan kamera lagi karena semuanya sudah menjadi satu paket yang dibayarkan pada saat di pulau Komodo. Perjalanan dari pintu masuk dermaga sampai pada pintu masuk utama melewati lapangan gersang terbuka. Disini mungkin saya baru melihat pemandangan asli Flores, tanah-tanah retak, rumput-rumput coklat dan udara yang cukup kering.

Sepanjang jalan, saya menemukan beberapa potongan kayu yang ditancapkan di sebuah pekarangan. Awalnya saya pikir pekarangan itu adalah sebuah pemakaman. Namun setelah saya lihat lagi lebih dekat, ternyata pekarangan itu merupakan tempat dimana program penanaman bibit pohon oleh tamu-tamu dilakukan. Terlihat beberapa nama tercantum  ditiap potongan-potongan kayu yang saya kira papan nisan itu. Mereka adalah orang-orang yang ambil bagian dalam penanaman pohon.

Sampai di pintu masuk utama, saya menjumpai beberapa bangunan rumah yang dijadikan kantor dan hunian bagi para petugas maupun ranger setempat. Seorang ranger yang seusia saya datang menghampiri  saya dan Kamel.  Sama seperti di pulau Komodo, kami mengambil medium track di pulau Rinca. Ranger tersebut pun berjalan mendahului kami untuk menunjukkan jalan.

Pertama-tama, kami dibawa ke sebuah bangunan menyerupai rumah panggung dimana di bawah kolongnya berkumpul sekitar 10 Komodo yang sedang bermalas-malasan. Menurut ranger, dapur adalah tempat nongkrong favorit para komodo. Mereka bisa berjam-jam berbaring disana menantikan sayur-sayur sisa yang dilemparkan ke bawah. Hal ini mengingatkan saya akan cerita ranger sebelumnya bahwa komodo bisa tahan berminggu-minggu menunggui korban gigitannya yang perlahan-lahan mati (setelah digigit, simangsa akan dibiarkan kabur sampai akhirnya mati karena keracunan liur komodo yang mengandung jutaan bakteri berbahaya. Apabila sudah mati, barulah si komodo dengan penciumannya mencari bangkai mangsanya dan melahapnya).

Benar saja, ketika saya sedang asing mengambil gambar dan berfoto bersama para komodo, tiba-tiba saja mereka berdiri dan berlari ke satu spot dimana baru saja seseorang membuang makanan. kontan saya kaget dan panik begitu mereka stand by position dan buru-buru berlari (Wajar saya takut, seekor komodo bisa berlari 20 km/jam dan kita nggak pernah tau kapan mereka akan iseng mengajak kita kejar-kejaran. Saya diberitahukan oleh si ranger, apabila seekor komodo tiba-tiba menegakkan kepalanya, tandanya dia sedang dalan standby position siap untuk beraksi)

Sebelum kami menyusuri hutan, ranger memberitahukan bahwa sedari pagi ia membawa tamu, ia tidak menemukan satupun komodo berkeliaran di dalam hutan. Jadi ia menawarkan apakah kami tetap ingin melanjutkan  trekking  atau berkeliling sekitar pemukiman saja. Pikir saya, sudah terlanjur sampai sini, nggak ada salahnya kami melakukan trekking. Toh nggak setaun sekali juga kami mampir kemari. Siapa tahu, keadaannya berubah ketika kami masuk ke hutan nanti.

Apa yang dikatakan oleh si ranger ternyata benar. Hampir 45 menit kami berkeliling hutan, kami hanya bertemu dengan anak komodo yang masih kecil (lebih menyerupai biawak ketimbang komodo). Tapi ya lumayan lah, daripada nggak ketemu apa-apa. Alhasil kami harus puas dengan berkali-kali mengambil foto di sekitar dapur.

Setelah Rinca, kami melanjutkan perjalanan kami ke tujuan terakhir, Pink Beach, atau pantai Merah. Dinamakan pantai Merah karena pasir di pantai ini memang tampak kemerahan akibat bercampur dengan serpihan-serpihan terumbu karang merah yang terhempas ke pantai. Disini saya berpuas-puas snorkeling. Airnya sangat jernih sehingga terumbu karang dan ikan-ikan warna-warni nampak jelas dari permukaan air. Saya agak menyesal karena tidak bisa mengambil gambar disini karena kapal kami harus membuang sauh agak jauh dari pantai (mungkin karena takut akan merusak terumbu karang yang ada di dasar). Kamera saku saya yang tidak waterproof megurungkan niat saya untuk membawanya serta ke tepian pantai.

Disinilah pertama kalinya saya menyadari diri saya bisa berenang. Berbekal pengetahuan bahwa kandungan garam di laut akan selalu menekan tubuh kita untuk selalu terangkat ke permukaan, saya nekad menceburkan diri ke laut tanpa pelampung. Saya cukup beruntung karena ternyata teori yang saya tidak salah. Air laut terus saja membuat tubuh saya mengambang dan hal ini cukup membuat saya bangga karena ada beberapa turis lain yang berenang menggunakan pelampung, hehe.

Dengan berakhirnya bermain air di pantai Merah, berakhir pula tur Komodo island saya. Ini pertama kalinya saya berjalan-jalan sangat jauh dari rumah sendirian. Perjalanan ini nggak akan pernah terlupakan oleh saya, baik tempat-tempat wisatanya, teman-teman baru yang senantiasa berada di sekitar saya, dan pengalaman-pengalaman seru dan lumayan mendebarkan bagi saya.

Tidak lupa saya mengungkapkan rasa bangga saya melalui blog ini, bisa menjadi bangsa Indonesia dan memiliki salah satu dari tujuh keajaiban alam dunia.  Pulau Komodo memang layak dipilih menjadi bagian Seven Wonders of Nature. Tidak hanya Komodo sebagai icon utama yang mampu menarik perhatian  pengunjung dari berbagai belahan dunia, tetapi keindahan alamnyaturut menyihir siapa saja yang melihatnya untuk sejenak menahan nafas dan menikmati pemandangan yang tersuguh di hadapannya

Komodo, My First Seven Wonders of Nature (2)

Kalo lagi traveling ke alam terbuka, matahari adalah salah satu hal yang paling mempengaruhi mood. Misalkan matahari bersinar begitu cerah, nggak perduli teriknya kayak apa, pasti orang-orang rela berjam-jam terbakar langsung . Tapi kalo tiba-tiba muncul awan-awan gelap, apalagi diikuti oleh hujan, rasanya pengen makan orang karena nggak bisa kemana-mana, seharian tiduran aja di hotel.  Pokoknya kalo nggak ada matahari, liburan serasa super berantakan.

Ini yang menjadi ketakutan saya. Saya berlibur kesini bulan Januari, bulan-bulannya musim penghujan. Beberapa hari kemarin, selama masih di Bali, hampir beberapa jam sekali, gerimis menemani hari-hari saya, sehingga saya harus beberapa kali mampir ke beberapa tempat untuk berteduh (dan terpaksa memesan entah itu makanan atau minuman). Begitu pula dengan kedatangan saya hari pertama di bandara Komodo, Labuan Bajo disambut dengan hujan deras. Hujan saat itu membuat langit senja Labuan Bajo yang konon kayanya sangat indah itu menjadi muram karena mendung.

Dan hari ini, keajaiban terjadi, mendadak matahari buka cabang dimana-mana. Hari kedua di Labuan Bajo sangat-sangat cerah. Sedari pagi sampai sore, matahari nggak berhenti tersenyum kepada  belahan barat Flores ini. Senyum saya dan beberapa turis yang menginap disini pun ikut mekar sumringah. Beberapa turis, termasuk saya tidak melewatkan kesempatan berharga di musim penghujan tersebut.

Selesai sarapan di resto, beberapa dari kami langsung bermigrasi ke kolam renang. Beberapa ada yang langsung menggelar handuk dan sun-bathing di kursi. Sedangkan saya, selesai mengatur perabotan di kursi dan meja saya (handuk, buah-buahan sisa breakfast tadi, plus sepoci teh hangat), saya langsung menyemprot sunblock spray saya ke badan dan berbaring seperti yang lainnya.

Hari ini agenda saya nggak kemana-mana. Saya hanya ingin memanjakan diri di guesthouse dan beristirahat menikmati hari, karena saya tahu besok saya akan butuh kondisi tubuh yang ekstra fit untuk melakukan trekking di pulau Komodo. Ya, terkadang, kita perlu suatu waktu tertentu dimana kita hanya memanjakan diri kita di penginapan, nggak melakukan apa-apa, full rest. Kedengarannya sih agak sayang, membuang waktu sia-sia. Namun kalo direnungin lebih lanjut, bukankah the sweetest quality time adalah ketika kita hanya seorang diri, mengisolasikan diri dan nggak diganggu oleh aktifitas apa-apa?

Berhubung hari kedua nggak terlalu banyak aktifitas, ada baiknya kita langsung lompat ke hari ketiga, hari dimana perjalanan yang sebenarnya baru dimulai. Hari ketiga ini, sama seperti hari kedua, matahari tampak sangat bersahabat dan nggak malu-malu bersinar. Tentu saja cuaca yang seperti ini yang menjadi dambaan setiap traveler yang hendak menjalankan ritual trekkingnya.

Saya dijemput oleh tour guide saya yang bernama Kamel, orang asli Flores, dari daerah Ruteng (tempat yang terkenal dengan spider web rice field nya itu). Kami langsung menuju pelabuhan sekitar jam 1 siang, menyewa peralatan snorkeling untuk dua hari dan mencari boat yang telah disewakan oleh travel agent untuk saya.

Yakk… The adventure is officially begun…

Satu nilai plus yang bisa saya dapatkan dengan melakukan wisata ke Flores pada musim penghujan yakni saya dilimpahi dengan  gugusan-gugusan pulau yang hijau subur—bukan gersang seperti pada umumnya. Saya sering mendengar cerita dari teman saya yang kebetulan orang Flores, katanya jangan kaget melihat kondisi Flores yang kering gersang. Nah sekarang saya tambah kaget ketika disuguhkan pemandangan yang berbeda dari yang saya ketahui sebelumnya. Hati saya sangat terhibur karena sebelumnya saya merasa datang di waktu yang salah.

Perjalanan memakan waktu kurang lebih 5 jam kalau cuacanya bagus. Awalnya saya pede cuaca akan terus cemerlang seperti saya berangkat. Tapi 2 jam kemudian, awan-awan hitam mendadak kumpul arisan di depan sana. Hujan rintik-rintik turun, gelombang laut pun perlahan meninggi dan kapal yang kami tumpangi ikut bergolak kanan kiri.

Lagi-lagi parno saya muncul. Imajinasi tingkat dewa saya memaksa saya untuk berhalusinasi ada ombak setinggi 10 meter siap menghajar kapal saya layaknya film the storm. To be honest, saya nggak bisa berenang, dan kayaknya pelampung pun nggak akan membantu kalo sampe mendadak kapal kebalik. Kami semua diajak masuk ke dalam ruang kemudi yang cuma muat 3 orang sampai akhirnya perlahan-lahan gelombang-gelombang tinggi itu mereda dengan sendirinya dan hujan berhenti.

Perjalanan pun berlanjut mulus dan nahkoda kapal kami memberitahukan bahwa sekitar satu jam lagi kami akan sampai di pulau Kalong untuk menginap semalam. Well, setidaknya saya sudah diberitahukan bahwa hari pertama tur ini saya akan tidur di atas kapal, jadi saya nggak terlalu berharap di atas hamparan pulau bernama kalong itu akan berdiri sebuah cottage kecil untuk saya istirahat.

Dan benar, sesampainya saya disana, saya nggak melihat keberadaan cottage di atas pulau Kalong. Bahkan pulaunya sendiripun lebih menyerupai daratan kecil yang ditumbuhi oleh mangrove-mangrove rambat yang isinya katanya bisa sekitar ribuan kalong-kalong berbeda ukuran.  Kapal pun membuang jangkarnya di dekat pulau, mesin dimatikan, dan perjalanan hari pertama berakhir senja itu (sekitar pukul 6 malam).

Tak  lama dari itu, terdengar decit-decitan kalong dari rerimbunan mangrove di pulau Kalong. Decitan itu semakin berisik dan diiringi dengan satu persatu hingga akhirnya ratusan kalong berterbangan keluar dari pulau. Saya hanya bisa berdecak kagum melihat kerumunan kalong di atas langit yang menyebar.  Niat hati ingin mengabadikan fenomena alam tersebut, namun apadaya kamera digital saya yang nggak seberapa ini hanya bisa menangkap gambar gelap langit.

Kami –saya, Kamel dan nahkoda kapal–mengobrol sejenak sambil menunggu koki kapal memasak makan malam untuk kami semua. Saya lupa bilang kalo di perjalanan ini, kapal kami hanya dihuni oleh 4 orang, saya, Kamel si guide, pak nahkoda dan koki. Kapalnya kapal motor yang tidak terlalu besar, namun ada sebuah dek di belakang ruang kemudi untuk saya dan Kamel tidur (sempat saya berpikir kami akan tidur di atas meja makan).

Sembari mengobrol, entah darimana, tiba-tiba kapal kami sudah dikelilingi oleh beberapa penjual souvenir yang menggunakan sampan-sampan kecil. Mereka menjual berbagai macam oleh-oleh, mulai dari ukiran patung komodo beragam ukuran, hingga mutiara-mutiara yang teruntai menjadi gelang maupun kalung. Sebenarnya saya agak malas menanggapi mereka, namun menurut info Kamel, harga oleh-oleh yang dijual di atas sampan jauh lebih murah ketimbang kita membeli langsung di pulau Komodo.

Saya pun mencoba menanyakan harganya. Awalnya sebuah patung komodo berukuran 15cm dijual seharga 100 ribu rupiah. Dengan sedikit sadis, akhirnya tawar-menawar yang serba pelik itu berakhir dengan kesepakatan beli dua patung harganya 50 ribu rupiah. Belum beberapa menit patung itu saya masukan k etas, datang lagi penjual yang lain menawarkan oleh-oleh jualannya. Kali ini ia menjual patung ukiran komodo yang sama tapi dengan ukuran yang lebih kecil (sekitar 10 cm). Pikir saya, kalau yang besar bisa 25 ribu perpatung, harusnya yang kecil bisa lebih murah. Dengan pede saya tawar 50 ribu empat buah, dan sedikit saya acuhkan setiap kali penjualnya minta harganya dinaikan sedikit. Hasil akhirnya, tentu saja saya yang menang. 4 patung yang lebih kecil saya kantongi dengan harga 60 ribu rupiah (tega ya? Hehe)

Ajang forum jual beli pun berakhir saat koki keluar dari dapur dengan membawa beberapa piring masakannya. Saya belum pernah melihat model masakan seperti itu dan saya lupa menanyakan apa saja nama masakannya. Tetapi saya rasa itu adalah masakan khas flores dan rasanya memang sangat lezat untuk perut kami yang 5 jam terombang ambing di atas laut.

Komodo, My First Seven Wonders of Nature (1)

Evening View from hill top

Duduk tenang menyesap secangkir teh jahe hangat, saya melemaskan ketegangan otot-otot saya setelah kurang lebih satu setengah jam terbang dari Bali ke Labuan Bajo menggunakan maskapai singa udara. Sesekali saya bercengkrama dengan salah satu pekerja di restoran tempat saya menginap seraya menikmati langit Labuan Bajo sore hari. Kala itu mendung dan baru saja hujan deras sesampainya saya disana. Katanya sih hujannya awet dari pagi tadi.

Sejenak saya mulai kawatir, mengingat saat itu adalah awal Januari, dan bulan Januari adalah bulan yang lumayan basah untuk daerah sekitar Bali dan Nusa Tenggara. Pekerja di guesthouse itu bercerita bahwa terkadang ombak bisa naik hingga empat (4) meter kalo lagi apes, dan otomatis kapal-kapal nggak akan ada yang berani berlayar. Ada sih, kapal-kapal besar berkabin yang tetap jalan meski keadaan laut agak nggak bersahabat—berhubung badan kapalnya besar, jadi para penyewa kapal cukup pede dengan ketangguhan kapalnya tersebut. Tetapi berhubung saat itu saya adalah solo traveler, nggak mungkin saya nyewa kapal berkabin yang konon harga sewanya bisa sampai 8 juta itu.

Whatever deh, minimal udah sampai disini. Kalo memang nggak bisa nyebrang ke pulau Komodo yang jaraknya masih sekitar 5 jam perjalanan dari Labuan Bajo itu, berarti memang saya belom berjodoh untuk bisa melihat reptile tertua di dunia itu secara live. Tujuan saya kali ini berkunjung ke Labuan Bajo (akhirnya, destinasi terjauh saya di Indonesia setelah berkali-kali hanya mentok liburan di Bali) memang secara khusus ingin menginjakkan kaki di salah satu dari 7 besar sementara dari 7 Wonders of Nature (Komodo National Park akhirnya secara resmi menjadi salah satu dari  Keajaiban Alam Dunia pada tanggal 16 Mei 2012). Walaupun saat itu hasil perhitungan masih bersifat sementara, namun saya optimis hasilnya tidak akan mengecewakan.

Hari kian malam dan saya mohon pamit untuk ke kamar, istirahat dan bersih-bersih. Suasana di tempat saya menginap cukup sunyi dan tenang, hanya terdengar suara-suara serangga malam yang berderik-derik memecah keheningan. Saya keluar sejenak ke teras untuk merokok, hingga akhirnya setelah melihat ada beberapa tamu berjalan keluar dari pekarangan guesthouse, saya pun berinisiatif mengikuti mereka tak lama kemudian.

Ketika saya bermaksud keluar dari guesthouse, seorang penjaga guesthouse (mungkin satpamnya sana) menanyakan saya mau kemana.

A: Mau kemana, Pak?

Saya: Saya mau ke kotanya, jauh nggak ya, Pak?

A: Oh, tidak terlalu, 5 menit dengan ojek. bayar saja 10 ribu.

Saya: Daerah sini ada ojek, Pak? (saya memandang berkeliling sambil ragu, masa iya di sekitar hutan kaki bukit begini ada ojek?)

A: Teman saya bisa antarkan, bayar saja ke dia sejumlah yang saya beritahu tadi.

Saya pun mengangguk setuju dan bapak itu meninggalkan saya sejenak untuk memanggil

salah satu temannya.

Nggak lama kemudian bapak itu datang lagi, kali ini berdua. Bapak itu menunjuk-nunjuk saya dari jauh sambil berbicara dalam bahasa lokal mereka. Mungkin bapak itu sedang menjelaskan bahwa saya sedang butuh bantuan temannya. Dan benar, teman bapak itu langsung mengambil motor yang diparkir di dekat pos penjaga dan mendekati saya. Saya tersenyum dan menjelaskan kalau saya mau lihat-lihat pusat keramaiannya disini. Orang itu pun mempersilakan saya naik ke motornya dan kami meninggalkan bapak penjaga yang tadi.

Benar saja, perjalanan ke pusat keramaian daerah itu memang tidak terlalu lama. Ojek motor tadi menanyakan saya mau didrop dimana.  Akhirnya saya berhenti di sebuah minimarket dan membayar sesuai dengan jumlah yang diberitahukan bapak penjaga tadi. Saya membeli beberapa botol air mineral dan snack, dan setelah itu berjalan-jalan sebentar di sekitar.

Cukup unik buat saya. Entah mungkin karena saat itu sedang bulan Januari, atau karena bukan long weekend, saya tidak menjumpai satupun turis lokal berkeliaran disana. Di sepanjang jalan, baik itu rumah makan, kafe, bar, maupun tempat-tempat penyewaan alat diving dan snorkeling, saya hanya menemukan ras ras kaukasoid, alias bule bertebaran. Saya akhirnya merasakan apa yang traveler-traveler lain katakan, “merasa asing di negeri sendiri”. Walaupun hal ini juga saya rasakan di Bali, namun kali ini nuansanya agak berbeda, karena disini, nggak cuma turis aja yang bule, tapi hampir seluruh usaha hotel, kafe, resto, penyewaan alat selam, dan agen perjalanan dipegang oleh bule.


Saya pun berhenti di sebuah kafe dan resto, namanya Made in Italia. Well, nggak tau kerasukan apa, saya masuk ke dalam dan memesan makan malam. Sama seperti suasana di luar, di dalam pun, sama seperti kafe resto masakan non lokal lainnya, dipadati dengan turis-turis bule yang sedang asik bercengkrama ataupun menikmati wine dan bir setelah dinner. Sedang saya? Hehe sepiring pasta dan secangkir Cammomile tea (masih agak susah nelen wine sambil makan pasta).

Selesai makan, saya pulang (bayar dulu tentunya). Saya coba susuri perjalanan pulang dengan berjalan kaki, mengingat selain rutenya tadi hanya lurus dan jarak yang dekat, saya nggak bisa membedakan yang mana ojek yang mana orang-orang lokal sedang iseng nongkrong.  Awalnya lumayan menyenangkan, karena saya melewati  keramaian warung-warung tenda pinggir pantai khas Lamongan dan Jawa sekitarnya (salut, ayam goreng dan pecel lele bisa hijrah sampe sejauh ini). Tapi lama kelamaan, keramaian mulai menyusut dan tersisa kegelapan plus bentangan pepohonan dan jalan raya yang mendaki.

Saya mendadak ingat, tadi kalo nggak salah saya belok keluar dari salah satu mulut gang. Dan saya lupa, itu mulut gang yang mana dan dimana. Dengan berbekal senter handphone, saya terus berjalan mendaki di jalan raya yang benar-benar gelap karena tidak ada penerangan apapun.  Mobil dan motor pun hanya lewat sesekali.

Ok, I started to freak out saat itu.

Berusaha menghibur diri yang was-was dan horror membayangkan hal-hal yang tidak-tidak di sepanjang jalan, saya terus menusuri kegelapan yang makin lama makin membuat saya berpikir, tadi nggak sejauh ini deh?? Saya khawatir saya nyasar.

Dan saya memang nyasar…

Sebuah mobil melewati saya dan berhenti memanggil-manggil saya. Saya pun mendekati mobil tersebut dengan putus asa. What could be even worse deh, mau orang jahat atau bukan, saya hanya berpikir, saya butuh tumpangan pulang ke hotel.

Miracle!!

Ternyata mobil itu adalah mobil pemilik guesthouse saya. Sopirnya menanyakan apakah saya hendak menuju guesthouse tersebut? Saya langsung bernafas lega dan cepat-cepat menerima tawaran sang sopir untuk menuju guesthouse bersama-sama.

Mobil itu berjalan melawan arah perjalanan saya, yang artinya, mulut gang yang saya cari memang kelewatan. Sopir menjelaskan bahwa memang kejadian ini sering terjadi, banyak turis yang bingung jalan pulang ke guesthose pada malam hari karena minimnya penerangan. Saya nggak bisa membayangkan, apa jadinya kalau nggak bertemu dengan mobil itu.

Nggak sampai 5 menit menembus kegelapan super pekat (maklum, jalanan mendaki ke guesthouse saya memang nggak ada penerangan sama sekali), saya sampai di guesthose dengan selamat. Setelah mengucapkan terimakasih pada pak sopir, saya segera masuk ke kamar dan merebahkan badan saya.  Isi kepala saya masih berkutat soal perjalanan barusan hingga akhirnya saya terlelap sendiri.

_______________________________________________________________________________________________

Review Penginapan:

Golo Hill Top is a guesthouse ran by two Dutch ladies who could fluently speaks Indonesia. Trust me, you will love the place as I do. Not only this place gives us breath taking scenery (you can see some pics above), but also its hospitality will make you comfy as if you are in your own home (they will help you with anything you need during the stay)

There are several types of room based on its facilities and its view (If you want better view from the room which is located at the higher spot, You shall book for the deluxe room ).  The room is always clean and neat because the house keeper always get the room tidied up every morning.  They also provide pick up service from and to airport.

CP: 62-385-41337/62-81339255535 (cell)

Web: http://golohilltop.com/