Harap Maklum, Elo Sedang Menginap di Dorm!

Untuk menyiasati pengeluaran selama ngetrip, terkadang para traveler–khususnya solo traveler–lebih memilih untuk menginap di asrama berbunk-bed (ranjang susun) yang harganya bisa jauh lebih murah ketimbang mem-book kamar private. Namun ada beberapa hal yang suka bikin shock, terutama bagi kamu yang terbiasa menginap di private room, dimana fasilitas kamar yang memadai menjamin kenyamanan selama menginap.

IMG_1682

Kalo beruntung ya bisa nemu dorm cakep kayak gini. Tapi kalo lagi apes ya nemu yang keadaannya mirip barak pengungsian

Ya, banyak hal yang akan kamu temui ketika kamu menginap di dorm room. Salah satunya ya point-point yang bakalan saya jabarkan di bawah ini 😀

1.Bule suka tidur almost naked, alias ampir telanjang. Sering banget saya temui setiap malam mau tidur, tiba-tiba teman-teman bule yang sekamar dengan saya–nggak laki-laki nggak perempuan–melepas seluruh pakaian yang dikenakannya, menyisakan beha atau sempak aja. Awal-awal sih ya saya agak shock dan risih melihat undies-undies wara-wiri di dalam kamar. Tapi lama-lama ya jadi ketagihan… eh maksudnya terbiasa dan ketularan tidur ber-telenji ria karena isis, hihi

2.No privasi! Satu dorm bisa berisi sampai 10-20 orang dan elo ngarep privasi elo nggak keganggu? Hellawww!! Jangan harap! Namanya juga shared room, ya kamu harus maklum kalo segala aktivitas kamu terkadang mengundang perhatian orang lain. Kamu juga harus maklum meladeni room mate yang ngajak ngobrol ketika sebenarnya kamu lagi males berinteraksi. Kamu nggak bisa ngomel kalo seisi kamar berantakan, tas pakaian dan sepatu berserakan di lantai.

3.Rebutan colokan! Kalo lagi apes nemu penginapan yang super pelit bin mreki, kamu bakalan cuma menemukan satu atau dua colokan listrik yang disediakan untuk mengakomodir 10-an orang di kamar. Ini yang paling sering saya alami, terpaksa rebutan colokan listrik tiap malam. Bayangin aja, saya kan harus ngecas ponsel dan kamera. Kalo satu gadget ngecasnya memerlukan waktu sekitar  satu jam, maka saya harus duduk manis nungguin itu colokan sampai casannya penuh. Bukan gimana-gimana sih, selain jaga-jaga supaya nggak diambil orang, kadang room mate suka lancang mencabut colokan casan kita dan gantian ngecas, padahal dayanya belom juga keisi setengah.

4. Kudu lebih ekstra dalam menjaga barang bawaan. Meski tiap kamar dorm selalu difasilitasi dengan loker-loker berpengaman, tapi nggak ada salahnya bila kita tetap waswas dalam menjaga semua bawaan kita. Terkadang karena malas membuka tutup loker, kita menggeletakkan ponsel, kamera, dompet hingga tas selempang begitu saja di atas kasur. Terkadang karena udah terlalu akrab dengan seisi dorm, kita memperlonggar kewaspadaan dengan membiarkan barang berharga tersebut berceceran begitu aja. Dan yang paling kebiasaan nih, kita suka ngecas gadget kita menjelang jam tidur di malam hari dan membiarkannya tergeletak tanpa pengawasan. Well again, it’s not a private room, anything could possibly happen kan?

5. Bed bugs!! Ada harga ada rupa. Mau ngarep apa sih dari penginapan ala barak pengungsian dengan 10 buah ranjang tingkat berderet dalam satu ruangan? Kalo kamu lagi sial, salah memilih penginapan, kamu bakalan menjumpai bed bug alias kutu busuk alias kepinding dan keroco-keroconya yang terkadang suka berkeliaran di sela-sela kasur bunk-bed. Siap-siap aja tidur nggak nyenyak karena digigitin semaleman sama makhluk-makhluk keparat tak berperiseranggaan tersebut. Menurut saya, they are worse than mosquitos. Bekas gigitan mereka terasa membakar plus gatal luar biasa di kulit, menyebabkan bentol yang biasanya lebar kemerahan. Pokoknya baca bener-bener review penginapan yang mau kamu pilih sewaktu ngetrip. Jangan sampai nemu penginapan yang dormnya penuh dengan kritikan “bedbugs are everywhere!!”

Penguin!!! (Balada Hitchhike di Tasmania, Part 2)

“My name is Maverick, dan aku baru tiba dari Hobart, ber-hitchhike!” Pemuda Singapura itu memperkenalkan dirinya. Kami duduk berdua di ruang TV seraya menghabiskan malam dengan mengobrol.

“Seriusan?? Kok kita nggak ketemu di jalan tadi, ya?? Aku juga baru dari Hobart.” Mataku berbinar seketika. Bagiku kebetulan ini lumayan luar biasa, bisa bertemu dengan saudara seprofesi, sesama Hitchhiker, di antah berantah. Di sebuah kota mungil yang kelihatannya belum terlalu turistik. “Ini pertama kalinya atau…”

“Pertama kalinya”, ia memotong, seolah mengerti arah pertanyaanku. “Aku belum pernah melakukannya selama kuliah di Australia! Sangat, menyenangkan!”

“Ini juga pengalaman Hitchhike pertamaku!” Aku ikut antusias. “Teman-teman bilang, Aku udah gila kayaknya. But hey, YOLO–You Only Live Once. Kenapa nggak mencoba sesuatu yang agak ekstrim, kan? I mean, hitchhike kan sebenarnya nggak ekstrim-ekstrim amat, ya? Banyak traveler yang juga sering melakukannya.”

“Temanku juga mengatakan hal yang sama. Mereka nggak percaya, aku berhitchhike seorang diri melintasi pulau terbesar kedua di Australia!” Maverick pun tertawa.

————————————————————————————————————–

Ok, let’s trace back dulu ke kisah sebelumnya. aku baru aja menerima kunci kamar dari si resepsionis. Dengan langkah sedikit kelelahan karena seharian mejeng di pinggir jalan, aku menyeret ranselku memasuki kamar berisi dua buah bunkbed yang masih kosong. kulempar tasku ke lantai dan langsung menghempaskan badan ke kasur. Nafas panjang terhela seketika. Gosh… my legs! Aku memijat-mijat kaki sejenak sebelum kemudian mencari handuk di dalam tas dan siap-siap mandi. Ya, hari mulai gelap, jadi aku harus bergegas ke pantai supaya bisa mengambil banyak gambar. Who knows, bisa mendapat sunset cantik!

IMG_1461

Nggak beberapa lama melakukan ritual bebersih, aku kembali berpakaian, mengenakan jaket yang dirangkap–saat itu suhunya sampai 10 derajat! Sendirian aku keluar dari penginapan, berjalan ke arah tepian pantai nggak jauh dari penginapan. Bicheno adalah sebuah kota mungil di pantai timur Tasmania. Kota ini awalnya adalah sebuah pusat perburuan ikan paus, hingga akhirnya kemudian kini hanya dijadikan sebagai pelabuhan pemancingan dan kota resort. Pantai Bicheno berpasir putih halus dan didominasi oleh bebatuan besar kemerahan yang menghampar di tepian.

IMG_1485

Aku  berjalan ke sisi timur, menyusuri semak-semak. Sesekali kutemukan ratusan helai bulu-bulu mungil yang berserakan. Ah, ini pasti bulu Penguin! Yang kubaca, penguin remaja akan merontokkan bulu-bulunya agar tumbuh bulu baru yang lebih kedap air. Kuintip semak-semak tersebut seraya berharap bakalan menemukan lubang persembunyian makhluk menggemaskan tersebut, meski hasilnya nihil!

Terus melangkah, aku tiba di sini pantai yang sarat akan formasi gugusan bebatuan yang masif jumlahnya. Pertemuan antar bebatuan tersebut menciptakan undakan-undakan dan patahan-patahan cantik yang dramatis. Ombak dari kejauhan berkejaran menghempas tepian bebatuan tersebut.

IMG_1508

Puas mengambil foto, aku kembali ke titik awal, ke pantai berpasir dekat dengan jalur menuju kota. Sembari berjalan, kupandangi garis horison yang perlahan menggelap. Malam tiba terlalu lambat di benua Kangguru. detik-detik senja baru dimulai pada pukul 19.30 waktu setempat. Aku jadi membayangkan, di Indonesia pasti udah gelap banget, disini masih terang benderang di jam yang sama.

Ketika langit sukses gelap sepenuhnya, keadaan di sekitar pantai seperti sedang mati lampu karena nggak ada penerangan apapun. Aku kemudian duduk di salah satu bebatuan besar bersama sepasang opa oma asal Perancis yang juga menunggu kemunculan para penguin. Kami mengobrol ngalor-ngidul cukup lama sebelum akhirnya berdatangan orang-orang lain. Samar-samar dalam gelap, dapat kukenali mereka merupakan turis asal China.  Salah seorang gadis mendekatiku dan bertanya dengan bahasa Inggris yang terbata-bata.

“Halo… Penguin, here?” tanyanya.

Kucoba menjawab dengan bahasa Mandarin yang juga terbata-bata agar ia sedikit paham. “Ya, orang bilang sih disini. Tapi  aku nggak yakin jam berapa mereka bakalan muncul.”

“Ah, kamu bisa bahasa Mandarin, ya?”

“Yi dian-dian–sedikit-sedikit”, Saya meringis.

“Baiklah, kita tunggu sama-sama kalau begitu. Saya beritahu teman-teman saya dulu”. Kira-kira begitu yang saya tangkap dalam bahasa Mandarin yang ia ucapkan barusan. Saya lekas mengangguk pelan. Gadis itu kemudian sedikit berlari mendekati teman-temannya.

“Kamu bisa berapa bahasa?” Celetuk sioma-oma Perancis yang tadi.

“Err… sedikit Mandarin, sedikit Perancis, dan sedikit Inggris”, jawabku.

“Penguiiin!!” pekik sigadis tiba-tiba. “Sini, sini!! Saya lihat Penguin!”

Saya dan sipasangan Perancis berdiri dengan agak terkejut. Bergegas kami beranjak ke tempat sigadis dan teman-temannya berada. Salah seorang dari mereka sedang menyenteri celah batu di bawah kakinya dengan senter bercahaya merah temaram. Mata saya ikutan awas, mencari tahu keberadaan si penguin.

“Ah iya, Penguin!!” Saya ikutan histeris kegirangan. Dari balik celah batu, tampak dua sosok gumpalan bulu berwarna hitam putih. Tak lama kepalanya nongol, mendongak ke sumber cahaya, seolah penasaran darimana cahaya itu berasal. Lucu banget!! Saya mendadak teringat si baby Happy Feet. Paruh mungilnya sesekali diusap-suapkan ke sayap. Ia merunduk sejenak, lalu mendongak lagi untuk memastikan keberadaan kami, dan kemudian merunduk lagi.

“Hai you yi ge! Ada satu lagi!!” Seorang pria memanggil di sisi lain.

Spontan, kami berpindah. It’s inside another tight crack on the rock, dan ada tiga ekor!!” Sepertinya mereka adalah ibu dan dua bayinya. Sang ibu menyembunyikan kedua anaknya ke dalam pelukannya, seolah was-was dengan kehadiran kami.  Ingin rasanya aku mengulurkan tangan ke dalam celah batu, meraih bola-bola bulu di bawah sana saking gemesnya. Dari raut wajahnya, sang ibu penguin terlihat galak dan berusaha mengusir kami.

IMG_0994Penguin yang kutemui di Phillip Island. Kurang lebih jenis Penguinnya sama, yakni si Little Penguin atau Eudyptula minor, spesies penguin terkecil

Sebenarnya sih aku udah pernah melihat penampakan para penguin ini di Phillip Island, sebuah pulau mungil dekat dengan Melbourne. Tapi sepertinya kok ya kurang lama rasanya memandangi bola-bola bulu itu berparade hanya dalam… nggak sampai satu jam kalau nggak salah. Itulah sebabnya, ketika mengetahui Bicheno juga punya parade penguin, I feel like… tepat banget keputusan aku buat berkunjung kemari.

Dari kejauhan, nampak gerombolan orang-orang membawa senter. Wah makin malam makin ramai aja. Sepertinya sebentar lagi pertunjukkan utama akan dimulai. Ya, seperti di Phillip island, sepertinya di pantai ini bakalan ada parade para penguin yang berbaris rapi berjalan menuju rumahnya masing-masing. Bicheno memang menawarkan paket Penguin sightseeing dengan harga yang variatif , starting dari Hobart atau Launceston. Beruntung aku datang kesini tanpa perlu membayar paket tur seharga 100 AUD lebih itu dan hanya bermodal hitchhike untuk tiba disini.

Benar saja, nggak lama berheboh ria dengan temuan penguin bersama para turis China, kami semua kembali berheboh ria dengan kemunculan para penguin yang jumlahnya puluhan. Penguin-penguin mungil ini berjalan meraba-raba dalam kegelapan, seolah berbaris berurutan melintasi hamparan pasir dan bebatuan. Ia terus berjalan hingga menghilang di semak-semak, meski sesekali berhenti karena penasaran dengan keberadaan orang-orang yang sedari awal memperhatikan mereka.

Mereka berjalan melewati kakiku dengan acuh. Pinggulnya bergoyang-goyang seiring derap langkahnya. Kedua sayapnya seolah membentuk tarian kocak ke depan ke belakang. Astaga mereka begitu mungil dan menggemaskan! Aku teringat Penguin parade di Phillip Island yang memagari para pengunjung dengan pagar panjang sehingga memberikan sebuah jarak pada para penguin. Disini, mereka begitu dekat dengan kaki-kaki para pengunjung. Kami bisa saja mengangkat salah satunya dan menggendongnya saking dekatnya dengan para penguin–untungnya nggak diperbolehkan untuk kontak fisik langsung dengan mereka.

Sayangnya pengambilan foto dengan blitz sangat nggak diperbolehkan karena bisa mengganggu penglihatan para penguin yang sangat sensitif terhadap cahaya terlampau terang. Dengan demikian para pengunjung, termasuk diriku harus berpuas diri hanya menonton kegiatan “pulang kandang” mereka.

——————————————————————————————————————

“Iya, penguinnya lucu-lucu banget!” Timpal Maverick. “Ia mengelilingi kakiku tadi!”

“Lho, kamu juga di pantai barusan? Aku juga habis darisana.” Kusendokkan mie instan yang kumasak barusan ke mulutku.

“Tadi kan banyak orang di pantai. Lagipula kita juga baru saling kenalan sekarang. Ketemu di pantai juga nggak akan bertegur sapa” Ia tertawa.

Benar juga ya, aku menggaruk-garuk kepala.

“Besok rencana kamu apa?” Tanya Maverick.

“Err… sepertinya aku akan langsung ke Port Arthur. Aku harus membatalkan rencana trekking di Freycinnet karena waktunya nggak cukup. Lusa aku harus sudah tiba di Hobart.” Jelasku.

“Sayang sekali. Padahal Freycinnet keren banget loh!”

“I know. Tapi mau bagaimana lagi. My time is not that much.”

“I see”

“Kamu sendiri? Besok masih akan disini aja atau bagaimana?” Aku bertanya balik.

“Besok aku akan ke Launceston. Sama seperti kamu, lusa aku ada jadwal penerbangan ke Melbourne dari Launcestin.” jelasnya.

“Hitchhike lagi darisini?”

“What else?” Kami sama-sama tertawa.

“Ok, jadi besok kita start hitchhike sama-sama. Lets see, siapa duluan yang mendapat tumpangan.” Kata saya lagi.

“Banyak mobil yang mengarah ke Sorrell, kamu pasti lebih cepat mendapat tumpangan”.

“Finger crossed!” Kusilangkan telunjuk dan jari tengahku.

“Maaf…” Seorang kakek yang baru selesai memasak di dapur dekat lokasi kami mengobrol memotong pembicaraan kami. “Kamu besok mau ke Sorrell?”

Aku menoleh ke si kakek. “Iya. Anda juga akan ke Sorrell?”

“Saya berencana ke Triabunna. Saya bisa menurunkan kamu disana jika kamu mau menumpang.”

Triabunna adalah kota yang terletak di separuh perjalanan menuju Sorrell. Tentunya tawaran ini nggak aku sia-siakan. “Wah kebetulan sekali! Jika anda nggak keberatan, aku ingin nebeng besok!”

(To be continued)