Hari ini genap 10 hari saya bersama Biru bertualang di separuh tanah Flores. Dimulai dari Labuan Bajo, bermalam sejenak di Bajawa, merasakan kehangatan keluarga masyarakat lokal di Riung, kedinginan di Moni, mampir di Ende, dan akhirnya kembali ke Labuan Bajo untuk bersilahturahmi ke pulau Komodo. Dengan demikian, sudah saatnya kami meninggalkan Flores, sesuai jadwal yang tertera di itinerari kami.
Namun sebelum pulang, kami ingin menutup perjalanan kami di Flores dengan mengunjungi air terjun Cunca Wulang, salah satu spot wisata wajib mampir. Untuk mengakses ke lokasi, kami sepakat untuk menyewa sebuah mobil pick up (bak terbuka) seharga IDR 150.000,-. Saya, Biru, bang Andi, mbak Anggi, Didi, dan Steve (kenalan Didi di hotel) dijemput oleh sopir pick up sekitar setengah tujuh pagi. Maklum, kami harus berangkat pagi-pagi sekali karena selain pagi-pagi biasanya lokasi wisata pasti tidak terlalu ramai pengunjung, penerbangan kami pada pukul 1 siang mewajibkan kami untuk tiba di bandara sebelum jam 12.
Biru, Bang Andi, Didi dan Steve
Kami sudah berada di atas bak belakang, sedangkan mbak Anggi duduk manis di samping pak sopir yang sedang mengemudi. Labuan Bajo di pagi hari yang ternyata lumayan dingin, disertai oleh hembusan angin karena kecepatan mobil yang cukup tinggi. Perjalanan kami tempuh sekitar satu jam. Melewati beberapa kelok yang menanjak dan menurun, kami disuguhkan pemandangan Labuan Bajo yang masih sangat alami. Hutan, gunung, pemukiman, pekarangan dan sesekali lembah curam memanjakan mata kami. Beberapa anak kecil yang kami lewati pun tersenyum dan menyapa kami dengan hangat.
Setelah mobil berjalan agak jauh, mobilpun berhenti sebentar di depan sebuah rumah. Salah seorang laki-laki ikut naik ke atas bak. Awalnya saya bingung, kenapa bisa ada orang menumpang juga, padahal mobil ini sedang kami carter. Ternyata usut punya usut, beliau adalah tour guide yang akan mengantarkan kami menuju air terjun.
Mobil berbelok menuruni sebuah jalan yang tidak beraspal. Dan tak lama kemudian, mobil berhenti di suatu area. Si bapak tour guide memberitahukan bahwa kami sudah sampai. Saya dan yang lain turun dari bak mobil, mengamankan tas-tas kami di dalam mobil, lalu siap melakukan trekking menuju air terjun.
Perjalanan di awal terasa sangat ringan. Bagaimana nggak, kami terus saja menuruni hutan hingga ke dasarnya tanpa melakukan pendakian yang berarti. Namun demikian, saya mulai merasa was-was, pasti pulangnya bakal menjadi pendakian yang luar biasa melelahkan.
Ranting-ranting dan batang pepohonan kami tembus sekitar kurang lebih setengah jam sebelum akhirnya kami tiba di dasar hutan. Kami telusuri aliran sungai-sungai kecil yang akhirnya menghantar kami ke sebuah kolam yang tidak terlalu lebar namun kelihatan sangat dalam yang dihimpit oleh bebatuan besar di kanan-kirinya. Bapak tour guide meminta kami untuk terus mengikutinya hingga ke ujung bebatuan besar tersebut. Dan disanalah dapat kami jumpai, air terjun Cunca Wulang yang bergemericik deras.
Untuk melihat lebih dekat lagi, kami harus sedikit memanjat ke atas, ke spot paling puncak. Dengan semangat (berhubung stamina kami masih belum begitu terkuras), kami memanjat permukaan tanah yang terjal dan semakin mendaki. Pendakian tidak memakan waktu terlalu lama, dan kami langsung menemukan spot cantik untuk mengabadikan foto air terjun Cunca Wulang.
Dinamakan air terjun Cunca Wulang karena keberadaan kolam berbentuk bulan bulat penuh yang ada di tengah-tengah air terjun.
Kami leyeh-leyeh sebentar, menikmati pemandangan di sekitar kami. Desauan aliran sungai kecil, semburan air terjun yang deras, desisan pepohonan yang daunnya bergemerisik membuat kami terlena sesaat. Kalau saja nggak ingat saya dan Biru ada flight jam 1, mungkin kami akan betah berlama-lama disini. Setelah merasa cukup puas berleha-leha di atas bebatuan dan bermain air, kami meninggalkan puncak air terjun.
Medan trekking pulang sesuai dugaan, lumayan membuat tepar, kami terus-menerus mendaki ke atas, walau sesekali berhenti untuk beristirahat. Kaki saya sudah hampir mau patah, keringat mengucur deras dan lengan kanan nggak sengaja tersenggol ulat bulu sehingga rasanya perih-perih gatal. Saya, mba Anggi, mas Andi dan bapak tour guide tertinggal paling belakang karena paling lambat jalannya, sedangkan Biru, Steve dan Didi sudah lebih dulu berjalan jauh meninggalkan kami yang kerap terengah-engah.
Setelah hampir satu jam pendakian yang–buat saya–super melelahkan tersebut, akhirnya saya melihat penampakkan mobil kami tidak jauh dari saya berada. Menggunakan sisa tenaga saya, saya mempercepat langkah mendaki ke atas agar segera bisa tiba di mobil dan beristirahat. Dari kejauhan, terlihat Biru, Steve dan Didi sedang terkapar di atas bak mobil–sepertinya mereka juga sama-sama kelelahan.
Begitu menjejaki jalanan dekat mobil terparkir, rasanya saya baru saja memenangkan sesuatu. Saya langsung meminta botol air untuk diminum dan menuangkan sedikit di lengan tempat bekas bulu-bulu si ulat bulu menempel. Sambil duduk di atas batang kayu, saya luruskan kaki saya dan mengatur nafas yang sudah putus-nyambung. Tak lama, muncul sisa grup yang tertinggal, mbak Anggi dan mas Andi yang penuh dengan peluh keringat di sekujur tubuhnya. Kami beristirahat sejenak sebelum kemudian melanjutkan perjalanan.
Karena semuanya kelaparan, mbak Anggi mengusulkan agar mampir sejenak di rumah bapak tour guide dan sarapan disana (patungan sejumlah uang untuk membeli mi instan dan beberapa bahan untuk diserahkan pada bapak tour guide). Semuanya pun setuju dan menyerahkan uang patungan kepada mbak Anggi. Mbak Anggi mengobrol sebentar dengan pak tour guide untuk membahas ide sarapan tersebut. Pak tour guide tidak keberatan dan menerima uang patungan kami. Tanpa membuang waktu lagi, kami meninggalkan hutan menuju rumah pak tour guide.
Sebentar, mobil berhenti di suatu persimpangan jalan untuk menurunkan pak tour guide yang membelikan bahan makanan untuk sarapan. Saya sempat memotret sebuah truk besar yang baknya disekat-sekatkan papan sebagai tempat duduk. Kata Biru, truk ini adalah salah satu moda transportasi di Flores (saya jadi penasaran dan ingin naik. pasti seru kalau naik transportasi ini).
Pak tour guide selesai berbelanja, membawa sekantung plastik mie instan dan beberapa butir telur. Mobil melaju lagi menuju perhentian berikutnya, rumah pak tour guide. Pak tour guide menyilahkan kami masuk ke dalam rumahnya yang sederhana namun sangat hangat. Senyum keluarga pak tour guide menyambut kami saat kami memasuki ruang tamu rumah dan beberapa gelas teh manis disuguhkan untuk kami.
Sembari menunggu sarapan siap, kami berfoto-foto sejenak untuk mengabadikan momen terakhir kebersamaan kami di Flores, mengingat setelah ini, saya harus kembali ke Lampung, Biru ke Karawang, mbak Anggi dan mas Andi ke Jakarta, Didi ke Belgia dan Steve ke London. Kami yakin, pertemuan ini bukanlah untuk pertama dan terakhir kalinya. Akan ada suatu saat dimana kami akan bertemu kembali dan melakukan perjalanan bersama-sama lagi.
Bagi saya pribadi, Flores adalah rumah kedua yang selalu membuat saya ingin “pulang” setiap kali ada kesempatan. Kehangatan dan penerimaan Flores serta warganya yang saya rasakan selama perjalanan hampir dua minggu ini akan selalu terkenang dan membuat saya kangen. Saya harap suatu saat saya bisa mengunjungi pulau ini lagi dan mengeksplor daerah lain yang masih belum sempat saya jejaki.
Sampai ketemu lagi Flores…